Rabu, 01 Juni 2011

Perekonomian Indonesia (Minggu ke-5 & 6)

KEMISKINAN DAN KESENJANGAN

A. Konsep dan Definisi
Besarnya kemiskinan dapat diukur dengan atau tanpa mengacu kepada garis kemiskinan. Konsep yang mengacu kepada garis kemiskinan disebut kemiskinan relatif, sedangkan konsep yang pengukurannya tidak didasarkan pada garis kemiskinan disebut kemiskinan absolut. Kemiskinan relative adalah suatu ukuran mengenai kesenjangan di dalam distribusi pendapatan, yang biasanya dapat didefinisikan di dalam kaitannya dengan tingkat rata-rata daridistribusi yang dimaksud. Di negara-negara maju (DCs), kemiskinan relative diukur sebagai suatu proporsi dari tingkat pendapatan rata-rata per kapita. Sebagai suatu ukuran relatif, kemiskinan relative dapat berbeda menurut negara atau periode di dalam suatu negara. Kemiskinan absolute adalahderajat dari kemiskinan di bawah, di mana kebutuhan-kebutuhan minimum untuk bertahan hidup tidak dapat terpenuhi. Ini adalah suatu ukuran tetap (tidak berubah) di dalam bentuk suatu kebutuhan kalori minimum ditambah komponen-komponen non makanan yang juga sangat diperlukan untuk bertahan hidup. Walaupun kemiskinan absolute sering juga disebut kemiskinan ekstrem, tetapi maksud dari yang terakhir ini bisa bervariasi, tergantung pada interpretasi setempat atau kalkulasi.

B. Pertumbuhan, Kesenjangan, dan Kemiskinan

1. Hubungan Antara Pertumbuhan dan Kesenjangan: Hipotesis Kuznets
Data tahun1970-an dan 1980-an mengenai pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan di banyak LDCs, terutama negara-negara yang proses pembanguan ekonominya sangat pesat dan dengan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, seperti Indonesia, menunjukkan seakan-akan ada suatu korelasi positif antara laju pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kesenjangan dalam distribusi pendapatan: semakin tinggi pertumbuhan PDB atau semakin besar pendapatan per kapita semakin besar perbedaan antara kaum miskin dan kaum kaya. Bahkan suatu studi dari Ahuja, dkk. (1997) di negara-negara di Asia Tenggara menunjukkan bahwa setelah sempat turun dan stabil selama 1970-an dan 1980-an pada saat negara-negara itu mengalami laju pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun yang tinggi, pada awal 1990-an ketimpangan dalam distribusi pendapatan di negara-negara tersebut mulai membesar kembali. Hal ini tidak hanya terjadi di LDCs. Studi-studi dari Jantti(1997) dan Mule (1998) memperlihatkan bahwa perkembangan ketimpangan dalam pembagian PN antara kelompok kaya dengan kelompok miskin di Sweden, Inggris, AS, dan beberapa negara lainnya di Eropa Barat menunjukkan suatu tren yang meningka tselama 1970-an dan 1980-an. Misalnya, Jantti (1997) di dalam studinya membuat suatu kesimpulan bahwa semakin membesarnya ketimpangan dalam distribusi pendapatan di negara-negara tersebut disebabkan oleh pergeseran-pergeseran demografi, perubahan pasar buruh dan perubahan kebijakan-kebijakan public. Dalam hal perubahan pasar buruh, membesarnya kesenjangan pendapatan dari kepala keluarga dan semakin besarnya saham pendapatan dari istri di dalam total pendapatan keluarga merupakan dua faktor penyebab penting.
2. Hubungan Antara Pertumbuhan dan Kemiskinan
Dasar teori dari korelasi antara pertumbuhan pendapatan per kapita dan tingkat kemiskinan tidak berbeda dengan kasus pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan dalam distribusi pendapatan seperti yang telah dibahas di atas. Mengikuti hipotesis Kuznets, pada tahap awal dari proses pembangunan, tingkat kemiskinan cenderung meningkat, dan pada saat mendekati tahap akhir dari pembangunan jumlah orang miskin berangsur-angsur berkurang. Tentu, seperti telah dikatakan sebelumnya, banyak faktor-faktor lain selain pertumbuhan pendapatan yang juga berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan di suatu wilayah / negara, seperti derajat pendidikan tenaga kerja dan struktur ekonomi.

C. Beberapa Indikator Kesenjangan dan Kemiskinan
Ada jumlah cara untuk mengukur tingkat kesenjangan dalam distribusi pendapatan yang dapat dibagi kedalam dua kelompok pendekatan, yakni axiomatic danstochastic dominance. Yang sering digunakan di dalam literature adalah dari kelompok pendekatan pertama dengan tiga alat ukur, yakni the Generalized Entropy (GE), ukuran Atkinson dan koefisien Gini.
Nilai koefisien Gini berada pada selang 0 sampai dengan 1. Bila 0 : kemerataan sempurna (setiap orang mendapat porsi yang sama dari pendapatan) dan bila 1 : ketidakmerataan yang sempurna dalam pembagian pendaptan, artinya satu orang (atau satu kelompok pendapatan) di suatu negara menikmati semua pendapatan negara tersebut.
Selain tiga alat ukur di atas, cara pengukuran lainnya yang juga umum digunakan, terutama oleh Bank Dunia, adalah dengan cara jumlah penduduk dikelompokkan menjadi tiga grup : 40% penduduk dengan pendapatan rendah, 40% penduduk dengan pendapatan menengah, dan 20% pendudukan dengan pendapatan tinggi dari jumlah penduduk. Selanjutnya, ketidakmerataan pendapatan diukur berdasarkan pendapatan yang dinikmati oleh 40% penduduk dengan pendapatan rendah. Menurut kriteria Bank Dunia, tingkat ketidakmerataan dalam distribusi pendapatan dinyatakan tinggi, apabila 40% penduduk dari kelompok berpendapatan rendah menerima lebih kecil dari 12% dari jumlah pendapatan. Tingkat ketidakmerataan sedang, apabila kelompok tersebut menerima 12% sampai 17% dari jumlah pendapatan; sedangkan ketidakmerataan rendah, apabila kelompok tersebut menerima lebih besar dari 17% dari jumlah pendapatan.

