Jumat, 03 Juni 2011

Perekonomian Indonesia ( Minggu ke-9 )

INDUSTRIALISASI
1.Konsep dan Industrialisasi
Dalam sejarah pembangunan ekonomi, konsep industrialisasi berawal dari revolusi industri pertama pada pertengahan abad ke-18 di Inggris, yang ditandai dengan penemuan metode baru untuk pemintalan, dan penenuan kapas yang menciptakan spesialisasi dalam produksi, serta peningkatan produktivitas dari faktor produksi yang digunakan. Setelah itu, inovasi dan dan penemuan baru dalam pengolahan besi dan mesin uap, yang mendorong inovasi dalam pembuatan antara lain besi dan baja, kereta api, dan kapal tenaga uap. Setelah itu kemudian menyusul revolusi industri kedua pada akhir abad ke-18, dan awal abad ke-19 dengan berbagai perkembangan teknologi dan inovasi. Setelah Perang Dunia II, mulai muncul berbagai barang sintetis, dan revolusi teknologi telekomunikasi, elektronik, bio, komputer, dan penggunaan robot. Semua perkembangan ini mengubah pola produksi industri, meningkatkan volume perdagangan dunia, dan memacu proses industrialisasi di dunia (Pangestu dan Aswicahyono, 1996).
Sejarah ekonomi dunia menunjukkan bahwa industrialisasi merupakan suatu proses interaksi antara pengembangan teknologi, inovasi, spesialisasi produksi, dan perdagangan antarnegara, yang pada akhirnya sejalan dengan meningkatnya pendapatan masyarakat mendorong perubahan struktur ekonomi di banyak negara, dari yang tadinya berbasis pertanian menjadi berbasis industri. Dapat dikatakan bahwa terutama kombinasi antara dua pendorong dari sisi penawaran agregat (produksi,) yakni progres teknologi dan inovasi produk serta proses produksi, dan peningkatan pendapatan masyarakat yang mengubah volume dan komposisi konsumsi sisi permintaan agregat, merupakan kekuatan utama di balik akumulasi proses industrialisasi di dunia.
Pengalaman di hampir semua negara menunjukkan bahwa industrialisasi sangat perlu karena menjamin pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Hanya sebagian kecil negara dengan jumlah penduduknya yang sedikit dan kekayaan minyak atau SDA yang melimpah, seperti Kuwait, Arab Saudi, Emirat Arab, Qatar, Libya, dan Brunei Darussalam dapat berharap mencapai tingkat pendapatan per kapita yang tinggi tanpa lewat proses industrialisasi atau pembanguan sektor industri yang kuat, tetapi hanya mengandalkan minyak. Fakta di banyak negara menunjukkan bahwa tidak ada perekonomian yang bertumpu pada sektor-sektor primer (pertanian dan pertambangan), mampu mencapai tingkat PN per kapita di atas US$ 500 selama jangka panjang (Kahn, 1979). Contohnya, sejak Pelita I 1969, pemerintah Indonesia melaksanakan industrialisasi. Sesudah itu, hingga krisis ekonomi terjadi tahun 1997 PN per kapita mengalami peningkatan yang cukup pesat setiap tahunnya. Kalau hanya mengandalkan pertanian dan pertambangan (khusunya migas), Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta orang saat ini tidak pernah bisa mencapai laju pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun 7%, dan tingkat PN per kapita di atas US$ 1000 pada pertengahan 1997.
Walaupun demikian, industrialisasi bukanlah merupakan tujuan akhir dari pembangunan ekonomi, melainkan hanya salah satu strategi yang harus ditempuh untuk mendukung proses pembangunan ekonomi guna mencapai tingkat pendapatan per kapita yang tinggi dan berkelanjutan (Riedel, 1992). Meskipun pelaksanaan sangat bervariasi antarnegara, periode industrialisasi merupakan tahapan logis dalam proses perubahan struktur ekonomi. Tahapan ini diwujudkan secara historis melalui kenaikan kontribusi sektor industry manufaktur dalam pembentukan PDB, permintaan konsumen, ekspor dan kesempatan kerja (Chenery, 1992).
Rute industrialisasi telah menunjukkan bukti-bukti keberhasilan bagi negara-negara yang sekarang dikenal dengan sebutan negara-negara industry maju seperti Eropa, AS, Kanada, Jepang, dan Australia. Melihat keberhasilan ini, banyak negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, yang mendapatkan kemerdekaannya setelah Perang Dunia II usai, mencoba menggunakan model-model pembangunan yang telah berhasil diterapkan di negara-negara industry maju tersebut (Hasibuan, 1993).
2.Faktor – Faktor Pendorong Industrialisasi
Selain perbedaan kemampuan dalam pengembangan teknologi (T) dan inovasi (In), serta laju pertumbuhan PN per kapita, ada sejumlah faktor lain yang membuat intensitas dari proses industralisasi berbeda antarnegara. Faktor – faktor lain tersebut adalah sebagai berikut.
1. Kondisi dan struktur awal ekonomi dalam negeri. Suatu negara yang pada awal pembangunan ekonomi atau industrialisasinya sudah memiliki industri-industri dasar atau disebut juga industri-industri primer atau hulu seperti besi dan baja, semen, petrokimia, dan industri-industri tengah (antara hulu dan hilir), seperti industri barang modal (mesin), dan alat-alat produksi yang relatif kuat akan mengalami proses indusrialisasi yang lebih pesat dibandingkan negara yang hanya memiliki industry-industri hilir atau ringan, seperti tekstil, pakaian jadi, alas kaki, makanan dan minuman.
2.Besarnya pasar dalam negeri yang ditentukan oleh kombinasi antara jumlah populasi dan tingkat PN riil per kapita. Pasar dalam negeri yang besar, seperti Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta orang (walaupun tingkat pendapatan per kapita relatif rendah dibandingkan negara-negara lain), merupakan salah satu faktor perangsang bagi pertumbuhan kegiatan-kegiatan ekonomi, termasuk industri, karena pasar yang besar menjamin adanya skala ekonomis dan efisiensi dalam produksi (dengan asumsi bahwa faktor-faktor penentu lainnya mendukung).
3.Ciri industrialisasi. Yang dimaksud di sini adalah antara lain cara pelaksanaan industrialisasi, seperti misalnya tahapan dari implementasi, jenis industri yang diunggulkan, pola pembangunan sektor industri, dan insentif yang diberikan, termasuk insentif kepada investor.
4.Keberadaan SDA. Ada kecenderungan bahwa negara-negara yang kaya SDA, tingkat diversifikasi dan laju pertumbuhan ekonominya relatif lebih rendah, dan negara tersebut cenderung tidak atau terlambat melakukan industrialisasi atau prosesnya berjalan lebih lambat dibandingkan negara-negara yang miskin SDA.
5.Kebijakan atau strategi pemerintah yang diterapkan, termasuk instrument-instrumen dari kebijakan (seperti tax holiday, bebas bea masuk terhadap impor bahan baku dan komponen-komponen tertentu, pinjaman dengan suku bunga murah, dan export processing zone atau daerah bebas perdagangan) yang digunakan dan cara implementasinya.
3.Perkembangan Sektor Industri Manufaktur Nasional
Sesuai sifat alamiah dari prosesnya, industri dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu industri primer atau hulu yang mengolah output dari sektor pertambangan (bahan mentah) menjadi bahan baku siap pakai untuk kebutuhan proses produksi pada tahap-tahap selanjutnya, dan industri sekunder atau industri manufaktur yang terdiri dari industry tengah yang membuat barang-barang modal (mesin, traktor, dan sebagainya), barang-barang setengah jadi dan alat-alat produksi, serta industri hilir yang membuat barang-barang jadi yang kebanyakan adalah barang-barang konsumen rumah tangga. Derajat dari industrialisasi di suatu negara dicerminkan oleh tingkat pembangunan, tidak hanya dari industri primer, tetapi juga industri sekunder di negara tersebut. Tingkat pembangunan sektor industri tdak hanya diukur dari persentase pertumbuhan output-ny atau pangsa output -nya dalam pembentukan PDB dan kontribusinya terhadap nilai ekspor (X) total, tetapi juga oleh tingkat diversifikasi produksinya atau variasi dari barang yang dibuat, baik menurut jenis pemakaian (barang konsumsi, modal, setengah jadi, alat-alat produksi menengah atau tinggi). Namun demikian, walaupun suatu negara memiliki industri primer yang besar (variasi produknya banyak), tetapi lemah dalam industri sekunder, maka belum dapat dikatakan bahwa tingkat industrialisasi di negara tersebut sudah tinggi. Bahkan, di banyak literature mengenai industrialisasi, perhatian lebih banyak diberikan kepada industri manufaktur.
4.Permasalahan Industralisasi
1.Keterbatasan Teknologi dan SDM
Secara umum, industry manufaktur di LDCs relatif masih terbelakang dibandingkan dengan di DCs; walaupun di antara LDCs ada sejumlah negara tertentu yang industrinya sudah sangat maju seperti NICs dan ASEAN. Relatif masih terbelakangnya sektor industry di LDCs disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya adalah keterbatasan T dan rendahnya kualitas SDM. Berbeda dengan di DCs, di LDCs pada umumnya (termasuk Indonesia), selain dana untuk pendidikan dan kegiatan penelitian dan pengembangan (R&D) dari pemerintah sangat terbatas, sedikit sekali perusahaan-perusahaan swasta yang memiliki sendiri lembaga R&D atau yang menyediakan dana khusus untuk pendidikan lanjut bagi pegawainya. Selain itu, kerja sama antara perusahaan swasta dengan universitas atau lembaga pendidikan atau pusat pelatihan, dan litbang yang ada sangat lemah jika dibandingkan di negara-negara seperti AS, Jerman, dan Inggris.
2. Masalah – Masalah Struktural dan Organisasi
UNIDO (2000) dalam studinya mengelompokkan masalah-masalah yang dihadapi oleh industri manufaktur di Indonesia ke dalam dua kategori, yaitu kelemahan-kelemahan yang bersifat organisasi. Kelemahan – kelemahan struktual di antaranya adalah sebagai berikut.
i.Basis ekspor dan pasarnya yang sempit.
Walaupun Indonesia memiliki banyak SDA dan jumlah L yang berlimpah yang merupakan dua faktor utama keunggulan komparatifnya, namun produk dan pasar X Indonesia sangat terkonsentrasi (tingkat divesifikasi X menurut pasar tujuan rendah :
Empat produk, yakni kayu lapis, pakaian jadi, tekstil, dan alas kaki bersama – sama memiliki pangsa 50% dari nilai total X manufaktur;
Pasar untuk tekstil dan pakaian jadi sangat terbatas hanya ke negara-negara yang menerapkan kuota (the Multifibre Agreement, atau MFA) seperti AS, masyarakat Eropa (ME), Kanada, Norwegia, dan Turki.
Tiga negara, yakni AS, Jepang, dan Singapura menyerap sekitar 50% dari nilai X total manufaktur Indonesia, sementara AS sendiri menyerap hampir setengah dari nilai X total dari tekstil dan pakaian jadi;
Sepuluh produk menyumbang sekitar 80% dari seluruh hasil X manufaktur. X manufaktur Indonesia menjadi sangat mudah dipengaruhi oleh perubahan permintaan terhadap produk-produk tersebut di pasar yang terbatas;
Banyak produk-produk manufaktur yang padat L terpilih sebagai X unggulan Indonesia mengalami penurunan harga di pasar dunia sebagai akibat dari persaingan yang semakin ketat, terutama dari Cina dan negara-negara produser lainnya di Asia yang bisa menghasilkan barang sama dengan biaya produksi yang lebih rendah, negara-negara Eropa Timur di pasar Eropa Barat dan negara-negara Amerika Latin untuk untuk pasar Amerika utara. Produk-produk X Indonesia juga mengalami perimintaan yang tidak elastic di pasar di negara-negara industri maju;
Banyak produk-produk manufaktur yang merupakan X tradisional Indonesia mengalami penurunan daya asing, yang terutama disebabkan oleh faktor-faktor eksternal, bukan faktor-faktor internal seperti upah L yang naik.
ii.Ketergantungan pada M yang sangat tinggi
Sejak tahun 1990, Indonesia telah menarik banyak investasi asing (PMA) di industri-industri berteknologi tinggi, seperti farmasi, kimia, elektronik, alat-alat listrik, otomotif. Namun, kebanyakan dari industri-industri tersebut bukan merupakan proses manufaktur dalam arti yang sebenarnya, tetapi proses penggabungan, pengepakan dan assembling, dengan hasil:
Pada tahun 1997, nilai M bahan baku, input perantara, dan komponen berkisar dari 45% di industri-industri kimia, 53% di industri-industri mesin, 56% di industri-industri alat-alat transportasi, hingga 70% di industri-industri barang-barang elektris;
Bahkan industri-industri padat karya sangat tergantung pada M bahan baku, input perantara dan komponen mulai dari 40%-43% di industri-industri tekstil, pakaian jadi dan kulit, hingga 56% di industri-industri alas kaki. Ketergantungan ini disebabkan oleh tidak adanya suplai domestic dan industri-industri pendukung serta lemahnya keterkaitan produksi antar industry di dalam negeri;
