PDB, PERTUMBUHAN DAN PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI
A. PERTUMBUHAN EKONOMI
1. Arti Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi yang dan berkelanjutan merupakan kondisi utama atau suatu keharusan bagi kelangsungan pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan. Karena jumlah penduduk bertambah setiap tahun yang dengan sendirinya kebutuhan konsumsi sehari-hari juga bertambah setiap tahun, maka dibutuhkan penambahan pendapatan setiap tahun.
Selain dari sisi permintaan (konsumsi), dari sisi penawaran, pertumbuhan penduduk juga membutuhkan pertumbuhan kesempatan kerja (sumber pendapatan). Pertumbuhan ekonomi tanpa dibarengi dengan penambahan kesempatan kerja akan mengakibatkan ketimpangan dalam pembagian dari penambahan pendapatan tersebut (ceteris paribus), yang selanjutnya akan menciptakan suatu kondisi pertumbuhan ekonomi dengan peningkatan kemiskinan. Pemenuhan kebutuhan konsumsi dan kesempatan kerja itu sendiri hanya bisa dicapai dengan peningkatan output agregat (barang dan jasa) atau PDB yang terus menerus. Dalam pemahaman ekonomi makro, pertumbuhan ekonomi adalah penambahan PDB, yang berarti peningkatan PN.
2. Konsep Pendapatan Nasional
Ada dua arti PN, yakni arti sempit dan arti luas. Dalam arti sempit, PN adalah PN. Sedangkan dalam arti luas, PN dapat merujuk ke PDB, atau merujuk ke PNB, atau ke produk nasional neto (PNN).
Sesuai metode yang standar, penghitungan PN diawali dengan penghitungan PDB. Hubungan antara PDB dan PN dapat dijelaskan melalui beberapa persamaan sederhana sebagai berikut.
PNB = PDB + F
PNN = PNB – D
PN = PNN – Ttl
Dimana: F pendapatan neto atas faktor luar negeri; D = penyusutan; dan Ttl = pajak tak langsung neto (variabel-variabel lainnya telah dijelaskan di dalam teks). Jika tiga persamaan di atas digabungkan, akan didapat persamaan berikut.
PDB = PN + Ttl + D – F atau PN = PDB + F – D – Ttl
PDB dapat diukur dengan tiga macam pendekatan, yaitu pendekatan produksi, pendekatan pendapatan, dan pendekatan pengeluaran. Dua pendekatan pertama tersebut adalah pendekatan dari sisi penawaran agregat, sedangkan pendekatan pengeluaran adalah penghitungan PDB dari sisi permintaan agregat. Menurut pendekatan produksi, PDB adalah jumlah nilai output (NO) dari semua sektor ekonomi atau lapangan usaha. Berdasarkan satu digit, Biro Pusat Statistik (BPS) membagi ekonomi nasional ke dalam 9 sektor, yakni pertanian, pertambangan dan penggalian, industri manufaktur, listrik, gas, dan air bersih, bangunan, perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, sewa dan jasa perusahaan, dan jasa-jasa. Jadi, PDB adalah jumlah NO dari kesembilan sektor tersebut PDB = ∑ NOi
i = 1,2…9
Sedangkan melalui pendekatan pendapatan, PDB adalah jumlah pendapatan yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi di masing-masing sektor, seperti tenaga kerja (gaji/upah), pemilik modal (bunga/hasil investasi), pemilik tanah (hasil jual/sewa tanah), dan pengusaha (keuntungan bisnis/perusahaan). Semua pendapatan ini dihitung sebelum dipotong oleh pajak penghasilan dan pajak-pajak langsung lainnya. Dalam pedekatan ini, penghitungan PDB juga mencakup penyusutan dan pajak-pajak tidak langsung neto. Oleh sebab itu, dalam pendekatan pendapatan, PDB adalah jumlah dari nilai tambah bruto (NTB) dari kesembilan sektor tersebut. PDB = NTB1 + NTB2 +………………….NTB9
Adapun menurut pendekatan pengeluaran, PDB adalah jumlah dari semua komponen dari permintaan akhir, yakni pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta non-profit oriented (C), pembentukan modal tetap domestic bruto, termasuk perubahan stok (1), pengeluaran konsumsi pemerintah (G), ekspor (X), dan impor (M): PDB = C + I +G + X – M
3. Sumber-Sumber Pertumbuhan
Pertumbuhan ekonomi bisa bersumber dari pertumbuhan pada sisi permintaan agregat (AD) atau/ dan sisi penawaran agregat (AS). Output agregat yang dihasilkan di dalam suatu ekonomi (atau negara) selanjutnya membentuk PN. Apabila pada periode awal (t=0) output adalah Y0΄ maka yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi adalah apabila pada periode berikutnya output Y1΄ yang mana Y1 > Y2.
a. Sisi Permintaan Agregat
Dari sisi AD, pergeseran kurvanya ke kanan yang mencerminkan peningkatan permintaan di dalam ekonomi bisa terjadi karena PN, yang terdiri dari permintaan masyarakat (konsumen), perusahaan, dan pemerintah, meningkat. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, sisi AD (penggunaan PDB) terdiri dari empat komponen: konsumsi rumah tangga, investasi (termasuk perubahan stok), konsumsi/pengeluaran pemerintah, dan ekspor neto (ekspor barang dan jasa minus impor barang danjasa). . b. Sisi Penawaran Agregat
Dari sisi AS, pertumbuhan output bisa disebabkan oleh peningkatan volume dari faktor-faktor produksi yang digunakan, seperti tenaga kerja (L), modal (K), dan tanah (Tn). Faktor produksi terakhir ini khususnya penting bagi sektor pertanian dan energi (E). Pertumbuhan output juga bisa didorong oleh peningkatan produktivitas dari faktor-faktor tersebut.
Di mana Q mewakili volume output dan X1, X2, X3 ………… Xn adalah volume dari faktor-faktor produksi yang digunakan untuk menghasilkan output tersebut. Tanda-tanda positif di bawah setiap X menandakan hubungan antara setiap faktor produksi tersebut dengan output adalah positif: jika jumlah X1 meningkat, output juga meningkat.
c. Teori-teori dan Model-Model Pertumbuhan
a. Teori dan Model Pertumbuhan Neoklasik
Ada dua aliran pemikiran mengenai pertumbuhan ekonomi (dilihat dari sisi AS/produksi), yakni teori neoklasik dan teori modern. Dalam kelompok teori neoklasik, faktor-faktor produksi yang dianggap sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan output adalah jumlah L dan K; yang terakhir ini bisa dalam bentuk keuangan atau barang modal (seperti mesin). Penambahan jumlah L dan K, dengan asumsi produktivitas dari masing-masing faktor produksi tersebut (productivity parsial; PFP) atau produktivitas faktor total (TFP) tetap tidak berubah, menambah output yang dihasilkan. Persentase pertumbuhan output bisa lebih besar (increasing return to scale), lebih kecil (decreasing return to scale), atau sama (constant return to scale) dibandingkan persentase pertumbuhan jumlah dari kedua faktor produksi tersebut.
Dalam model pertumbuhan neoklasik, peran teknologi dan ilmu pengetahuan serta peningkatan kualitas dari L dan dari input-input produksi lainnya terhadap pertumbuhan output tidak mendapat perhatian secara eksplisit atau dianggap konstan (teknologi dianggap suatu koefisien yang tetap tidak berubah); walaupun pada tahun 1950-an dan 1960-an sudah mulai ada pembahasan-pembahasan di dalam literatur mengenai dampak positif dari progress teknologi (T). Teori neoklasik lebih fokus pada efek akumulasi K (investasi) dan penambahan jumlah L terhadap pertumbuhan output. Oleh karena itu, di dalam model pertumbuhan neoklasik, tidak ada yang namanya peningkatan produktivitas dan input-input produksi.
Teori neoklasik di atas kurang dapat menjelaskan pertumbuhan ekonomi yang tinggi sejak tahun 1950-an di banyak negara di dunia, yang kenyataannya pertumbuhan tersebut tidak sepenuhnya hanya didorong oleh akumulasi K dan penambahan jumlah L, tetapi juga disebabkan oleh peningkatan produktivitas dari kedua faktor produksi tersebut. Kenapa, misalnya, Korea Selatan yang miskin SDA dan mengalami kekurangan pada awal pembangunannya setelah perang Korea berakhir tahun 1953 bisa dalam waktu yang singkat menghasilkan suatu kinerja ekonomi yang menakjubkan dengan laju pertumbuhan rata-rata per tahun yang tinggi?
Seperti telah dijelaskan diatas, model pertumbuhan neoklasik hanya melihat pada satu sumber pertumbuhan saja, yakni kontribusi dari penambahan jumlah dari faktor-faktor produksi. Padahal, pengalaman Korea Selatan menunjukkan bahwa sumber pertumbuhan yang terpenting adalah peningkatan produktivitas bukan jumlah dari faktor-faktor produksi yang digunakan, dan ini mencerminkan adanya suatu progress T. Dalam Nafziger (1997), dibahas pengalaman dari Kong, dan Singapura yang menunjukkan bahwa kontribusi K per L terhadap pertumbuhan ekonomi memang sangat dominan, antara 50% hingga 90% tetapi T juga sangat berperan. Hal ini dicerminkan oleh nilai ‘sisa’, yakni nilai T di dalam fungsi produksi Cobb Douglas.
Dimana Yt = tingkat (output) pada periode t; a dan b = masing-masing produktivitas dari L dan K. Nilai sisa ini dianggap sebagai efek dari pertumbuhan produktivitas dari K dan L secara total antara 10% hingga 50%. Ini artinya, kemajuan T menyumbang sekitar 10%-50% terhadap pertumbuhan ekonomi (Nafzger, 1997).
b. Teori Modern dan Model Pertumbuhan Endogen
Dalam teori modern, faktor-faktor produksi yang krusial tidak hanya L dan K, tetapi juga perubahan T (yang terkandung di dalam barang model atau mesin), E, kewirausahaan (Kw), bahan baku (BB) dan material (Mt). Selain itu, faktor-faktor lain yang oleh teori modern juga dianggap sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi adalah ketersediaan dan kondisi infrastruktur, hukum serta peraturan, stabilitas politik,kebijakan pemerintah (yang antara lain dicerminkan oleh besarnya pengeluaran pemerintah), birokrasi, dan dasar tukar internasional (terms of trade; ToT). pentingnya faktor-faktor ini terhadap pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari kasus negara-negara di Afrika, terutama Sub-Sahara Afrika. Menurut studi-studi yang ada, terhentinya pembangunan ekonomi di negara-negara tersebut disebabkan antara lain oleh kualitas L-nya yang sangat rendah, politik yang tidak stabil, peperangan, defisit keuangan pemerintah, dan keterbatasan infrastruktur.
Dilihat dari kerangka pemikiran kelompok teori modern tersebut, ada sejumlah perbedaan yang mendasar dengan kelompok teori neoklasik. Di antaranya adalah yang mencakup L,K, dan Kw. Dalam kelompok teori modern, kualitas L lebih penting daripada kuantitasnya. Kualitas L tidak hanya dilihat dari tingkat pendidikan, tetapi juga kondisi kesehatannya. Sekarang ini tingkat pendidikan dan kondisi kesehatan menjadi dua variabel bebas yang penting di dalam analisis-analisis empiris dengan pendekatan ekonometris mengenai pertumbuhan ekonomi. Tingkat pendidikan biasanya diukur dengan persentase L yang berpendidikan tinggi terhadap jumlah L atau penduduk yang terdaftar dalam suatu tingkat pendidikan tertentu, misalnya pendidikan dasar. Sedangkan, tingkat kesehatan umumnya diukur dengan tingkat harapan hidup. Demikian juga halnya dengan K, kualitas (yang mencerminkan progress T) lebih penting daripada kuantitas (akumulasi K). Juga Kw, termasuk kemampuan seseorang untuk melakukan inovasi, merupakan salah satu faktor krusial bagi pertumbuhan ekonomi.
Dengan alasan kelemahan model pertumbuhan neoklasik tersebut, maka sebagai alternative muncul model pertumbuhan ekonomi modern atau model pertumbuhan endogen yang memasuki aspek-aspek endogenitas dan eksternalitas di dalam proses pembangunan ekonomi. Salah satu asumsi penting dari teori modern ini adalah sifat keberadaan T yang tidak lagi eksogen, (given), tetapi merupakan salah satu faktor produksi yang dinamis. Demikian juga faktor manusia: L di dalam fungsi produksi tidak lagi merupakan suatu produksi yang eksogen, tetapi bisa ‘berkembang’ mengikuti perkembangan T dan ilmu pengetahuan (iptek). Kemajuan iptek serta SDM menjadi sumber-sumber penting pertumbuhan, yang efeknya lewat peningkatan produktivitas dari input-input yang digunakan dalam proses produksi.
Model pertumbuhan endogen juga sangat relevan untuk menganalisis laju serta pola pertumbuhan ekonomi di Indonesia, terutama karena dampak dari kemajuan iptek serta peningkatan kualitas SDM terhadap pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di dalam negeri semakin nampak jelas saat ini dibandingkan 30 tahun yang lalu. Salah satu model pertumbuhan neoklasik yang bisa diendogen adalah dari Harrod-Domar, yang intinya adalah suatu relasi antara penambahan K dan pertumbuhan 30 tahun yang lalu. Salah satu model pertumbuhan neoklasik yang bisa diendogenkan adalah dari Harrod Domar, yang intinya adalah suatu penambahan K dan rasio penambahan K dan pertumbuhan ekonomi (PDB). Dua variabel fundamental dari model ini adalah penambahan K dan rasio penambahan K terhadap pertumbuhan PDB (Y). Rasio ini disebut ICOR = ΔK/ΔY. Sejak penambahan K adalah investasi (I) dalam definisi, maka ICOR = I/ΔY.
Model Harrod-Domar ini adalah suatu modifikasi dari model-model pertumbuhan dari Damor dan Harrod. Model dari Damor lebih memfokuskan pada laju pertumbuhan investasi (ΔI/I), Di dalam modelnya, I ditetapkan harus tumbuh atas suatu persentase yang konstan, sejak s (marginal propensity to save), yakni rasio dari pertumbuhan tabungan nasional (S) terhadap peningkatan Y, dan ICOR kedua-duanya konstan. Sedangkan penekanan dari model Harrod lebih pada pertumbuhan Y jangka panjang. Di dalam modelnya, laju pertumbuhan keseimbangan (warranged growth) +I yang direncanakan, yaitu : sYt= ICOR (Yt – Yt-1)
(Yt – Yt-1) /Y = s/ICOR
Model ini tidak saja menekankan pentingnya I bagi pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pentingnya S sebagai sumber utama pembiayaan I tersebut. Oleh karena itu, model ini sangat relevan sebagai salah satu alat analisis empiris untuk kasus Indonesia. Selama masa Orde Baru, telah terbukti bahwa I memang merupakan salah satu faktor krusial bagi kelangsungan pembangunan ekonomi. Terbukti juga, selama krisis ekonomi, lesunya kegiatan I didalam negeri membuat kondisi perekonominan nasional semakin buruk. Dengan tingkat S yang masih terbatas, Indonesia terpaksa menggantungkan diri pada pinjaman luar negeri dan penanaman model asing untuk mempertahankan kegiatan I yang diperlukan di dalam negeri.
Setiap ekonomi / negara membutuhkan I minimum untuk mempertahankan kapasitas produksi. Kapasitas produksi / output potensial didefinisikan sebagai output maksimum yang dapat dihasilkan dalam suatu negara pada waktu tertentu dalam keadaan normal. Tingkat kapasitas produksi dipengaruhi oleh jumlah dan TFP. Pada model ekonomi makro dari IBII (2000) diasumsikan bahwa faktor produksi yang menentukan kapasitas produksi di Indonesia adalah jumlah K, Karena faktor L di Indonesia (terutama yang berasal dari sektor pertanian) cukup melimpah.
Berdasarkan asumsi ini, maka perubahan kapasitas produksi tergantung pada perubahan kapital (IBII, 2000):
Δcap = (1/k) x ΔK
Dimana : cap : kapasitas produksi atau potensial output
k : rasio output modal (COR) yang mengukur tingkat efisiensi
penggunaan K.
Di lain pihak, di dalam model makro ini K pada tahun tertentu (t) didefinisikan sebagai penjumlahan stok K tahun lalu (t-1) dan I bersih :
k(t) = k(t-1) + (i-s)
dimana : i = I Kotor
s = pengurangan K
Pemotongan K adalah K yang sudah tidak memiliki nilai ekonomis karena output yang dihasilkan lebil kecil daripada biaya produksinya.
c. Pertumbuhan FTP
Berdasarkan studi-studi empiris mengenai pertumbuhan ekonomi pada sumber-sumbernya, Pack dan Page (1994) menyatakan bahwa terdapat dua sumber utama pertumbuhan, yakni pertumbuhan yang bersumber dari peningkatan I (investment-driven growth) dan pertumbuhan yang didorong oleh peningkatan produktivitas (productivity-driven growth). Sumber pertama tersebut merujuk pada produksi, khususnya K (misalnya penambahan jumlah mesin). Sedangkan sumber kedua itu terutama disebabkan oleh peningkatan produktivitas (efisiensi) dan faktor produksi, yang mencerminkan antara lain progres T.
Sumber pertumbuhan output yang berasal dari peningkatan produktivitas dari input-input produksi dapat dihitung secara parsial, yakni dari masing-masing input (PFP), atau totalnya dari semua input (TFP). Menghitung TFP bisa dengan menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas yang selanjutnya ditransformasi ke dalam bentuk linear logaritmik sebagai berikut.
Ln Yt = Ln Tt + α Ln Kt + β Ln Lt
Biasanya dalam penelitian empiris, fungsi produksi diasumsikan memiliki skala hasil yang konstan, oleh karena itu, persyaratan pokok yang harus dipenuhi adalah jumlah dari kedua koefisien elastisitas sama dengan satu, atau α + β = 1. Dengan persyaratan ini, maka persamaan tersebut dapat dimodifikasi menjadi α = 1 – β.
Koefisien b yang diestimasi melalui persamaan regresi di atas berfungsi sebagai alokator untuk mengestimasi peran input K terhadap pertumbuhan output, sedangkan koefisien a yang didapat dari (1-b) berfungsi sebagai alokator untuk mengestimasi peran L kerja terhadap pertumbuhan output. Hasil estimasi nilai T memberi perkiraan besarnya konstribusi dari perubahan TFP terhadap perubahan output.
Sudah banyak studi empiris yang mengukur peran dari pertumbuhan TFP terhadap pertumbuhan ekonomi atau output dari sektor-sektor ekonomi. Sebagian dari studi-studi yang ada juga mencakup sejumlah negara di Asia Tenggara dan Timur. Di antaranya dari Kim dan Lau (1994) yang menemukan bahwa pertumbuhan TFP bukan merupakan sumber utama bagi pertumbuhan ekonomi di NICs (kecuali Korea Selatan), tetapi akumulasi K (I) dengan kontribusinya sekitar 48%-72%, dibandingkan kontribusi dari pertumbuhan TFP sekitar 46%-71%. Di jepang juga demikian, penambahan K adalah faktor penting pertama, sedangkan pertumbuhan TFP faktor penting kedua. Sebaliknya untuk negara-negara OECD, pertumbuhan TFP merupakan sumber utama pertumbuhan PDB.
Studi lainnya adalah dari Young (1992) untuk Hong Kong dan Singapura selama dekade 70-an dn 80-an. Hasil studinya menunjukkan bahwa Hong Kong memiliki tingkat pertumbuhan TFP rata-rata per tahun yang tinggi di atas 30%, sedangkan pertumbuhan TFP di Singapura negatif. Hasil dari studi keduanya tahun 1995 menunjukkan bahwa laju pertumbuhan TFP rata-rata per tahun di Korea Selatan selama 1966-1990 mencapai 1,7%, dan sumbangannya terhadap pertumbuhan ekonomi sekitar16,5%. Sektor yang paling besar kontribusi pertumbuhan TFP-nya adalah industri manufaktur (3,0%). Taiwan, negara lainnya yang diteliti, memiliki kinerja TFP jauh lebih baik dibandingkan Korea Selatan dengan laju pertumbuhan rata-rata per tahun 2,6%, dan sumbangannya terhadap pertumbuhan ekonomi sekitar 27,7%. Akan tetapi, industri manufaktur bukan sektor terbesar dalam pertumbuhan TFP, melainkan sektor jasa dengan 3,5%.
Studi dari Pack dan Page (1994) juga menarik untuk dibahas secara garis besar di sini. Mereka menemukan bahwa negara-negara yang investment-driven growth) adalah Malaysia, Thailand, dan Indonesia, sedangkan yang productivity-driven growth adalah jepang dan NICs. Dalam kata lain peran TFP dalam pertumbuhan ekonomi jauh lebih penting di Jepang dan NICs daripada di Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Studi dari Bank Dunia (1993) juga menemukan bukti yang sama: rata-rata sekitar 33,3% dari pertumbuhan ekonomi di Asia Timur didorong oleh pertumbuhan TFP. Secara spesifik, selama dekade 60-an hingga akhir tahun 80-an, pertumbuhan TFP di Hong Kong mencapai 3,6% dan menyumbang hampir 44% terhadap pertumbuhan PDB, sedangkan di Korea Selatan TFP-nya tumbuh 3,1% dan kontribusinya hampir 37% dan 1,2% dan sumbangannya terhadap pertumbuhan output agregat masing-masing 42% dan 15%. Bukti yang sama juga diperlihatkan oleh Sarel (1996): pertumbuhan TFP di Hong Kong yang sekitar 3,8%, Korea Selatan 3,1% dan Taiwan 3,5%, lebih tinggi daripada pertumbuhan TFP di Jepang yang hanya sekitar 2,0% dan AS sekitar 0,9%.
Untuk kasus Indonesia, studi-studi empiris yang ada di antaranya adalah dari Hanson dkk. (1995), Poot (1994), Abimanyu dan Xie (1994), Hill dan Aswicahyono (1994), dan Suhariyanto (2001). Hal yang menarik dari studinya Hanson dkk. adalah bahwa kebijakan deregulasi di pertengahan tahun 80-an berdampak sangat positif terhadap pertumbuhan TFP yang menyumbang sekitar 31% terhadap pertumbuhan PDB untuk periode 1985-1992. Pada periode sebelum paket-paket deregulasi dikeluarkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih didorong oleh penambahan faktor-faktor produksi. Sedangkan Karseno, Poot, Abimanyu dan Xie, serta Hill dan Aswicahyono meneliti pertumbuhan TFP di sektor industri manufaktur. Hal-hal yang menarik dari studi mereka adalah bahwa pertumbuhan TFP di sektor tersebut cukup besar dan ada perbedaan pertumbuhan TFP yang cukup signifikasi antarsubsektor industri.
Penelitian dari Suhariyanto (2001) dapat dikatakan satu-satunya studi yang ada hingga saat ini mengenai pertumbuhan TFP di sektor pertanian di Indonesia yang mencakup periode sepanjang pemerintahan Orde Baru. Dalam studinya, ia membandingkan pertumbuhan TFP, output dan input di sektor pertanian di Indonesia dengan di sejumlah negara lainnya di Asia (Tabel 2.1). Laju pertumbuhan rata – rata per tahun TFP pertanian Indonesia rendah jika dibandingkan dengan banyak negara lain seperti Cina, Jepang, dan Korea Selatan; walaupun tingkat pertumbuhan output-nya rata-rata per tahun termasuk tinggi. Kalau dilihat laju pertumbuhan rata-rata per tahun volume dari masing-masing input yang relative tinggi, maka dapat disimpulkan bahwa di Indonesia peran TFP bagi pertumbuhan output di sektor pertanian masih relative kecil. Dalam perkataan lain, sumber dari pertumbuhan output pertanian di Indonesia masih didominasi oleh pertumbuhan jumlah input yang digunakan, bukan oleh perubahan T dan peningkatan SDM (peningkatan produktifitas.
Tabel 2.1
Laju Pertumbuhan Rata – Rata Per Tahun Output, TFP, dan Input – Input: 1965- 1996 (%)
Negara | TFP | Output | Tanah | Tenaga Kerja | Binatang | pupuk | Mesin |
Cina Jepang Korea Selatan Kampuchea Indonesia Malaysia Myanmar Filipina Thailand Vietnam Bangladesh India Nepal Pakistan Sri lanka | 0,47 2,70 3,30 -1,83 0,18 3,55 -0,02 1,33 -1,00 -0,17 -0,42 -0,50 -0,70 -0,47 0,67 | 4,34 1,15 3,78 0,27 4,04 5,25 2,78 2,74 3,89 3,67 1,74 2,90 2,73 3,72 1,49 | 0,14 -0,92 -0,26 0,92 0,60 1,96 -0,07 1,29 1,87 0,33 0,06 0,15 1,17 0,54 0,19 | 1,77 -4,06 -1,71 1,07 1,65 -0,01 1,86 1,66 1,84 1,78 1,04 1,42 1,96 2,11 1,63 | 2,45 1,66 3,46 0,98 1,42 1,05 2,04 -0,42 0,37 1,51 0,37 0,81 2,13 2,27 0,19 | 10,64 -0,13 3,05 3,51 11,37 8,77 9,21 5,90 12,32 7,66 11,19 10,35 16,48 11,85 2,94 | 8,85 15,16 31,77 0,99 7,60 9,58 5,39 2,42 11,10 12,24 6,19 11,88 10,35 13,54 5,30 |
B. Pertumbuhan Ekonomi selama Orde Baru hingga Saat ini
Melihat kondisi pembangunan ekonomi Indonesia selama pemerintahan Orde Baru (sebelum krisis ekonomi 1997) dapat dikatakan bahwa Indonesia telah mengalmi suatu proses pembangunan ekonomi yang spektakuler, paling tidak pada tingkat makro (agregat).keberhasilan ini dapat di ukur dengan sejumlah indikator ekonomi makro. Dua di antaranya yang umumu di gunakan adalah tingkat PN per kapita dan laju pertumbuhan PDB per tahun. Pada tahun 1968, PN per kapita masih sangat rendah , hanya sekitar US$ 60. Tingkat ini jauh lebih rendah di bandingkan PN dari LDCs lain pada saat itu , seperti india, sri langka, dan Pakistan.akan tetapi , sejak pelita I di mulai , PN Indonesia per kapita mengalami peningkatan yang relative tinggi seperti tahun, dan pada akhir tahun 1980-an telah mendekati US$ 500. Hal ini di sebabkan oleh pertumbuhan PDB rata-rata per tahun juga tinggi 7%-8% selama 1970-an dan turun ke 3 %-4% pertahun selama 1980-an.selama 70-an dan 80-an, proses pembangunan ekonomi di Indonesia tidak tanpa mengalami banyajk goncangan yang cukup serius, yang terutama di sebabkan oleh factor” eksternal seperti merosotnya harga minyak mentah di pasar internasional menjelang pertengahan 1980-an , dan resesi ekonomi dunia pada decade yang sama .karena sejak pemerintahan orde baru menganut system ekonomi terbuka, goncangan-goncangan eksternal seperti itu sangat terasa dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi. Perekonomian nasional pada saat itu sangat tergantung pada pemasukan dolar AS dari hasil ekspor komoditi-komoditi primer, khususnya minyak dan hasil pertanian. Tingkat ketergantungan yang tinggi ini membuat perekonomian nasional tidak bisa menghindar dari pengaruh negatif dari ketidakstabilan harga dari komoditi-komoditi tersebut di pasar internasional. Selain faktor harga, ekspor Indonesia, baik komoditas primer maupun barang-barang industri, juga sangat tergantung pada pertumbuhan ekonomi dunia, terutama di Negara-negara industri maju seperti Jepang, AS, dan Eropa Barat, yang merupakan pasar penting bagi ekspor Indonesia.
C. Faktor-Faktor Penentu Prospek Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Di dalam teori-teori konvensional, pertumbuhan ekonomi sangat ditentukan oleh ketersediaan dan kualitas dari input-input produksi seperti L,K,T,BB,Kw, dan E. Akan tetapi, faktor-faktor ini lebih krusial dalam menentukan prospek pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Sedangkan pertanyaan apakah ekonomi Indonesia 2004 akan tumbuh lebih baik, lebih buruk atau relatif sama dengan pertumbuhan 2003, adalah bicara soal prospek pertumbuhan ekonomi jangka pendek, yang berarti lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor jangka pendek.
1. Faktor-faktor Internal
Tidak dapat diingkari bahwa penyebab utama berubahnya krisis rupiah menjadi suatu krisis ekonomi paling besar yang pernah dialami Indonesia tahun 1998 adalah karena buruknya fundamental ekonomi nasional. Sedangkan lambatnya proses pemulihan ekonomi nasional lebih disebabkan oleh kondisi politik, sosial, dan keamanan di dalam negeri yang kenyatannya sejak reformasi dicetuskan pada Mei 1998 hingga saat ini belum juga pulih sepenuhnya, bahkan cenderung memburuk menjelang pemilihan presiden 2004.
2. Faktor-Faktor Eksternal
Sedangkan faktor eksternal yang sangat berpengaruh terhadap prospek perekonomian Indonesia adalah prospek perekonomian dan perdagangan dunia 2003. IMF dalam laporannya bulan September 2002 memprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi dan peningkatan volume perdagangan dunia 2003 akan mencapai masing-masing sekitar 3,7% dan 6,1%. Prospek perekonomian dan perdagangan dunia sangat dipengaruhi oleh prospek perekonomian dari AS, Jepang, dan masyarakat Eropa (EU). Menurut prediksi IMF (WEO), sebelum intervensi AS ke Irak, PDB riil AS 2003 akan tumbuh 2,6%, sedikit di atas perkiraan 2002, yakni 2,2% (ini jauh lebih baik dibandingkan realisasi pertumbuhan 2001 yang hanya 0,3% akibat tragedy WTC). Sedangkan ekonomi Jepang dan ME akan tumbuh masing-masing hanya 1,1% (angka ini jauh lebih baik daripada perkiraan pertumbuhan ekonomi Jepang 2002 – 0,5% dan realisasi 2001 – 0,3%) dan 2,3% tahun 2003 (sedikit meningkat dibandingkan perkiraan 2002 1,1%). Sementara, BPS memprediksi perekonomian AS dan Jepang 2003 bisa tumbuh antara 1% hingga 3%.
D. Perubahan Struktur Ekonomi
Pembangunan ekonomi jangka panjang dengan pertumbuhan PDB atau PN akan membawa suatu perubahan mendasar dalam struktur ekonomi, dari ekonomi tradisional dengan pertanian sebagai sektor utama ke ekonomi modern yang didominasi oleh sektor-sektor nonprimer, khususnya industri manufaktur dengan increasing returns to scale (relasi positif antara pertumbuhan output dan pertumbuhan produktivitas) yang dinamis sebagai motor utama penggerak pertumbuhan ekonomi (Weiss, 1988). Ada kecenderungan (dapat dilihat sebagai suatu hipotesis) pendapatan masyarakat per kapita, semakin cepat perubahan struktur ekonomi, dengan asumsi faktro-faktor penentu lain mendukung proses tersebut, seperti L, BB, dan T, tersedia.
Tambunan, Tulus T.H. (2003), perekonomian indonesia beberapa masalah penting, penerbit Ghalia Indonesia