D. Penemuan Empiris
1. Distribusi Pendapatan
Studi-studi mengenai distribusi pendapatan di Indonesia pada umumnya menggunakan data BPS mengenai pengeluaran konsumsi rumah tangga dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Data pengeluaran konsumsi dipakai sebagai suatu pendekatan (proksi) untuk mengukur distribusi pendapatan masyarakat. Walaupun diakui bahwa cara ini sebenarnya mempunyai suatu kelemahan yang serius: data pengeluaran konsumsi bisa memberikan informasi yang tidak tepat mengenai pendapatan, atau tidak mencerminkan tingkat pendapatan yang sebenarnya. Jumlah pengeluaran konsumsi seseorang tidak harus selalu sama dengan jumlah pendapatan yang diterimanya, bisa lebih besar atau lebih kecil. Misalnya, pendapatanya lebih besar tidak selalu berarti pengeluaran konsumsinya juga besar, karena ada tabungan. Sedangkan, jika jumlah pendapatannya rendah tidak selalu berarti jumlah konsumsinya juga rendah. Banyak rumah tangga memakai kredit bank untuk membiayai pengeluaran konsumsi tertentu, misalnya untuk beli rumah dan mobil, dan untuk membiayai sekolah anak atau bahkan untuk liburan.
Demikian pula pengertian pendapatan, yang artinya pembayaran yang di dapat karena bekerja atau menjual jasa, tidak samadengan pengertian kekayaan. Kekayaan seseorang bisa jauh lebih besar daripada pendapatannya. Atau, seseorang bisa saja tidak punya pekerjaan (pendapatan) tetapi ia sangat kaya karena ada warisan keluarga. Banyak pengusaha-pengusaha muda di Indonesia kalau diukur dari tingkat pendapatan mereka tidak terlalu berlebihan, tetapi mereka sangat kaya karena perusahaan di mana mereka bekerja adalah milik mereka (atau orang tua mereka).
Akan tetapi, karena pengumpulan data pendapatan di Indonesia seperti di banyak LDCs lainnya masih relative sulit, salah satunya karena banyak rumah tangga atau individu yang mempunyai pekerjaan di sektor informal atau tidak menentu, maka penggunaan data pengeluaran konsumsi rumah tangga dianggap sebagai salah satu alternatif.
2. Kemiskinan
Kemiskinan bukan hanya masalah Indonesia, tetapi merupakan masalah dunia. Laporan dari Bank Dunia menunjukkan bahwa tahun 1998 terdapat 1,2 miliar orang miskin dari sekitar 5 miliar lebih jumlah penduduk di dunia. Sebagaian besar dari jumlah tersebut terdapat di Asia Selatan (43,5%) yang terkonsentrasi di India, Bangladesh, Nepal, Sri Langka, dan Pakistan. Afrika SubSahara merupakan wilayah ini terutama disebabkan oleh iklim dan kondisi tanah yang tidak mendukung kegiatan pertanian (kekeringan dan gersang), pertikaian yang tidak henti-hentinya antar suku, manajemen ekonomi makro yang buruk dan pemerintahan yang bobrok. Wilayah ketiga yang terdapat banyak orang miskin adalah Asia Tenggara dan Pasifik (23,2%). Kemiskinan di Asia Tenggara terutama terdapat di Cina, Laos, Indonesia, Vietnam, Thailand, danKamboja.

E. Kebijakan Antikemiskinan
Untuk mengetahui kenapa diperlukan kebijakan antikemiskinan dan distribusi pendapatan, perlu diketahui terlebih dahulu bagaimana hubungan alamiah antara pertumbuhan ekonomi, kebijakan, kelembagaan, dan penurunan kemiskinan.
Kebijakan antikemiskinan dan distribusi pendapatan mulai muncul sebagai salah satu kebijakan yang sangat penting dari lembaga-lembaga dunia, seperti Bank Dunia, ADB, UNDP, ILO, dan lain-lain pada tahun 1970, pada saat komite dari PBB untuk perencanaan pembangunan menyiapkan suara deklarasi untuk Dekade Pembangunan Kedua dari PBB yang isinya adalah:… the efforts needed are best characterized by what is sometimes called the necessary ‘war on poverty’ (United Nations, 1970, hal. 6). Komite tersebut mendeklarasikan bahwa penurunan kemiskinan lewat percepatan proses pembangunan, penyempurnan distribusi pendapatan, dan perubahan-perubahan social lainnya (termasuk kesempatan kerja, pendidikan, kesehatan, danperumahan) sebagai tujuan terpenting dari suatu strategi pembangunan internasional yang tepat.


Sumber
Tambunan, Tulus T.H. (2003), perekonomian indonesia beberapa masalah penting, penerbit Ghalia Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar