Jumat, 03 Juni 2011

Perekonomian Indonesia ( Minggu ke-9 )

INDUSTRIALISASI
1.Konsep dan Industrialisasi
Dalam sejarah pembangunan ekonomi, konsep industrialisasi berawal dari revolusi industri pertama pada pertengahan abad ke-18 di Inggris, yang ditandai dengan penemuan metode baru untuk pemintalan, dan penenuan kapas yang menciptakan spesialisasi dalam produksi, serta peningkatan produktivitas dari faktor produksi yang digunakan. Setelah itu, inovasi dan dan penemuan baru dalam pengolahan besi dan mesin uap, yang mendorong inovasi dalam pembuatan antara lain besi dan baja, kereta api, dan kapal tenaga uap. Setelah itu kemudian menyusul revolusi industri kedua pada akhir abad ke-18, dan awal abad ke-19 dengan berbagai perkembangan teknologi dan inovasi. Setelah Perang Dunia II, mulai muncul berbagai barang sintetis, dan revolusi teknologi telekomunikasi, elektronik, bio, komputer, dan penggunaan robot. Semua perkembangan ini mengubah pola produksi industri, meningkatkan volume perdagangan dunia, dan memacu proses industrialisasi di dunia (Pangestu dan Aswicahyono, 1996).
Sejarah ekonomi dunia menunjukkan bahwa industrialisasi merupakan suatu proses interaksi antara pengembangan teknologi, inovasi, spesialisasi produksi, dan perdagangan antarnegara, yang pada akhirnya sejalan dengan meningkatnya pendapatan masyarakat mendorong perubahan struktur ekonomi di banyak negara, dari yang tadinya berbasis pertanian menjadi berbasis industri. Dapat dikatakan bahwa terutama kombinasi antara dua pendorong dari sisi penawaran agregat (produksi,) yakni progres teknologi dan inovasi produk serta proses produksi, dan peningkatan pendapatan masyarakat yang mengubah volume dan komposisi konsumsi sisi permintaan agregat, merupakan kekuatan utama di balik akumulasi proses industrialisasi di dunia.
Pengalaman di hampir semua negara menunjukkan bahwa industrialisasi sangat perlu karena menjamin pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Hanya sebagian kecil negara dengan jumlah penduduknya yang sedikit dan kekayaan minyak atau SDA yang melimpah, seperti Kuwait, Arab Saudi, Emirat Arab, Qatar, Libya, dan Brunei Darussalam dapat berharap mencapai tingkat pendapatan per kapita yang tinggi tanpa lewat proses industrialisasi atau pembanguan sektor industri yang kuat, tetapi hanya mengandalkan minyak. Fakta di banyak negara menunjukkan bahwa tidak ada perekonomian yang bertumpu pada sektor-sektor primer (pertanian dan pertambangan), mampu mencapai tingkat PN per kapita di atas US$ 500 selama jangka panjang (Kahn, 1979). Contohnya, sejak Pelita I 1969, pemerintah Indonesia melaksanakan industrialisasi. Sesudah itu, hingga krisis ekonomi terjadi tahun 1997 PN per kapita mengalami peningkatan yang cukup pesat setiap tahunnya. Kalau hanya mengandalkan pertanian dan pertambangan (khusunya migas), Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta orang saat ini tidak pernah bisa mencapai laju pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun 7%, dan tingkat PN per kapita di atas US$ 1000 pada pertengahan 1997.
Walaupun demikian, industrialisasi bukanlah merupakan tujuan akhir dari pembangunan ekonomi, melainkan hanya salah satu strategi yang harus ditempuh untuk mendukung proses pembangunan ekonomi guna mencapai tingkat pendapatan per kapita yang tinggi dan berkelanjutan (Riedel, 1992). Meskipun pelaksanaan sangat bervariasi antarnegara, periode industrialisasi merupakan tahapan logis dalam proses perubahan struktur ekonomi. Tahapan ini diwujudkan secara historis melalui kenaikan kontribusi sektor industry manufaktur dalam pembentukan PDB, permintaan konsumen, ekspor dan kesempatan kerja (Chenery, 1992).