Sangat besarnya PMA industri manufaktur nasional, walaupun memberi keuntungan-keuntungan tertentu, seperti pengetahuan mengenai proses manufaktur telah membuat sektor tersebut menjadi sangat tergantung pada suplai bahan baku dan kom[ponen dari luar negeri;
Walaupun pertumbuhan PMA di industri manufaktur sangat pesat dan Indonesia sudah masuk ke dalam sistem manufaktur regional, peralihan T ke Indonesia dalam arti yang luas, termasuk teknikal, manajemen, organisasi, pengembangan produk, dan keterkaitan ekternal sangat terbatas;
Ketergantungan pada PMA juga telah membuat proses peningkatan kemampuan perusahaan-perusahaan lokal dalam proses manufaktur dan kemampuan untuk mengembangkan produk dengan merek sendiri serta membangun jaringan pemasaran sendiri berjalan lamabat.
iii.Tidak adanya industri berteknologi menengah
Kelihatannya pola industrialisasi di Indonesia berbeda dengan di negara-negara lain yang derajat industrialisasinya relative sama:
Kontribusi dari industri-industri berteknologi menengah (termasuk karet dan plastik, semen, logam dasar, dan barang-barang sederhana dari logam) terhadap pembangunan sektor industri manufaktur menurun antara tahun 1985 dan 1997. Pola seperti ini boleh dikatakan unik bagi Indonesia, sejak hampir semua negara di Asia dan belahan dunia lainnya mempertahankan keberadaan industri-industri dari kategori ini di dalam total output manufaktur mereka;
Demikian juga, kontribusi dari produk-produk yang padat K (material-materil dari plastik, produk-produk dari karet, pupuk, bubuk kertas dan kertas, besi dan baja) terhadap total X juga menurun selama periode yang sama;
Sementara di pihak lain, produksi dari industri-industri berteknologi rendah tumbuh pesat disebabkan oleh pertumbuhan pesat dari industri-industri padat L (seperti tekstil, pakaian jadi, dan alas kaki) dan pertumbuhan industri-industri kayu, kertas, dan makanan.
iv.Konsentrasi regional
Industri-industri skala menengah dan besar sangat terkonsentrasi di Jawa dan khususnya di Jabotabek. Walaupun pemerintah telah memberikan berbagai macam insentif, kegiatan produksi manufaktur tetap saja terpusatkan di Jawa. Data BPS menunjukkan bahwa pada tahun 1997 pangsa kesempatan kerja dan NT di industri manufaktur yang dimiliki Jakarta dan Jawa Barat naik hingga sekitar 50% dari total nasional. Peningkatan ini disebabkan, disamping faktor-faktor lain, adanya industri-industri pendukung dan pemasok, pasar yang relatif besar dan berkembang pesat mengikuti pertumbuhan pendapatan riil per kapita dan jumlah populasi, infrastruktur fisik yang baik, dan berdekatan dengan kantor-kantor pemerintah. Menurut data BPS, besarnya sektor manufaktur di luar Jawa hampir T sama dengan di Jawa Timur (20%) dan sekitar setengah dari yang di Jakarta / Jawa Barat.
5.Strategi Pembangunan Sektor Industri
Dalam melaksanakan industrialisasi, ada dua pilihan strategi, yakni strategi substitusi impor (SI) atau strategi promosi ekpor (PE). Strategi SI sering disebut kebijakan inward-looking, yakni strategi yang menfokuskan pada pengembangan industri nasional yang berorientasi kepada dasar domestik. Sedangkan, strategi PE sering disebut kebijakan outward-looking, yakni strategi yang menfokuskan pada pengembangan industri nasional lebih berorientasi ke pasar internasional. Strategi dicapai dengan mengembangkan industri di dalam negeri yang memproduksi barang-barang pengganti M (subtitusi M). Sedangkan, strategi PE dilandasi oleh pemikiran bahwa laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi hanya bisa direalisasikan jika produk-produk yang dibuat di dalam negeri dijual dipasar X.
1. Strategi SI
Hampir semua LDCs memulai industrialisasi mereka dengan strategi SI, terutama di Amerika Latin dan Asia Selatan, Timur dan Tenggara. Ada negara-negara yang menerapkanya hanya pada awal industrialisasi mereka (jangka waktunya pendek), dan setelah itu beralih ke strategi PE, seperti misalnya Korea Selatan dan Taiwan; ada negara seperti Indonesia yang menerapkannya sepanjang proses industrialisasinya,walaupun sejak pertengahan 1980-an strategi tersebut dikombinasikan dengan strategi PE.
Beberapa pertimbangan yang lazim digunakan dalam memilih strategi ini terutama adalah :
i.SDA dan faktor produksi terutama L cukup tersedia di dalam negeri. Sehingga, secara teoretis, biaya produksi yang intensitas penggunaan sumber-sumber ekonomi tersebut tinggi bisa rendah;
ii.Potensi permintaan di dalam negeri yang memadai;
iii.Untuk mendorongperkembangan industry manufaktur di dalam negeri;
iv.Dengan berkembangnya ketergantungan industri di dalam negeri, maka kesempatan kerja diharapkan terbuka lebih luas;
v.Dapat mengurangi ketergantungan terhadap M, yang berarti juga mengurangi defisit saldo neraca perdagangan dan menghemat cadangan devisa.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, dalam strategi SI, industri-industri dalam negeri yang dikembangkan adalah yang memproduksi barang-barang yang sebelumnya di M untuk pasaran dalam negeri. Oleh karena itu, M dikurangi atau dilarang sama sekali. Pelaksanaan strategi SI terdiri dari dua tahap. Dalam tahap pertama, industri yang dikembangkan adalah industri yang membuat barang-barang konsumsi C, walaupun tidak semuanya bersifat barang yang tahan lama seperti kendaraan bermotor, kulkas, televisi, dan alat pendingin. Untuk membuat barang-barang tersebut diperlukan barang modal dan input perantara yang di banyak negara yang menerapkan strategi ini tidak tersedia, sehingga tetap harus diimpor. Dalam tahap kedua, industry yang dikembangkan adalah industry hulu.
Perbedaan antara tahap pertama dengan tahap kedua adalah bahwa tahap pertama telah terbukti jauh lebih mudah dilakukan, tetapi dalam transisi ke tahap kedua banyak negara menghadapi kesulitan yang dalam banyak kasus industri yang dikembangkan itu menjadi industri-industri biaya tinggi. Ada beberapa alasan. Pertama, karena proses substitusi M terhadap barang modal dan input perantara cenderung lebih padat K dibandingkan proses subtitusi M terhadap barang C. kedua, proses produksi di hulu mengandung skala ekonomis dan sangat sensitif terhadap faktor efisiensi di dalam sistem organisasi dan penggunaan T serta metode produksi. Suatu proses produksi di dalam suatu industri dengan ukuran pabrik yang efisien relatif lebih besar dibandingkan besarnya pasar dalam negeri dan organisasi serta teknikel yang tidak efisien akan menimbulkan biaya tinggi.
2.Strategi PE
Melihat pengalaman yang kurang berhasil dengan strategi SI, badan-badan dunia seperti IMF dan Bank Dunia menganjurkan agar LDCs menerapkan strategi PE. Sesuai teori klasik mengenai perdagangan internasional, strategi berorientasi keluar ini melibatkan pembangunan industri manufaktur sesuai keunggulan komparatif yang dimiliki negara bersangkutan. Dibandingkan dengan strategi SI, strategi ini mempromosikan fleksibilitas dalam pergeseran sumber daya ekonomi yang ada mengikuti perubahan pola keunggulan komparatif. Orientasi keluar, yang merupakan dasar strategi PE menghubungkan ekonomi domestik dengan ekonomi dunia lewat promosi perdagangan. Oleh karena itu, diskriminasi dalam penggunaan tarif, kuota, lisensi I, subsidi pajak, dan kredit serta instrument-instrumen lainnya yang sering diterapkan dalam strategi SI, tidak cocok digunakan dalam strategi PE. Ini tidak mengatakan bahwa dalam strategi PE sama sekali tidak ada intervensi pemerintah. Dalam prakteknya, banyak negara menerapkan strategi PE dengan menghilangkan beberapa rintangan terhadap X.
Keberhasilan strategi PE sering diilustrasikan dengan pengalaman dari negara-negara di Asia Timur dan Tenggara seperti Korea Selatan, Taiwan, Singapura, dan Hong Kong, juga hingga tingkat lebih rendah, pengalaman dari negara-negara industri di Amerika Latin seperti Brasil dan Argentina. Dari banyak studi mengenai keberhasilan dari negara-negara tersebut, beberapa saran penting yang diberikan agar penerapan strategi tersebut membawa hasil yang baik adalah bahwa:
i.Pasar harus menciptakan signal harga yang benar, yang sepenuhnya merefleksikan kelangkaan dari barang yang bersangkutan, baik di pasar output maupun pasar unput;
ii.Tingkat proteksi dari M harus rendah;
iii.Nilai tukar mata uang harus realistis, sepenuhnya merefleksikan keterbatasan uang asing yang bersangkutan;
iv.Lebih penting lagi, harus ada insentif untuk meningkatkan X.
Menurut strategi PE, paling tidak kesempatan yang sama harus diberikan kepada industri-industri yang memproduksikan untuk pasar dalam negeri dan industri-industri untuk pasar X.
Dalam kasus Indonesia menjelang pertengahan 1980-an, setelah oil boom kedua (awal 1980-an) berakhir, dan setelah pemerintah akhirnya menyadari bahwa kebijakan proteksi selama itu ternyata lebih banyak merugikan daripada menguntungkan Indonesia, mulai kelihatan adanya perubahan strategi industrialisasi yang dilakukan secara bertahap dari proteksi ke promosi ekspor, khususnya X nonmigas, termasuk produk-produk manufaktur. Perubahan kebijakan ini didukung oleh sejumlah paket deregulasi. Paket deregulasi pertama dilakukan tahun 1982 di sektor keuangan / perbankan yang dikenal dengan sebutan Gebrakan Sumarlin I. Baru tahun 1990-an, reformasi juga dilakukan di sektor keuangan / perbankan. Langkah ini adalah awal daripada reformasi ekonomi yang terus berjalan hingga saat ini, dan intensitasnya bertambah tinggi sejak krisis ekonomi melanda Indonesia sebagai konsekuensi dari kesepakatan antara pemerintah Indonesia dengan IMF.
Dalam strategi baru ini, pemerintah menghilangkan sejumlah rintangan-rintangan nontariff (NTBs), khususnya pembatasan M secara kuantitatif, dengan tujuan untuk menghilangkan bias yang anti X dari strategi sebelumnya. Selain itu, pemerintah juga melakukan konversi dari kuota ke proteksi dengan tarif, penurunan tarif proteksi secara bertahap, dan memperkenalkan skim pembebasan dan pengembalian pajak bagi perusahaan-perusahaan eksportir yang mengekspor paling sedikit 85% dari jumlah output-nya.
3.Kebijakan Industri Pasca Krisis Ekonomi
Salah satu sektor ekonomi di dalam negeri yang sangat terpukul oleh krisis ekonomi adalah sektor industri manufaktur. Akibat depresiasi di sektor tersebut harus mengurangi volume produksi atau bahkan menutup usaha mereka karena sangat mahalnya biaya M. Krisis ekonomi telah menunjukkan bahwa ternyata pembangunan industri selama Orde Baru tidak menghasilkan suatu industri nasional yang kuat. Kebalikannya, pembangunan industri yang didukung oleh kebijakan SI dengan proteksi yang berlebihan dan terlalu lama (walaupun sejak pertengahan 1980-an bergeser secara bertahap ke kebijakan PE) telah membuat industri manufaktur nasional menjadi sangat lemah dengan tingkat ketergantungan pada M dan utang yang sangat tinggi.
Masuknya IMF ke Indonesia dalam usaha membantu Indonesia untuk keluar dari krisis tersebut telah membawa suatu perubahan besar di dalam kebijakan industrialisasi di dalam negeri. Sesuai kesepakatan antara pemerintah Indonesia dengan IMF, dan juga kesepakatan di dalam konteks AFTA dan WTO, kebijakan industri pasca krisis sepenuhnya sejalan dengan kebijakan perdagangan luar negeri yang properdagangan bebas. Kebijakan industri baru ini lebih berorientasi ke X dibandingkan sebelum krisis, walaupun tidak menghilangkan perhatian kepada pembangunan industri-industri untuk pasar domestik. Industri-industri yang yang selain padat L juga mempunyai potensi X yang besar berdasarkan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif yang ada. Salah satu langkah konkret dari pemerintah dalam kebijakan industri baru ini adalah pengurangan tarif M, baik terhadap barang jadi maupun setengah jadi, bahan baku dan komponen secara bertahap, dan penghilangan fasilitas-fasilitas kemudahan yang selama Orde Baru banyak diberikan kepada perusahaan-perusahaan besar (konglomerat). Sedangkan, fasilitas-fasilitas kemudahan seperti kredit murah tetap diberikan kepada usaha kecil dan menengah walaupun dengan prosedur seleksi yang lebih ketat dan prioritas serta program yang lebih jelas dari sebelumnya.

Sumber
Tambunan, Tulus T.H. (2003), perekonomian indonesia beberapa masalah penting, penerbit Ghalia Indonesia

Perekonomian Indonesia (minggu ke-8)

SEKTOR PERTANIAN
1.Peranan Sektor Pertanian
Mengikuti analisis klasik dari Kuznets (1964), pertanian di LDCs dapat dilihat sebagai suatu sektor ekonomi yang sangat potensial dalam empat (4) bentuk kontribusinya terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi nasional, yaitu sebagai berikut.
1.Ekspansi dari sektor-sektor ekonomi lainnya sangat tergantung pada pertumbuhan output di sektor pertanian, baik diri sisi permintaan sebagai sumber pemasokan makanan yang kontinu mengikuti pertumbuhan penduduk, maupun dari sisi penawaran sebagai sumber bahan baku bagi keperluan produksi di sektor-sektor lain seperti industri manufaktur (misalnya industri makanan dan minuman) dan perdagangan. Kuznets menyebut ini sebagai kontribusi produk.
2.Di negara-negara agraris seperti Indonesia, pertanian berperan sebagai sumber penting bagi pertumbuhan permintaan domestic bagi produk-produk dari sektor-sektor ekonomi lainnya. Kuznets menyebutnya kontribusi pasar.
3.Sebagai suatu sumber modal untuk investasi di sektor-sektor ekonomi lainnya. Selain itu, menurut teori penawaran tenaga (L) tak terbatas dari Arthur Lewis dan telah terbukti dalam banyak kasus, bahwa dalam proses pembangunan ekonomi terjadi transfer surplus L dari pertanian (pedesaan) ke industri dan sektor-sektor perkotaan lainnya. Kuznets menyebutnya kontribusi faktor-faktor produksi.
4.Sebagai sumber penting bagi surplus neraca pedagangan (sumber devisa), baik lewat ekspor hasil-hasil pertanian maupun dengan peningkatan produksi pertanian dalam negeri menggantikan impor (substitusi impor). Kuznets menyebutnya kontribusi devisa.
2.Sektor Pertanian di Indonesia
1.Pertumbuhan Output Sejak Tahun 1970-an
Mungkin sudah merupakan suatu evolusi alamiah seiring dengan proses industrialization, di mana pangsa output agregat (PDB) dari pertanian relative menurun sedangkan dari industri manufaktur dan sektor-sektor sekunder lainnya dan sektor tersier meningkat.
2.Pertumbuhan dan Diversifikasi Ekspor
Komoditi pertanian Indonesia yang diekspor cukup bervariasi mulai dari getah karet, kopi, udang, rempah-rempah, mutiara, hingga berbagai macam sayur dan buah.
3.Kontribusi Terhadap Kesempatan Kerja
Sudah diduga bahwa di suatu negara agraris besar seperti Indonesia, di mana ekonomi dalam negerinya masih didominasi oleh ekonomi pedesaan, sebagian besar dari jumlah angkatan / tenaga kerja (L) bekerja di pertanian.
4.Ketahanan Pangan
Di Indonesia, ketahanan pangan merupakan salah satu topik yang sangat penting, bukan saja diihat dari nilai-nilai ekonomi dan sosial, tetapi masalah ini mengandung konsekuensi politik yang sangat besar. Dapat dibayangkan apa yang akan terjadi dengan kelangsungan suatu kabinet pemerintah atau stabilitas politik di dalam negeri apabila Indonesia terancam kekurangan pangan atau kelaparan. Bahkan di banyak negara, ketahanan pangan sering digunakan sebagai alat politik bagi seorang presiden untuk mendapatkan dukungan dari rakyatnya. Ketahanan pangan menjadi tambah penting lagi terutama karena saat ini Indonesia merupakan salah satu anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Artinya, di satu pihak, pemerintah harus memperhatikan kelangsungan produksi pangan di dalam negeri demi menjamin ketahanan pangan, namun, di pihak lain, Indonesia tidak bisa menghambat impor pangan dari luar. Dalam kata lain, apabila Indonesia tidak siap, keanggotaan Indonesia di dalam WTO bisa membuat Indonesia menjadi sangat tergantng pada impor pangan, dan ini dapat mengancam ketahanan pangan di dalam negeri.
Konsep ketahanan pangan yang dianut Indonesia dapat dilihat dari Undang-undang (UU) No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Pasal 1 Ayat 17 yang menyebutkan bahwa “Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga (RT) yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau.” UU ini sejalan dengan definisi ketahanan pangan menurut Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1992, yakni akses setiap RT atau individu untuk dapat memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup yang sehat. Sementara pada World Food Summit tahun 1996, ketahanan pangan disebut sebagai akses setiap RT atau individu untuk dapat memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup yang sehat dengan persyaratan penerimaan pangan sesuai dengan nilai atau budaya setempat (Pambudy, 2002a).
a.Kebutuhan Pangan Nasional
Banyak orang memperkirakan bahwa dengan laju pertumbuhan penduduk di dunia yang tetap tinggi setiap tahun, sementara lahan yang tersedia untuk kegiatan-kegiatan pertanian semakin sempit, maka pada suatu saat dunia akan mengalami krisis pangan (kekurangan stok), seperti juga diprediksi oleh teori Malthus. Namun, keterbatasan stok pangan bisa diakibatkan oleh dua hal : karena volume produksi rendah (yang disebabkan oleh faktor cuaca atau lainnya), sementara permintaan besar karena jumlah penduduk dunia bertambah terus atau akibat distribusi yang tidak merata ke seluruh dunia: banyak daerah seperti Afrika mengalami krisis pangan, sementara di Eropa Barat, Amerika Utara, dan sebagian Asia mengalami kelebihan pangan.
Menurut prediksi dari FAO, untuk 30 tahun ke depan, peningkatan produksi pangan akan lebih daripada pertumbuhan pendudukan dunia. Peningkatan produksi pangan yang tinggi itu akan terjadi di DCs. Selain kecukupan pangan, kualitas makanan juga akan membaik. Menurut data dari FAO, dalam 20 tahun belakangan ini peningkatan produksi pangan di dunia rata-rata per tahun mencapai 2,1%, sedangkan laju pertumbuhan penduduk dunia hanya 1,6% per tahun. Selama periode 2000-2015 peningkatan produksi pangan diperkirakan akan menurun menjadi rata-rata 1,6% per tahun, namun masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk dunia yang diprediksi 1,2% per tahun. Untuk periode 2015-2030 FAO memperkirakan produksi pangan akan tumbuh lebih rendah lagi yakni 1,3% per tahun, tetapi masih lebih tinggi daripada pertumbuhan penduduk dunia sebesar 0,8% per tahun. Produksi biji-bijian dunia akan meningkat sebesar 1 miliar ton selama 30 tahun ke depan, dari 1,84 miliar ton di tahun 2000 menjadi 2,84 miliar ton di tahun 2010 (Husodo, 2002).
3.Nilai Tukar Petani
1.Pengertian Nilai Tukar
Yang dimaksud dengan nilai tukar adalah nilai tukar suatu barang dengan barang lain, jadi suatu rasio harga (nominal atau indeks) dari dua barang yang berbeda. Sebagai contoh sederhana, misalnya ada dua jenis barang: A dan B dengan harga masing-masing PA = 10 dan PB = 20. Maka nilai tukar barang A terhadap barang B adalah rasio (PA/PB) x 100 % = 1/2. Rasio ini menunjukkan bahwa untuk mendapatkan ½ unit B harus ditukar dengan 1 unit A (atau 1 unit B ditukar dengan 2 unit A). rasio ini dapat juga diartikan sebagai berikut. Di dalam suatu ekonomi dengan SDA, SDM, K,T,E dan input-input produksi lainnya yang ada tetap tidak berubah, biaya alternative dari membuat 1/2 unit B adalah harus mengorbankan (tidak membuat) 1 unit A. Semakin kuat posisi tawar barang A (misalnya PA naik dengan laju lebih tinggi daripada kenaikan PB), semakin tinggi nilai rasio tersebut, dan sebaliknya semakin rendah.
4.Investasi di Sektor Pertanian
5.Keterkaitan Pertanian dengan Industri Manufaktur

Sumber : Tambunan, Tulus T.H. (2003), perekonomian indonesia beberapa masalah penting, penerbit Ghalia Indonesia

Rabu, 01 Juni 2011

Perekonomian Indonesia (Minggu ke-7)

Pembangunan Ekonomi Daerah danOtonomi Daerah

1. Pembangunan Ekonomi Regional
Pembangunan ekonomi sejak Pelita I hingga krisis tahun 1997 memang telah memberi hasil-hasil positif bagi perekonomian Indonesia, terutama jika dilihat dari sisi kinerja ekonomi makronya. Tingkat PN riil rata-rata per kapita mengalami peningkatan yang cukup signifikasi dari hanya sekitar US$ 50 pertengahan 1960-an menjadi lebih dari US$ 1000 pertengahan 1990-an, dan bahkan Indonesia sempat disebut sebagai calon Negara industry baru di Asia Tenggara, satu tingkat di bawah NICs. Namun, dilihat dari sisi kualitasnya, ternyata proses pembangunan ekonomi selama Orde Baru telah menciptakan suatu kesenjangan yang besar, baik dalam bentuk ketimpangan dalam distribusi pendapatan antarkelompok pendapatan, maupun kesenjangan ekonomi / pendapatan antardaerah / provinsi. Pembangunan ekonomi yang tidak merata antarprovinsi membuat sebagian masyarkat (kalau tidak bisa dikatakan semuanya) di banyak daerah di luar pulau Jawa seperti Aceh, Irian Jaya (Papua), dan Riau ingin melepaskan diri dari Indonesia.Bahkan dapat dikatakan bahwa menangnya kelompok pro kemardekaan di Timor Timur tidak lepas dari kekecewaan dari sebagian besar masyarakatnya melihat kenyataan bahwa bergabungnya mereka dengan Indonesia selama Orde Baru tidak menghasilkan pembangunan ekonomi yang berarti di wilayah mereka.

2. Faktor-faktor Penyebab Ketimpangan
Sudah cukup banyak studi yang menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi antar provinsi atau wilayah di Indonesia. Di antaranya dari Esmara (1975), Sediono dan Igusa (1992), Azis (1989), Hill dan Wiliams (1989), Sondakh (1994), dan Safrizal (1997,2000). Kesimpulan dari semua studi-studi tersebut adalah bahwa f aktor-faktor utama penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi antar provinsi di Indonesia adalah sebagaiberikut.
1. Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah
Konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi di daerah tertentu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya ketimpangan pembangunan antar daerah. Ekonomi dari daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi tinggi cenderung tumbuh pesat.Sedangkan daerah dengan tingkat konsentrasi ekonomi rendahakan cenderung mempunyai tingkat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah. Di Indonesia, strategi pembangunan ekonomi nasional yang diterapkan selama pemerintahan OrdeBaru membuat secara langsung maupun tidak langsung terpusatnya pembangunan ekonomi di Jawa, khususnya Jawa Barat dan Jawa Timur, dan hingga tingkat tertentu di Sumatra. Ini membuat terbelakangnya pembangunan ekonomi diprovinsi-provinsi di luarJawa, khususnya di IKT.Selain itu, memusatnya pembangunan ekonomi di Jawa juga disebabkan oleh berbagai hal lain, di antaranya ketersediaan infrastruktur dan letak geografis. Ekspansi ekonomi dalam pola seperti ini terbukti mempunyai pengaruh yang merugikan bagi daerah-daerah lain, karena L dan K yang ada, serta kegiatan perdagangan pindah dari daerah-daerah di luar Jawa ke Jawa. Khususnya migrasi L, baik dari kategori L berpendidikan rendah maupunberpendidikantinggiterusmengalirkeJawa, sehinggamerugikandaerah-daerah lain: salahsatufaktorproduksipentinghilang di daerah-daerah.
Kerugian yang dialami banyak daerah di luar Jawa, khususnya IKT, karena terpusatnya kegiatan ekonomi nasional di Jawa adalah salah satu contoh konkret dari apa yang dimaksud dengan efek “penyurutan” dari kegiatan ekonomi yang terpusatkan di suatu daerah. Namun, sebenarnya kegiatan ekonomi yang terpusatnya di Jawa tidak harus sepenuhnya merugikan semua daerah lain, khususnya yang dekat dengan Jawa; atau tidak harus memperbesar efek-efek polarisasi. Paling tidak dalam teori, pembangunan ekonomi yang pesat di Jawa selama ini bisa juga member banyak keuntungan, misalnya dalam bentuk ekspor dari daerah-daerah tersebut ke Jawa meningkat dan berarti dampak positif terhadap pertumbuhan kesempatan kerja dan pendapatan di daerah-daerah tersebut.
2. Alokasi Investasi
Indikator lain yang juga menujukkan pola serupa adalah distribusi investasi (I) langsung, baik yang bersumber dari luarnegeri (PMA) mau pun dari dalam negeri (PMDN). Berdasarkan teori pertumbuhan ekonomi dari Harrod-Domar yang menerangkan adanya korelasi positif antara tingkat I dan laju pertumbuhan ekonomi, dapat di katakana bahwa kurangnya I di suatu wilayah membuat pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakan per kapita di wilayah tersebut rendah , karena tidakada kegiatan-kegiatan ekonomi yang produktif seperti industri manufaktur.

3. Pembangunan Indonesia BagianTimur
Mengacu kepada hal itu strategi utama yang harus dibangun salah satunya adalah penguatan konektivitas nasional. Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) Emil Salim mengatakan, untuk untuk mengembangkan keutuhan NKRI, perlu mengutamakan penggalakan konektivitas Indonesia bagian barat dan timur. Sebab, kata dia, saat ini Indonesia bagian timur masih tertinggal sehingga tidak menarik minat pengusaha berinvestasi di sana. Indonesia bagian timur harus dibangun, harus dikembangkan terus, untuk memperkuat perekonomian di Indonesia, koridor ekonomi di Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Papua, dan Kepulauan Maluku, masih mencatat angka buruk di semua indikator kesejahteraan penduduk, kemiskinan, dan gizi buruk,”

4. Teori dan analisis pembangunan ekonomi daerah
Ada sejumlah teori yang dapat menerangkan kenapa ada perbedaan dalam tingkat pembangunan ekonomi antardaerah diantaranya yang umum di gunakan adalah teori basis ekonomi, teori lokasi dan teori daya tarik industri.
1. Teori pembangunan ekonomi daerah
a. Teori basis ekonomi
Teori basis ekonomi menyatakan bahwa faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah berhubungan langsung dengan permintaan akan barang dan jasa dari luar daerah.
b. Teori lokasi
Teori lokasi juga sering digunakan untuk penentuan atau pengembangan kawasan industri di suatu dareah. Inti pemikiran dari teori ini didasarkan pada sifat rasional pengusaha/perusahaan yang cenderung mencari keuntungan setinggi mungkin dengan biaya serendah mungkin oleh karena itu , pengusaha akan memilih lokasi usaha yang memaksimalkan keuntungannya dan meminimalisasikan biaya usaha atau produksinya, yakni lokasi yang dekat dengan tempat bahan baku dan pasar.
c. Teori daya tarik industry
Dalam upaya pembangunan ekonomi daerah di Indonesia sering di pertanyakan. Jenis - jenis industri apa saja yang tepat untuk dikembangkan (diunggulkan) ? Ini adalah masalah membangun fortofolio industri suatu daerah.
2. Model ananlisipembangunadaerah
Selain teori-teori di atas, ada beberapa metode yang umum digunakan untuk menganalisi posisi relative ekonomi suatu daerah; salah satu di antaranya adalah metode analisis shift-share (SS), location questitens, angka pengganda pendapatan , analisis input output (i-o) ,dan model perumbuhan Harold-domar.
Berikutadalahsebagianpenjelasandari model analisisdalampembagunaandaerah .
a. Analisis SS
Dengan pendekatan analisi sini ,dapat di analisis kinerja perekonomian suatu daerah dengan membandingakanya dengan daerah yang lebih besar ( nasional).
b. Location Quotients (LQ)
Yaitu untuk mengukur konsentrasi dari suatu kegiatan ekonomi atau sector di suatu daerah dengan cara membandingkan peranany adalah perekonomian daerah tersebut dengan peranan dari kegiatan ekonomi atau sektor yang sampai di tingkat yang sama.
c. Angka Pengganda Pendapatan
Metode ini umum digunakan untuk mengukur potensi kenaikan pendapatan suatu daerah dari suatu kegiatan ekonomi yang baru atau peningkatan output dari suatu sektor di daerah tersebut.
d. Analisis Input-Output (I-O)
Analisis I-O merupakan salah satu metode analisis yang sering digunakan untuk mengukur perekonomian suatu daerah dengan melihat keterkaitan antarsektor dalam usaha memahami kompleksitas perekonomian daerah tersebut, serta kondisi yang diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan antara AS dan AD.

5. Otonomi Daerah
Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.


Sumber
Tambunan, Tulus T.H. (2003), perekonomian indonesia beberapa masalah penting, penerbit Ghalia Indonesia

Perekonomian Indonesia (Minggu ke-5 & 6)

KEMISKINAN DAN KESENJANGAN

A. Konsep dan Definisi
Besarnya kemiskinan dapat diukur dengan atau tanpa mengacu kepada garis kemiskinan. Konsep yang mengacu kepada garis kemiskinan disebut kemiskinan relatif, sedangkan konsep yang pengukurannya tidak didasarkan pada garis kemiskinan disebut kemiskinan absolut. Kemiskinan relative adalah suatu ukuran mengenai kesenjangan di dalam distribusi pendapatan, yang biasanya dapat didefinisikan di dalam kaitannya dengan tingkat rata-rata daridistribusi yang dimaksud. Di negara-negara maju (DCs), kemiskinan relative diukur sebagai suatu proporsi dari tingkat pendapatan rata-rata per kapita. Sebagai suatu ukuran relatif, kemiskinan relative dapat berbeda menurut negara atau periode di dalam suatu negara. Kemiskinan absolute adalahderajat dari kemiskinan di bawah, di mana kebutuhan-kebutuhan minimum untuk bertahan hidup tidak dapat terpenuhi. Ini adalah suatu ukuran tetap (tidak berubah) di dalam bentuk suatu kebutuhan kalori minimum ditambah komponen-komponen non makanan yang juga sangat diperlukan untuk bertahan hidup. Walaupun kemiskinan absolute sering juga disebut kemiskinan ekstrem, tetapi maksud dari yang terakhir ini bisa bervariasi, tergantung pada interpretasi setempat atau kalkulasi.

B. Pertumbuhan, Kesenjangan, dan Kemiskinan

1. Hubungan Antara Pertumbuhan dan Kesenjangan: Hipotesis Kuznets
Data tahun1970-an dan 1980-an mengenai pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan di banyak LDCs, terutama negara-negara yang proses pembanguan ekonominya sangat pesat dan dengan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, seperti Indonesia, menunjukkan seakan-akan ada suatu korelasi positif antara laju pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kesenjangan dalam distribusi pendapatan: semakin tinggi pertumbuhan PDB atau semakin besar pendapatan per kapita semakin besar perbedaan antara kaum miskin dan kaum kaya. Bahkan suatu studi dari Ahuja, dkk. (1997) di negara-negara di Asia Tenggara menunjukkan bahwa setelah sempat turun dan stabil selama 1970-an dan 1980-an pada saat negara-negara itu mengalami laju pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun yang tinggi, pada awal 1990-an ketimpangan dalam distribusi pendapatan di negara-negara tersebut mulai membesar kembali. Hal ini tidak hanya terjadi di LDCs. Studi-studi dari Jantti(1997) dan Mule (1998) memperlihatkan bahwa perkembangan ketimpangan dalam pembagian PN antara kelompok kaya dengan kelompok miskin di Sweden, Inggris, AS, dan beberapa negara lainnya di Eropa Barat menunjukkan suatu tren yang meningka tselama 1970-an dan 1980-an. Misalnya, Jantti (1997) di dalam studinya membuat suatu kesimpulan bahwa semakin membesarnya ketimpangan dalam distribusi pendapatan di negara-negara tersebut disebabkan oleh pergeseran-pergeseran demografi, perubahan pasar buruh dan perubahan kebijakan-kebijakan public. Dalam hal perubahan pasar buruh, membesarnya kesenjangan pendapatan dari kepala keluarga dan semakin besarnya saham pendapatan dari istri di dalam total pendapatan keluarga merupakan dua faktor penyebab penting.
2. Hubungan Antara Pertumbuhan dan Kemiskinan
Dasar teori dari korelasi antara pertumbuhan pendapatan per kapita dan tingkat kemiskinan tidak berbeda dengan kasus pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan dalam distribusi pendapatan seperti yang telah dibahas di atas. Mengikuti hipotesis Kuznets, pada tahap awal dari proses pembangunan, tingkat kemiskinan cenderung meningkat, dan pada saat mendekati tahap akhir dari pembangunan jumlah orang miskin berangsur-angsur berkurang. Tentu, seperti telah dikatakan sebelumnya, banyak faktor-faktor lain selain pertumbuhan pendapatan yang juga berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan di suatu wilayah / negara, seperti derajat pendidikan tenaga kerja dan struktur ekonomi.

C. Beberapa Indikator Kesenjangan dan Kemiskinan
Ada jumlah cara untuk mengukur tingkat kesenjangan dalam distribusi pendapatan yang dapat dibagi kedalam dua kelompok pendekatan, yakni axiomatic danstochastic dominance. Yang sering digunakan di dalam literature adalah dari kelompok pendekatan pertama dengan tiga alat ukur, yakni the Generalized Entropy (GE), ukuran Atkinson dan koefisien Gini.
Nilai koefisien Gini berada pada selang 0 sampai dengan 1. Bila 0 : kemerataan sempurna (setiap orang mendapat porsi yang sama dari pendapatan) dan bila 1 : ketidakmerataan yang sempurna dalam pembagian pendaptan, artinya satu orang (atau satu kelompok pendapatan) di suatu negara menikmati semua pendapatan negara tersebut.
Selain tiga alat ukur di atas, cara pengukuran lainnya yang juga umum digunakan, terutama oleh Bank Dunia, adalah dengan cara jumlah penduduk dikelompokkan menjadi tiga grup : 40% penduduk dengan pendapatan rendah, 40% penduduk dengan pendapatan menengah, dan 20% pendudukan dengan pendapatan tinggi dari jumlah penduduk. Selanjutnya, ketidakmerataan pendapatan diukur berdasarkan pendapatan yang dinikmati oleh 40% penduduk dengan pendapatan rendah. Menurut kriteria Bank Dunia, tingkat ketidakmerataan dalam distribusi pendapatan dinyatakan tinggi, apabila 40% penduduk dari kelompok berpendapatan rendah menerima lebih kecil dari 12% dari jumlah pendapatan. Tingkat ketidakmerataan sedang, apabila kelompok tersebut menerima 12% sampai 17% dari jumlah pendapatan; sedangkan ketidakmerataan rendah, apabila kelompok tersebut menerima lebih besar dari 17% dari jumlah pendapatan.

D. Penemuan Empiris
1. Distribusi Pendapatan
Studi-studi mengenai distribusi pendapatan di Indonesia pada umumnya menggunakan data BPS mengenai pengeluaran konsumsi rumah tangga dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Data pengeluaran konsumsi dipakai sebagai suatu pendekatan (proksi) untuk mengukur distribusi pendapatan masyarakat. Walaupun diakui bahwa cara ini sebenarnya mempunyai suatu kelemahan yang serius: data pengeluaran konsumsi bisa memberikan informasi yang tidak tepat mengenai pendapatan, atau tidak mencerminkan tingkat pendapatan yang sebenarnya. Jumlah pengeluaran konsumsi seseorang tidak harus selalu sama dengan jumlah pendapatan yang diterimanya, bisa lebih besar atau lebih kecil. Misalnya, pendapatanya lebih besar tidak selalu berarti pengeluaran konsumsinya juga besar, karena ada tabungan. Sedangkan, jika jumlah pendapatannya rendah tidak selalu berarti jumlah konsumsinya juga rendah. Banyak rumah tangga memakai kredit bank untuk membiayai pengeluaran konsumsi tertentu, misalnya untuk beli rumah dan mobil, dan untuk membiayai sekolah anak atau bahkan untuk liburan.
Demikian pula pengertian pendapatan, yang artinya pembayaran yang di dapat karena bekerja atau menjual jasa, tidak samadengan pengertian kekayaan. Kekayaan seseorang bisa jauh lebih besar daripada pendapatannya. Atau, seseorang bisa saja tidak punya pekerjaan (pendapatan) tetapi ia sangat kaya karena ada warisan keluarga. Banyak pengusaha-pengusaha muda di Indonesia kalau diukur dari tingkat pendapatan mereka tidak terlalu berlebihan, tetapi mereka sangat kaya karena perusahaan di mana mereka bekerja adalah milik mereka (atau orang tua mereka).
Akan tetapi, karena pengumpulan data pendapatan di Indonesia seperti di banyak LDCs lainnya masih relative sulit, salah satunya karena banyak rumah tangga atau individu yang mempunyai pekerjaan di sektor informal atau tidak menentu, maka penggunaan data pengeluaran konsumsi rumah tangga dianggap sebagai salah satu alternatif.
2. Kemiskinan
Kemiskinan bukan hanya masalah Indonesia, tetapi merupakan masalah dunia. Laporan dari Bank Dunia menunjukkan bahwa tahun 1998 terdapat 1,2 miliar orang miskin dari sekitar 5 miliar lebih jumlah penduduk di dunia. Sebagaian besar dari jumlah tersebut terdapat di Asia Selatan (43,5%) yang terkonsentrasi di India, Bangladesh, Nepal, Sri Langka, dan Pakistan. Afrika SubSahara merupakan wilayah ini terutama disebabkan oleh iklim dan kondisi tanah yang tidak mendukung kegiatan pertanian (kekeringan dan gersang), pertikaian yang tidak henti-hentinya antar suku, manajemen ekonomi makro yang buruk dan pemerintahan yang bobrok. Wilayah ketiga yang terdapat banyak orang miskin adalah Asia Tenggara dan Pasifik (23,2%). Kemiskinan di Asia Tenggara terutama terdapat di Cina, Laos, Indonesia, Vietnam, Thailand, danKamboja.

E. Kebijakan Antikemiskinan
Untuk mengetahui kenapa diperlukan kebijakan antikemiskinan dan distribusi pendapatan, perlu diketahui terlebih dahulu bagaimana hubungan alamiah antara pertumbuhan ekonomi, kebijakan, kelembagaan, dan penurunan kemiskinan.
Kebijakan antikemiskinan dan distribusi pendapatan mulai muncul sebagai salah satu kebijakan yang sangat penting dari lembaga-lembaga dunia, seperti Bank Dunia, ADB, UNDP, ILO, dan lain-lain pada tahun 1970, pada saat komite dari PBB untuk perencanaan pembangunan menyiapkan suara deklarasi untuk Dekade Pembangunan Kedua dari PBB yang isinya adalah:… the efforts needed are best characterized by what is sometimes called the necessary ‘war on poverty’ (United Nations, 1970, hal. 6). Komite tersebut mendeklarasikan bahwa penurunan kemiskinan lewat percepatan proses pembangunan, penyempurnan distribusi pendapatan, dan perubahan-perubahan social lainnya (termasuk kesempatan kerja, pendidikan, kesehatan, danperumahan) sebagai tujuan terpenting dari suatu strategi pembangunan internasional yang tepat.


Sumber
Tambunan, Tulus T.H. (2003), perekonomian indonesia beberapa masalah penting, penerbit Ghalia Indonesia