Rute industrialisasi telah menunjukkan bukti-bukti keberhasilan bagi negara-negara yang sekarang dikenal dengan sebutan negara-negara industry maju seperti Eropa, AS, Kanada, Jepang, dan Australia. Melihat keberhasilan ini, banyak negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, yang mendapatkan kemerdekaannya setelah Perang Dunia II usai, mencoba menggunakan model-model pembangunan yang telah berhasil diterapkan di negara-negara industry maju tersebut (Hasibuan, 1993).
2.Faktor – Faktor Pendorong Industrialisasi
Selain perbedaan kemampuan dalam pengembangan teknologi (T) dan inovasi (In), serta laju pertumbuhan PN per kapita, ada sejumlah faktor lain yang membuat intensitas dari proses industralisasi berbeda antarnegara. Faktor – faktor lain tersebut adalah sebagai berikut.
1. Kondisi dan struktur awal ekonomi dalam negeri. Suatu negara yang pada awal pembangunan ekonomi atau industrialisasinya sudah memiliki industri-industri dasar atau disebut juga industri-industri primer atau hulu seperti besi dan baja, semen, petrokimia, dan industri-industri tengah (antara hulu dan hilir), seperti industri barang modal (mesin), dan alat-alat produksi yang relatif kuat akan mengalami proses indusrialisasi yang lebih pesat dibandingkan negara yang hanya memiliki industry-industri hilir atau ringan, seperti tekstil, pakaian jadi, alas kaki, makanan dan minuman.
2.Besarnya pasar dalam negeri yang ditentukan oleh kombinasi antara jumlah populasi dan tingkat PN riil per kapita. Pasar dalam negeri yang besar, seperti Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta orang (walaupun tingkat pendapatan per kapita relatif rendah dibandingkan negara-negara lain), merupakan salah satu faktor perangsang bagi pertumbuhan kegiatan-kegiatan ekonomi, termasuk industri, karena pasar yang besar menjamin adanya skala ekonomis dan efisiensi dalam produksi (dengan asumsi bahwa faktor-faktor penentu lainnya mendukung).
3.Ciri industrialisasi. Yang dimaksud di sini adalah antara lain cara pelaksanaan industrialisasi, seperti misalnya tahapan dari implementasi, jenis industri yang diunggulkan, pola pembangunan sektor industri, dan insentif yang diberikan, termasuk insentif kepada investor.
4.Keberadaan SDA. Ada kecenderungan bahwa negara-negara yang kaya SDA, tingkat diversifikasi dan laju pertumbuhan ekonominya relatif lebih rendah, dan negara tersebut cenderung tidak atau terlambat melakukan industrialisasi atau prosesnya berjalan lebih lambat dibandingkan negara-negara yang miskin SDA.
5.Kebijakan atau strategi pemerintah yang diterapkan, termasuk instrument-instrumen dari kebijakan (seperti tax holiday, bebas bea masuk terhadap impor bahan baku dan komponen-komponen tertentu, pinjaman dengan suku bunga murah, dan export processing zone atau daerah bebas perdagangan) yang digunakan dan cara implementasinya.
3.Perkembangan Sektor Industri Manufaktur Nasional
Sesuai sifat alamiah dari prosesnya, industri dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu industri primer atau hulu yang mengolah output dari sektor pertambangan (bahan mentah) menjadi bahan baku siap pakai untuk kebutuhan proses produksi pada tahap-tahap selanjutnya, dan industri sekunder atau industri manufaktur yang terdiri dari industry tengah yang membuat barang-barang modal (mesin, traktor, dan sebagainya), barang-barang setengah jadi dan alat-alat produksi, serta industri hilir yang membuat barang-barang jadi yang kebanyakan adalah barang-barang konsumen rumah tangga. Derajat dari industrialisasi di suatu negara dicerminkan oleh tingkat pembangunan, tidak hanya dari industri primer, tetapi juga industri sekunder di negara tersebut. Tingkat pembangunan sektor industri tdak hanya diukur dari persentase pertumbuhan output-ny atau pangsa output -nya dalam pembentukan PDB dan kontribusinya terhadap nilai ekspor (X) total, tetapi juga oleh tingkat diversifikasi produksinya atau variasi dari barang yang dibuat, baik menurut jenis pemakaian (barang konsumsi, modal, setengah jadi, alat-alat produksi menengah atau tinggi). Namun demikian, walaupun suatu negara memiliki industri primer yang besar (variasi produknya banyak), tetapi lemah dalam industri sekunder, maka belum dapat dikatakan bahwa tingkat industrialisasi di negara tersebut sudah tinggi. Bahkan, di banyak literature mengenai industrialisasi, perhatian lebih banyak diberikan kepada industri manufaktur.
4.Permasalahan Industralisasi
1.Keterbatasan Teknologi dan SDM
Secara umum, industry manufaktur di LDCs relatif masih terbelakang dibandingkan dengan di DCs; walaupun di antara LDCs ada sejumlah negara tertentu yang industrinya sudah sangat maju seperti NICs dan ASEAN. Relatif masih terbelakangnya sektor industry di LDCs disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya adalah keterbatasan T dan rendahnya kualitas SDM. Berbeda dengan di DCs, di LDCs pada umumnya (termasuk Indonesia), selain dana untuk pendidikan dan kegiatan penelitian dan pengembangan (R&D) dari pemerintah sangat terbatas, sedikit sekali perusahaan-perusahaan swasta yang memiliki sendiri lembaga R&D atau yang menyediakan dana khusus untuk pendidikan lanjut bagi pegawainya. Selain itu, kerja sama antara perusahaan swasta dengan universitas atau lembaga pendidikan atau pusat pelatihan, dan litbang yang ada sangat lemah jika dibandingkan di negara-negara seperti AS, Jerman, dan Inggris.
2. Masalah – Masalah Struktural dan Organisasi
UNIDO (2000) dalam studinya mengelompokkan masalah-masalah yang dihadapi oleh industri manufaktur di Indonesia ke dalam dua kategori, yaitu kelemahan-kelemahan yang bersifat organisasi. Kelemahan – kelemahan struktual di antaranya adalah sebagai berikut.
i.Basis ekspor dan pasarnya yang sempit.
Walaupun Indonesia memiliki banyak SDA dan jumlah L yang berlimpah yang merupakan dua faktor utama keunggulan komparatifnya, namun produk dan pasar X Indonesia sangat terkonsentrasi (tingkat divesifikasi X menurut pasar tujuan rendah :
Empat produk, yakni kayu lapis, pakaian jadi, tekstil, dan alas kaki bersama – sama memiliki pangsa 50% dari nilai total X manufaktur;
Pasar untuk tekstil dan pakaian jadi sangat terbatas hanya ke negara-negara yang menerapkan kuota (the Multifibre Agreement, atau MFA) seperti AS, masyarakat Eropa (ME), Kanada, Norwegia, dan Turki.
Tiga negara, yakni AS, Jepang, dan Singapura menyerap sekitar 50% dari nilai X total manufaktur Indonesia, sementara AS sendiri menyerap hampir setengah dari nilai X total dari tekstil dan pakaian jadi;
Sepuluh produk menyumbang sekitar 80% dari seluruh hasil X manufaktur. X manufaktur Indonesia menjadi sangat mudah dipengaruhi oleh perubahan permintaan terhadap produk-produk tersebut di pasar yang terbatas;
Banyak produk-produk manufaktur yang padat L terpilih sebagai X unggulan Indonesia mengalami penurunan harga di pasar dunia sebagai akibat dari persaingan yang semakin ketat, terutama dari Cina dan negara-negara produser lainnya di Asia yang bisa menghasilkan barang sama dengan biaya produksi yang lebih rendah, negara-negara Eropa Timur di pasar Eropa Barat dan negara-negara Amerika Latin untuk untuk pasar Amerika utara. Produk-produk X Indonesia juga mengalami perimintaan yang tidak elastic di pasar di negara-negara industri maju;
Banyak produk-produk manufaktur yang merupakan X tradisional Indonesia mengalami penurunan daya asing, yang terutama disebabkan oleh faktor-faktor eksternal, bukan faktor-faktor internal seperti upah L yang naik.
ii.Ketergantungan pada M yang sangat tinggi
Sejak tahun 1990, Indonesia telah menarik banyak investasi asing (PMA) di industri-industri berteknologi tinggi, seperti farmasi, kimia, elektronik, alat-alat listrik, otomotif. Namun, kebanyakan dari industri-industri tersebut bukan merupakan proses manufaktur dalam arti yang sebenarnya, tetapi proses penggabungan, pengepakan dan assembling, dengan hasil:
Pada tahun 1997, nilai M bahan baku, input perantara, dan komponen berkisar dari 45% di industri-industri kimia, 53% di industri-industri mesin, 56% di industri-industri alat-alat transportasi, hingga 70% di industri-industri barang-barang elektris;
Bahkan industri-industri padat karya sangat tergantung pada M bahan baku, input perantara dan komponen mulai dari 40%-43% di industri-industri tekstil, pakaian jadi dan kulit, hingga 56% di industri-industri alas kaki. Ketergantungan ini disebabkan oleh tidak adanya suplai domestic dan industri-industri pendukung serta lemahnya keterkaitan produksi antar industry di dalam negeri;
Sangat besarnya PMA industri manufaktur nasional, walaupun memberi keuntungan-keuntungan tertentu, seperti pengetahuan mengenai proses manufaktur telah membuat sektor tersebut menjadi sangat tergantung pada suplai bahan baku dan kom[ponen dari luar negeri;
Walaupun pertumbuhan PMA di industri manufaktur sangat pesat dan Indonesia sudah masuk ke dalam sistem manufaktur regional, peralihan T ke Indonesia dalam arti yang luas, termasuk teknikal, manajemen, organisasi, pengembangan produk, dan keterkaitan ekternal sangat terbatas;
Ketergantungan pada PMA juga telah membuat proses peningkatan kemampuan perusahaan-perusahaan lokal dalam proses manufaktur dan kemampuan untuk mengembangkan produk dengan merek sendiri serta membangun jaringan pemasaran sendiri berjalan lamabat.
iii.Tidak adanya industri berteknologi menengah
Kelihatannya pola industrialisasi di Indonesia berbeda dengan di negara-negara lain yang derajat industrialisasinya relative sama:
Kontribusi dari industri-industri berteknologi menengah (termasuk karet dan plastik, semen, logam dasar, dan barang-barang sederhana dari logam) terhadap pembangunan sektor industri manufaktur menurun antara tahun 1985 dan 1997. Pola seperti ini boleh dikatakan unik bagi Indonesia, sejak hampir semua negara di Asia dan belahan dunia lainnya mempertahankan keberadaan industri-industri dari kategori ini di dalam total output manufaktur mereka;
Demikian juga, kontribusi dari produk-produk yang padat K (material-materil dari plastik, produk-produk dari karet, pupuk, bubuk kertas dan kertas, besi dan baja) terhadap total X juga menurun selama periode yang sama;
Sementara di pihak lain, produksi dari industri-industri berteknologi rendah tumbuh pesat disebabkan oleh pertumbuhan pesat dari industri-industri padat L (seperti tekstil, pakaian jadi, dan alas kaki) dan pertumbuhan industri-industri kayu, kertas, dan makanan.
iv.Konsentrasi regional
Industri-industri skala menengah dan besar sangat terkonsentrasi di Jawa dan khususnya di Jabotabek. Walaupun pemerintah telah memberikan berbagai macam insentif, kegiatan produksi manufaktur tetap saja terpusatkan di Jawa. Data BPS menunjukkan bahwa pada tahun 1997 pangsa kesempatan kerja dan NT di industri manufaktur yang dimiliki Jakarta dan Jawa Barat naik hingga sekitar 50% dari total nasional. Peningkatan ini disebabkan, disamping faktor-faktor lain, adanya industri-industri pendukung dan pemasok, pasar yang relatif besar dan berkembang pesat mengikuti pertumbuhan pendapatan riil per kapita dan jumlah populasi, infrastruktur fisik yang baik, dan berdekatan dengan kantor-kantor pemerintah. Menurut data BPS, besarnya sektor manufaktur di luar Jawa hampir T sama dengan di Jawa Timur (20%) dan sekitar setengah dari yang di Jakarta / Jawa Barat.
5.Strategi Pembangunan Sektor Industri
Dalam melaksanakan industrialisasi, ada dua pilihan strategi, yakni strategi substitusi impor (SI) atau strategi promosi ekpor (PE). Strategi SI sering disebut kebijakan inward-looking, yakni strategi yang menfokuskan pada pengembangan industri nasional yang berorientasi kepada dasar domestik. Sedangkan, strategi PE sering disebut kebijakan outward-looking, yakni strategi yang menfokuskan pada pengembangan industri nasional lebih berorientasi ke pasar internasional. Strategi dicapai dengan mengembangkan industri di dalam negeri yang memproduksi barang-barang pengganti M (subtitusi M). Sedangkan, strategi PE dilandasi oleh pemikiran bahwa laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi hanya bisa direalisasikan jika produk-produk yang dibuat di dalam negeri dijual dipasar X.
1. Strategi SI
Hampir semua LDCs memulai industrialisasi mereka dengan strategi SI, terutama di Amerika Latin dan Asia Selatan, Timur dan Tenggara. Ada negara-negara yang menerapkanya hanya pada awal industrialisasi mereka (jangka waktunya pendek), dan setelah itu beralih ke strategi PE, seperti misalnya Korea Selatan dan Taiwan; ada negara seperti Indonesia yang menerapkannya sepanjang proses industrialisasinya,walaupun sejak pertengahan 1980-an strategi tersebut dikombinasikan dengan strategi PE.
Beberapa pertimbangan yang lazim digunakan dalam memilih strategi ini terutama adalah :
i.SDA dan faktor produksi terutama L cukup tersedia di dalam negeri. Sehingga, secara teoretis, biaya produksi yang intensitas penggunaan sumber-sumber ekonomi tersebut tinggi bisa rendah;
ii.Potensi permintaan di dalam negeri yang memadai;
iii.Untuk mendorongperkembangan industry manufaktur di dalam negeri;
iv.Dengan berkembangnya ketergantungan industri di dalam negeri, maka kesempatan kerja diharapkan terbuka lebih luas;
v.Dapat mengurangi ketergantungan terhadap M, yang berarti juga mengurangi defisit saldo neraca perdagangan dan menghemat cadangan devisa.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, dalam strategi SI, industri-industri dalam negeri yang dikembangkan adalah yang memproduksi barang-barang yang sebelumnya di M untuk pasaran dalam negeri. Oleh karena itu, M dikurangi atau dilarang sama sekali. Pelaksanaan strategi SI terdiri dari dua tahap. Dalam tahap pertama, industri yang dikembangkan adalah industri yang membuat barang-barang konsumsi C, walaupun tidak semuanya bersifat barang yang tahan lama seperti kendaraan bermotor, kulkas, televisi, dan alat pendingin. Untuk membuat barang-barang tersebut diperlukan barang modal dan input perantara yang di banyak negara yang menerapkan strategi ini tidak tersedia, sehingga tetap harus diimpor. Dalam tahap kedua, industry yang dikembangkan adalah industry hulu.
Perbedaan antara tahap pertama dengan tahap kedua adalah bahwa tahap pertama telah terbukti jauh lebih mudah dilakukan, tetapi dalam transisi ke tahap kedua banyak negara menghadapi kesulitan yang dalam banyak kasus industri yang dikembangkan itu menjadi industri-industri biaya tinggi. Ada beberapa alasan. Pertama, karena proses substitusi M terhadap barang modal dan input perantara cenderung lebih padat K dibandingkan proses subtitusi M terhadap barang C. kedua, proses produksi di hulu mengandung skala ekonomis dan sangat sensitif terhadap faktor efisiensi di dalam sistem organisasi dan penggunaan T serta metode produksi. Suatu proses produksi di dalam suatu industri dengan ukuran pabrik yang efisien relatif lebih besar dibandingkan besarnya pasar dalam negeri dan organisasi serta teknikel yang tidak efisien akan menimbulkan biaya tinggi.
2.Strategi PE
Melihat pengalaman yang kurang berhasil dengan strategi SI, badan-badan dunia seperti IMF dan Bank Dunia menganjurkan agar LDCs menerapkan strategi PE. Sesuai teori klasik mengenai perdagangan internasional, strategi berorientasi keluar ini melibatkan pembangunan industri manufaktur sesuai keunggulan komparatif yang dimiliki negara bersangkutan. Dibandingkan dengan strategi SI, strategi ini mempromosikan fleksibilitas dalam pergeseran sumber daya ekonomi yang ada mengikuti perubahan pola keunggulan komparatif. Orientasi keluar, yang merupakan dasar strategi PE menghubungkan ekonomi domestik dengan ekonomi dunia lewat promosi perdagangan. Oleh karena itu, diskriminasi dalam penggunaan tarif, kuota, lisensi I, subsidi pajak, dan kredit serta instrument-instrumen lainnya yang sering diterapkan dalam strategi SI, tidak cocok digunakan dalam strategi PE. Ini tidak mengatakan bahwa dalam strategi PE sama sekali tidak ada intervensi pemerintah. Dalam prakteknya, banyak negara menerapkan strategi PE dengan menghilangkan beberapa rintangan terhadap X.
Keberhasilan strategi PE sering diilustrasikan dengan pengalaman dari negara-negara di Asia Timur dan Tenggara seperti Korea Selatan, Taiwan, Singapura, dan Hong Kong, juga hingga tingkat lebih rendah, pengalaman dari negara-negara industri di Amerika Latin seperti Brasil dan Argentina. Dari banyak studi mengenai keberhasilan dari negara-negara tersebut, beberapa saran penting yang diberikan agar penerapan strategi tersebut membawa hasil yang baik adalah bahwa:
i.Pasar harus menciptakan signal harga yang benar, yang sepenuhnya merefleksikan kelangkaan dari barang yang bersangkutan, baik di pasar output maupun pasar unput;
ii.Tingkat proteksi dari M harus rendah;
iii.Nilai tukar mata uang harus realistis, sepenuhnya merefleksikan keterbatasan uang asing yang bersangkutan;
iv.Lebih penting lagi, harus ada insentif untuk meningkatkan X.
Menurut strategi PE, paling tidak kesempatan yang sama harus diberikan kepada industri-industri yang memproduksikan untuk pasar dalam negeri dan industri-industri untuk pasar X.
Dalam kasus Indonesia menjelang pertengahan 1980-an, setelah oil boom kedua (awal 1980-an) berakhir, dan setelah pemerintah akhirnya menyadari bahwa kebijakan proteksi selama itu ternyata lebih banyak merugikan daripada menguntungkan Indonesia, mulai kelihatan adanya perubahan strategi industrialisasi yang dilakukan secara bertahap dari proteksi ke promosi ekspor, khususnya X nonmigas, termasuk produk-produk manufaktur. Perubahan kebijakan ini didukung oleh sejumlah paket deregulasi. Paket deregulasi pertama dilakukan tahun 1982 di sektor keuangan / perbankan yang dikenal dengan sebutan Gebrakan Sumarlin I. Baru tahun 1990-an, reformasi juga dilakukan di sektor keuangan / perbankan. Langkah ini adalah awal daripada reformasi ekonomi yang terus berjalan hingga saat ini, dan intensitasnya bertambah tinggi sejak krisis ekonomi melanda Indonesia sebagai konsekuensi dari kesepakatan antara pemerintah Indonesia dengan IMF.
Dalam strategi baru ini, pemerintah menghilangkan sejumlah rintangan-rintangan nontariff (NTBs), khususnya pembatasan M secara kuantitatif, dengan tujuan untuk menghilangkan bias yang anti X dari strategi sebelumnya. Selain itu, pemerintah juga melakukan konversi dari kuota ke proteksi dengan tarif, penurunan tarif proteksi secara bertahap, dan memperkenalkan skim pembebasan dan pengembalian pajak bagi perusahaan-perusahaan eksportir yang mengekspor paling sedikit 85% dari jumlah output-nya.
3.Kebijakan Industri Pasca Krisis Ekonomi
Salah satu sektor ekonomi di dalam negeri yang sangat terpukul oleh krisis ekonomi adalah sektor industri manufaktur. Akibat depresiasi di sektor tersebut harus mengurangi volume produksi atau bahkan menutup usaha mereka karena sangat mahalnya biaya M. Krisis ekonomi telah menunjukkan bahwa ternyata pembangunan industri selama Orde Baru tidak menghasilkan suatu industri nasional yang kuat. Kebalikannya, pembangunan industri yang didukung oleh kebijakan SI dengan proteksi yang berlebihan dan terlalu lama (walaupun sejak pertengahan 1980-an bergeser secara bertahap ke kebijakan PE) telah membuat industri manufaktur nasional menjadi sangat lemah dengan tingkat ketergantungan pada M dan utang yang sangat tinggi.
Masuknya IMF ke Indonesia dalam usaha membantu Indonesia untuk keluar dari krisis tersebut telah membawa suatu perubahan besar di dalam kebijakan industrialisasi di dalam negeri. Sesuai kesepakatan antara pemerintah Indonesia dengan IMF, dan juga kesepakatan di dalam konteks AFTA dan WTO, kebijakan industri pasca krisis sepenuhnya sejalan dengan kebijakan perdagangan luar negeri yang properdagangan bebas. Kebijakan industri baru ini lebih berorientasi ke X dibandingkan sebelum krisis, walaupun tidak menghilangkan perhatian kepada pembangunan industri-industri untuk pasar domestik. Industri-industri yang yang selain padat L juga mempunyai potensi X yang besar berdasarkan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif yang ada. Salah satu langkah konkret dari pemerintah dalam kebijakan industri baru ini adalah pengurangan tarif M, baik terhadap barang jadi maupun setengah jadi, bahan baku dan komponen secara bertahap, dan penghilangan fasilitas-fasilitas kemudahan yang selama Orde Baru banyak diberikan kepada perusahaan-perusahaan besar (konglomerat). Sedangkan, fasilitas-fasilitas kemudahan seperti kredit murah tetap diberikan kepada usaha kecil dan menengah walaupun dengan prosedur seleksi yang lebih ketat dan prioritas serta program yang lebih jelas dari sebelumnya.

Sumber
Tambunan, Tulus T.H. (2003), perekonomian indonesia beberapa masalah penting, penerbit Ghalia Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar