Senin, 16 Mei 2011

Perekonomian Indonesia (minggu ke - 2 dan 3)

 Nama : Hanis Trijunsa Putri
 Npm   : 23210125
 Kelas  : 1EB18




SEJARAH EKONOMI INDONESIA SEJAK ORDE LAMA HINGGA ERA

1.      Pemerintahan Orde Lama

Pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Namun demikian, tidak berarti dalam prakteknya Indonesia sudah bebas dari Belanda dan bisa memberi perhatian sepenuhnya pada pembangunan ekonomi. Karena hingga menjelang akhir 1940-an, Indonesia masih menghadapi dua peperangan besar dengan Belanda, yakni pada aksi Polisi I dan II. Setelah akhirnya pemerintahan Belanda mengakui secara resmi kemerdekaan Indonesia? Selama dekade 1950-an hingga pertengahan tahun 1965, Indonesia dilanda gejolak politik di dalam negeri dan beberapa pemberontakan di sejumlah daerah, seperti di Sumatra dan Sulawesi. Akibatnya, selama pemerintahan Orde Lama, keadaan perekonomian Indonesia sangat buruk, walaupun sempat mengalami pertumbuhan dengan laju rata-rata per tahun hamper 7% selama dekade 1950-an, dan setelah itu turun drastic menjadi rata-rata per tahun hanya 1,9% atau bahkan nyaris mengalami stagflasi selama tahun 1965-1966. Tahun 1965 dan 1966 laju pertumbuhan ekonomi atau produk domestic bruto (PDB) masing-masing hanya sekitar 0,5% dan 0,6% (table 1.1).
Tabel 1.1
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia : 1952-2966
Tahun
Indeks
(1951=100)
% pertumbuhan
Tahun
Indeks
%perubahan
1951
1952
1953
1954
1955
1956
1957
1958
11959
100,0
103,8
126,8
128,6
133,4
136,4
144,4
152,0
149,1
-
3,8
22,1
1,4
3,7
2,2
5,8
5,3
-1,9
1960
1961
1962
1963
1964
1965
1966
146,8
149,4
145,3
141,4
144,7
145,5
146,4
-1,5
1,7
-2,7
-2,7
2,4
0,5
0,6
Keterangan *= 1951 – 1957 diukur dengan Pendapatan Nasional Bruto, dan 1958 dan 1966 diukur dengan Produk Domestik Bruto.
       Selain laju pertumbuhan ekonomi yang menurun terus sejak tahun 1958, deficit saldo neraca pembayaran (BOP) dan deficit anggaran pendapatan dan belanja pemerintah (APBN) terus membesar dari tahun ke tahun. Misalnya APBN, berdasarkan data yang dihimpun oleh Mas’oed (1989), jumlah pendapatan pemerintah rata-rata per tahun selama periode 1955-1965 sekitar 151 juta rupiah (disebut rupiah “baru”), sedangkan besarnya pengluaran pemerintah rata-rata per tahun selama periode yang sama 359 juta rupiah, atau lebih dari 100% lebih besar dari rata-rata pendapatannya. Jika pada tahun 1955 defisitnya baru 2 juta rupiah, pada tahun 1965 sudah mencapai lebih dari 1 miliar rupiah; berarti suatu kenaikan yang sangat signifikasi selama jangka waktu tersebut. Jika pada tahun 1955 defisit anggaran baru sekitar 14% dari jumlah pendapatan pemerintah pada tahun yang sama, pada tahun 1965 defisitnya sudah hampir 200% dari besarnya pendapatan pada tahun yang sama (table 1.2).
       Selain itu, selama periode Orde Lama, kegiatan produksi di sektor pertanian dan sektor industry manufaktur berada pada tingkat yang sangat rendah karena keterbatasan kapasitas produksi dan infrastruktur pendukung, baik fisik maupun nonfisik seperti pendanaan dari bank. Akibat rendahnya volume produksi dari sisi suplai dan tingginya permintaan akibat terlalu banyaknya uang beredar di masyarakat mengakibatkan tingginya tingkat inflasi yang sempat mencapai lebih dari 300% menjelang akhir periode Orde Lama. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Arndt (1994), indeks harga pada tahun 1955 sebesar 135 (1954=100) dan jumlah uang beredar di masyarakat pada tahun yang sama tercatat sebanyak 12,20 juta rupiah, dan pada tahun 1966 indeks harga sudah mencapai di atas 150.000 dan jumlah uang beredar diatas 5 miliar rupiah (table 1.3). Memang pada masa pemerintahan Soekarno, selain manajemen moneter yang buruk, banyaknya rupiah yang dicetak disebabkan oleh kebutuhan pada saat itu untuk membiayai dua peperangan yakni merebut Irian Barat serta pertikaian dengan Malaysia dan inggris, ditambah lagi kebutuhan untuk membiayai penumpasan sejumlah pemberontakan di beberapa daerah di dalam negeri.
Table 1.2
Saldo APBN : 1955-1965 (juta rupiah)
Tahun
Pendapatan
Pengeluaran
Saldo
1955
1956
1957
1958
1959
1960
1961
1962
1963
1964
1965
14
18
21
23
30
50
62
75
162
283
923
16
21
26
35
44
58
88
122
330
681
2.526
-2
-3
-5
-12
-14
-8
-26
-47
-168
-398
-1.603

Table 1.3
Perkembangan Inflasi dan Jumlah Uang Beredar : (1955-1966)
Tahun
Indeks Harga
(1954=100)
Jumlah Uang Beredar
(juta rupiah)
1955
1956
1957
1958
1959
1960
1961
1962
1963
1964
1965
1966
135
133
206
243
275
330
644
1.648
3.770
8.870
61.400
152.200
12,20
13,40
18,90
29,40
34,90
47,90
67,60
135,90
263,40
675,10
2.582,00
5.593,40
Dapat disimpulkan bahwa buruknya perekonomian Indonesia selama pemerintahan Orde Lama terutama disebabkan oleh hancurnya infrastruktur ekonomi, fisik, maupun nonfisik selama pendudukan Jepang, Perang Dunia II, dan perang revolusi, serta gejolak politik di dalam negeri (termasuk sejumlah pemberontakan di daerah), ditambah lagi dengan manajemen ekonomi makro yang sangat jelek selama rezim tersebut (Tambunan, 1991, 1996). Dapat dimengerti bahwa dalam kondisi politik dan sosial dalam negeri seperti ini sangat sulit sekali bagi pemerintah untuk mengatur roda perekonomian dengan baik.
Mengikuti kerangka analisis dari Dumairy (1996), periode Orde Lama atau sejak 1945 hingga 1965  dapat  dibagi menjadi tiga (3) periode, yaitu : periode 1945-1950, periode demokrasi parlementer (1950-1959), dan periode demokrasi terpimpin (1959-1965). Periode demokrasi parlementer juga dikenal sebagai periode demokrasi liberal. Dalam periode ini terjadi perubahan cabinet delapan (8) kali, yakni diawali oleh Kabinet Hatta (Desember 1949-September 1950), dan setelah itu berturut-turut Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951), Kabinet Sukiman (April 1951-Februari 1952), Kabinet Wilopo (April 1952-Juni 1953), Kabinet Ali (Agustus 1953-Juli 1955), Kabinet Burhanuddin (Agustus 1955-Maret 1956), Kabinet Ali II (April 1956-Maret 1957), dan Kabinet Djuanda (Maret 1957-Agustus 1959).
 Kebijakan ekonomi paling penting yang dilakukan Kabinet Hatta adalah reformasi moneter melalui devaluasi mata uang nasional yang pada saat itu masih gulden dan pemotongan uang sebesar 50% atas semua uang kertas yang beredar pada bulan Maret 1950 yang dikeluarkan oleh De Javasche Bank yang bernilai nominal lebih 2,50 gulden Indonesia. Pada masa kabinet Natsir (kabinet pertama dalam negara kesatuan Republik Indonesia), untuk  pertama kalinya dirumuskan suatu perencanaan pembangunan ekonomi, yang disebut Rencana Urgensi Perekonomian (RUP). RUP ini digunakan oleh kabinet berikutnya merumuskan rencana pembanguanan ekonomi lima tahun (yang pada masa Orde Baru dikenal dengan singkatan Repelita). Pada masa kabinet Sukiman, kebijakan-kebijakan penting yang diambil adalah antara lain nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia (BI) dan penghapusan sistem kurs berganda. Pada masa kabinet wilopo, langkah-langkah konkret yang diambil untuk memulihakan perekonomian Indonesia saat itu diantaranya untuk pertama kalinya memperkenalkan konsep anggaran berimbang dalam APBN, memperketat impor, melakukan “rasionalisasi” angkatan bersenjata melalui modernisasi dan pengurangan jumlah personil, dan pengiritan pengeluaran pemerintah. Pada masa kabinet Ali I, hanya dua langkah konkret yang dilakukan dalam bidang ekonomi, walaupun kurang berhasil,yakni pembatasan impor dan kebijakan uang ketat. Selama Kabinet Burhanuddin, tindakan-tindakan ekonomi penting yang dilakukan termasuk di antaranya adalah liberalisasi impor, kebijakan uang ketat untuk menekan laju uang beredar, dan penyempurnaan Program Benteng, mengeluarkan kebijakan yang memperbolehkan modal (insvestasi) asing masuk ke Indonesia, pemeberian bantuan khusus kepada pengusaha-pengusaha pribumi, dan pembatalan (secara sepihak) persetujuan Konferensi Meja Bundar sebagai usaha untuk menghilangkan sistem ekonomi colonial untuk menghapuskan dominasi perubahan-perubahan belanda dalam perekonomian Indonesia.
Beberapa dengan kabinet-kabinet sebelumnya di atas, pada masa Kabinet Ali II, praktis tidak ada langkah-langkah yang berarti, selain mencanangkan sebuah rencana pembangunan baru dengan nama Rencana Lima tahun 1956-1960. Kurang aktifnya kabinet ini dalam bidang ekonomi disebabkan oleh keadaan politik di dalam negeri yang mulai goncang akibat bermunculan tekanan-tekanan dari masyarakat daerah-daerah di luar Jawa yang selama itu tidak merasa puas dengan hasil pembangunan di tanah air. Ketidakstabilan politik di dalam negeri semakin membesar pada masa Kabinet Djuanda, sehingga praktis kabinet ini juga tidak bisa berbuat banyak bagi pembanguan ekonomi. Perhatian sepenuhnya dialihkan selain untuk menghadapi ketidakstabilan politik di dalam negeri juga pada upaya pengambilan wilayah Irian Barat dari Belanda. Pada masa Kabinet Djuanda juga dilakukan pengambilan (nasionalisasi) perusahaan-perusahaan Belanda.
Dilihat dari aspek politiknya selama periode Orde Lama, dapat dikatakan Indonesia pernah mengalami sistem politik yang sangat demokratis, yakni pada periode 1950-1959, sebelum diganti dengan periode demokrasi terpimpin. Akan tetapi sejarah Indonesia menunjukkan bahwa sistem politik demokrasi tersebut ternyata menyebabkan kehancuran politik dan perekonomian nasional. Akibat terlalu banyaknya partai politik yang ada dan semuanya ingin berkuasa, sering terjadi konflik antarpartai politik. Konflik politik tersebut berkepanjangan sehingga tidak memberi sedikit pun kesempatan untuk membentuk suatu kabinet pemerintahan yang solid dan dapat bertahan hingga pemilihan umum berikutnya. Seperti telah diuraikan di atas, pada masa politik demokrasi itu (demokrasi parlemen), tercatat dalam sejarah bahwa rata-rata umur setiap kabinet hanya satu tahun saja. Waktu yang sangat pendek dan disertai dengan banyaknya keributan internal di dalam kabinet tentu tidak memberi kesempatan maupun waktu yang tenang bagi pemerintah yang berkuasa untuk memikirkan bersama masalah-masalah sosial dan ekonomi yang ada pada saat itu, apalagi menyusun suatu program pembangunan dan melaksanakannya (Feith, 1964).
Selama periode 1950-an, struktur ekonomi Indonesia masih peninggalan zaman kolonialisasi. Sektor formal / modern seperti pertambangan, distribusi, transportasi, bank, dan pertanian komersil yang memiliki kontribusi lebih besar daripada sektor informal / tradisional terhadap output nasional atau PDB didominasi oleh perusahaan-perusahaan asing yang kebanyakan berorientasi ekspor. Pada umumnya kegiatan-kegiatan ekonomi yang masih dikuasai oleh pengusaha asing tersebut relatif lebih padat kapital dibandingkan kegiatan-kegiatan ekonomi yang didominasi oleh pengusaha pribumi dan perusahaan-perusahaan asing tersebut berlokasi di kota-kota besar, seperti Jakarta dan Surabaya.
Struktur ekonomi seperti yang digambarkan diatas, yang oleh Booke (1954) disebut dual societies, adalah salah satu karakteristik utama dari LDCs yang merupakan warisan kolonialisasi. Dualism di dalam suatu ekonomi seperti ini terjadi karena biasanya pada masa penjajahan pemerintahan yang berkuasa menerapkan diskriminasi dalam kebijaksana-kebijaksananya, baik yang bersifat langsung, seperti mengeluarkan peraturan-peraturan atau undang-undang, maupun yang tidak langsung. Diskriminasi ini sengaja diterapkan untuk membuat perbedaan dalam kesempatan melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi tertentu antara penduduk asli dan orang-orang nonpribumi/nonlokal.
Keadaan ekonomi Indonesia, terutama setelah dilakukan nasionalisasi terhadap semua perusahaan asing Belanda, ditambah lagi dengan peningkatan inflasi yang sangat tinggi pada dekade 1950-an. Pada masa pemerintahan Belanda, Indonesia memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang cukup baik  dengan inflasi yang sangat rendah dan stabil, terutama karena tingkat upah buruh dan komponen-komponen lainnya dari biaya produksi yang juga rendah, tingkat efisiensi yang tinggi di sektor pertanian (termasuk perkebunan), dan nilai mata uang yang stabil (Allen dan Donnithorne, 1957).
Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda yang dilakukan pada tahun 1957 dan 1958 adalah awal dari periode  ‘Ekonomi Terpimpin’. Sistem politik dan ekonomi pada masa Orde Lama, khususnya setelah ‘Ekonomi Terpimpin’ dicanangkan, semakin dekat dengan haluan / pemikiran sosialis / komunis. Walaupun ideologi Indonesia  adalah Pancasila, pengaruh ideologi komunis dari negara bekas Uni Soviet dan Cina sangat kuat. Sebenarnya pemerintah khususya dan masyarakat Indonesia pada umumnya yang memilih haluan politik berbau komunis, hanya merupakan suatu refleksi dari perasaan antikolonialisasi, antiimperialisasi, dan antikapitalisasi pada saat itu. Di Indonesia pada masa itu, prinsip-prinsip individualism, persaingan bebas, dan perusahaan swasta/pribadi sangat ditentang, karena oleh pemerintah dan masyarakat pada umumnya, prinsip-prinsip tersebut sering dikaitkan dengan pemikiran kapitalisme. Keadaan ini membuat Indonesia semakin sulit mendapat dana dari negara-negara barat, baik dalam bentuk pinjaman maupun penanaman modal asing (PMA), sedangkan untuk membiayai rekonstruksi ekonomi dan pembangunan selanjutnya, Indonesia sangat membutuhkan dana yang sangat besar (Hill,1989). Hingga akhir tahun 1950-an, sumber utama penanaman modal asing di Indonesia berasal dari Belanda, yang sebagian besar untuk kegiatan ekspor hasil-hasil perkebunan dan pertambangan serta untuk kegiatan-kegiatan ekonomi yang terkait.
Selain kondisi politik di dalam negeri yang tidak mendukung, buruknya perekonomian Indonesia pada masa pemerintahan Orde Lama juga disebabkan oleh keterbatasan faktor-faktor produksi, seperti orang-orang dengan tingkat kewirausahaan dan kapabilitas manajemen yang tinggi, tenaga kerja dengan pendidikan/keterampilan yang tinggi, dana (khususnya untuk membangun infrastruktur yang sangat dibutuhkan oleh industry), teknologi, dan kemampuan pemerintahan sendiri untuk menyusun rencana dan strategi pembangunan yang baik. Menurut pengamatan Higgins (1957a,b), sejak kabinet pertama dibentuk setelah merdeka, pemerintah Indonesia memberikan prioritas pertama terhadap stabilisasi dan pertumbuhan ekonom, pembangunan industri, unifikasi dan rekonstruksi. Akan tetapi, akibat keterbatasan akan faktor-faktor tersebut di atas dan dipersulit lagi oleh kekacauan politik nasional pada masa itu, akhirnya pembangunan atau bahkan rekonstruksi ekonomi Indonesia setelah perang revolusi tidak pernah terlaksana dengan baik.
Pada akhir September 1965, ketidakstabilan politik di Indonesia mencapai puncaknya dengan terjadinya kudeta yang gagal dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Sejak peristiwa berdarah tersebut terjadi suatu perubahan politik yang drastic di dalam negeri, yang selanjutnya juga mengubah sistem ekonomi yang dianut Indonesia pada masa Orde Lama, yakni dari pemikiran-pemikiran sosialis ke semikapitalis (kalau tidak, dapat dikatakan ke sistem kapitalis sepenuhnya). Sebenarnya perekonomian Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 menganut suatu sistem yang dilandasi oleh prinsip-prinsip kebersamaan atau koperasi berdasarkan ideology Pancasila. Akan tetapi, dalam praktek sehari-hari pada masa pemerintahan Orde Baru dan hingga saat ini, pola perekonomian nasional cenderung memihak sistem kapitalis, seperti di Amerika Serikat (AS) atau negara-negara industri maju lainnya. Karena pelaksanaannya tidak baik, maka mengakibatkan munculnya kesenjangan ekonomi di tanah air yang terasa semakin besar hingga saat ini, terutama setelah krisi ekonomi. 

2.      Pemerintahan Orde Baru

Tepatnya sejak bulan Maret 1966 Indonesia memasuki pemerintahan Orde Baru. Berbeda dengan pemerintahan Orde Lama, dalam era Orde Baru ini perhatian pemerintahan lebih ditujukan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat lewat pembangunan ekonomi dan sosial di tanah air. Pemerintahan Orde Baru menjalin kembali hubungan baik dengan pihak Barat dan menjauhi pengaruh ideology komunis. Indonesia juga kembali menjadi anggota Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dan lembaga-lembaga dunia lainnya, seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF).
Sebelum rencana pembangunan lewat Repelita dimulai, terlebih dahulu pemerintahan melakukan pemulihan stabilitas ekonomi, sosial, dan politik serta rehabilitasi ekonomi di dalam negeri. Sasaran dari kebijakan tersebut terutama adalah untuk menekan kembali tingkat inflasi, mengurangi deficit keuangan pemerintah, dan menghidupkan kembali kegiatan produksi, termasuk ekspor yang sempat mengalami stagnasi pada masa Orde Lama. Usaha pemerintah tersebut ditambah lagi dengan penyusunan rencana pembangunan lima tahun (Repelita) secara bertahap dengan target-target yang jelas sangat dihargai oleh negara-negara Barat. Menjelang akhir tahun 1960-an, atas kerja sama dengan Bank Dunia, IMF, dan ADB (Bank Pembangunan Asia) dibentuk suatu kelompok konsorsium yang disebut Inter-Government Group on Indonesia (IGGI), yang terdiri atas sejumlah negara maju, termasuk Jepang dan Belanda, dengan tujuan membiayai pembangunan ekonomi di Indonesia. Boleh dikatakan bahwa pada saat itu Indonesia sangat beruntung. Dalam waktu yang relatif pendek setelah melakukan perubahan sistem politiknya secara drastis, dari yang ‘pro’ menjadi ‘anti’ komunis, Indonesia bisa mendapat bantuan dana dari pihak Barat. Pada saat itu memang Indonesia merupakan satu-satunya negara yang sangat antikomunis dan sedang berusaha secara serius melakukan pembangunan ekonominya yang kelihatan jelas di mata kelompok LDCs, seperti pada tahun 1980-an, sehingga boleh dikatakan bahwa perhatian Bank Dunia pada saat itu dapat dipusatkan sepenuhnya kepada Indonesia.
Tujuan jangka panjang dari pembangunan ekonomi di Indonesia pada masa Orde Baru adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui suatu proses industrialisasi dalam skala besar, yang pada saat itu dianggap sebagai satu-satunya cara yang paling tepat dan efektif untuk menanggulangi masalah-masalah ekonomi, seperti kesempatan kerja dan defisit neraca pembayaran. Dengan kepercayaan yang penuh bahwa aka nada efek “cucuran kebawah”, pada awalnya pemerintah memusatkan pembangunan hanya di sektor-sektor tertentu yang secara potensial dapat menyumbangkan nilai tambah yang besar dalam waktu yang tidak panjang dan hanya di pulau Jawa. Dengan sumber dana yang terbatas pada saat itu fasilitas-fasilitas intrastruktur dan sumber daya manusia relatif lebih baik dibandingkan di provinsi-provinsi lainnya di luar pulau jawa. Dengan sumber dana yang terbatas pada saat itu dirasa sangat sulit untuk memperhatikan pertumbuhan dan pemerataan pada waktu yang bersamaan.
Pada bulan April 1969 Repelita I (rencana pembangunan lima tahun pertama) dimulai dengan penekanan utama pada pembangunan sektor pertanian dan industry-industri yang terkait, seperti agroindustri. Strategi pembangunan dan kebijakan ekonomi pada Repelita I terpusatkan pada pembangunan industri-industri yang dapat menghasilkan devisa lewat ekspor dan substitusi impor, industri-industri  yang memproses bahan-bahan baku yang tersedia di dalam negeri, industri-industri yang padat karya, industri-industri yang mendukung pembangunan regional, dan juga industri-industri dasar seperti pupuk, semen, kimia dasar, pulp, kertas, dan tekstil.
Sebelum pembangunan dilanjutkan pada tahap beriktunya, yakni tinggal landas mengikuti pemikiran Rostow dalam stages of growth-nya, selain stabilisasi, rehabilitasi dan pembangunan yang menyeluruh pada tahap dasar, tujuan utama pelaksanaan Repelita I adalah untuk membuat Indonesia menjadi swasembada, terutama dalam kebutuhan beras. Hal ini dianggap sangat penting, mengingat penduduk Indonesia sangat besar, dengan pertumbuhan rata-rata per tahun pada saat itu sekitar 2,5% dan stabilitas politik juga sangat tergantung pada kemampuan pemerintah menyediakan makanan pokok bagi masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut pemerintah melakukan program penghijauan (“revolusi hijau”) di sektor pertanian. Dengan dimulainya program penghijauan tersebut, sektor pertanian nasional memasuki era modernisasi dengan penerapan teknologi baru, khususnya dalam pengadaan sistem irigasi, pupuk, dan tata cara menanam.
Dampak Repelita I dan repelita-repelita berikutnya terhadap perekonomian Indonesia cukup mengagumkan, terutama terlihat pada tingkat makro. Proses pembangunan berjalan sangat cepat dengan laju pertumbuhan rata-rata per tahun cukup tinggi, jauh lebih baik daripada selama Orde Lama, dan juga relatif lebih tinggi daripada laju rata-rata pertumbuhan ekonomi dari kelompok LDCs. Pada awal Repelita I (1969), PDB Indonesia tercatat 2,7 triliun rupiah pada harga berlaku atau 4,8 triliun rupiah pada harga konstan. Pada tahun 1990 menjadi 188,5 triliun rupiah pada harga berlaku atau 112,4 triliun rupiah pada harga konstan. Selama periode 1969-1990, laju pertumbuhan PDB pada harga konstan rata-rata per tahun di atas 7% (table 1,4).
Table 1.4
PDB dan laju Pertumbuhannya per Tahun : 1969-1990



Tahun

PDB (triliun)*

Harga Berlaku     Harga Konstan
Laju Pertumbuahn(%)

Harga Berlaku     Harga Konstan
1969
1970
1971
1972
1973
1974
1975
1976
1977
1978
1979
1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
2,7                    4,8
3,2                    5,2
3,7                    5,6
4,6                    6,1
6,8                    6,8
10,7                  7,3
12,6                  7,6
15,5                  8,2
19,0                  8,9
22,8                  9,6
32,0                  10,2
45,5                  11,2
54,0                  12,1
59,6                  12,3
77,6                  12,8/77,6**
89,9                  83,0
97,0                  85,1
102,7                90,1
124,8                94,5
142,0                99,9
162,6                104,5
188,5                 112,4

19,1                 7,5
13,4                 7,0
24,3                 9,4
48,0                 11,3
58,6                 7,6
18,1                 5,0
22,3                 6,9
23,1                 8,9
19,5                 7,7
40,8                 6,3
41,9                 9,9
18,9                 7,9
10,4                 2,2
30,2                 4,2
15,8                 7,0
7,9                   2,5
5,9                   5,9
21,6                 4,9
13,8                 5,8
14,5                 7,5
15,9                 7,2
Keterangan :*= angka dibulatkan;**=dan tahun-tahun setelah itu atas dasar 1983 (sebelumnya atas dasar harga 1973)

Perubahan ekonomi structural juga sangat nyata selama masa Orde Baru bila dilihat dari perubahan pangsa PDB, terutama dari sektor industri. Persentase dari PDB yang berasal dari sektor industri  manufaktur meningkat setiap tahun, dari sekitar 8% (atas dasar harga berlaku) atau 7,5% (atas dasar harga konstan) pada tahun 1960 menjadi 12% lebih (atas dasar harga berlaku) atau 15% lebih (atas dasar harga konstan) pada tahun 1983 (table 1.5). Meningkatnya kontribusi output dari sektor industri manufaktur terhadap pembentukan/pertumbuhan PDB selama periode Orde Baru mencerminkan adanya suatu proses industrialisasi atau transformasi ekonomi Indonesia, dari negara agraris ke negara semiindustri. Ini memang merupakan salah satu perbedaan yang nyata dalam sejarah perekonomian Indonesia antara rezim Orde Lama dengan rezim Orde Baru. Di dalam sektor industri manufaktur itu sendiri juga terjadi pendalaman struktural. Walaupun prosesnya relatif lambat dibandingkan dengan di negara – negara Asia Tenggara lainnya, seperti Thailand dan Malaysia, tingkat diversifikasi produksi juga semakin besar dengan dibangunnya berbagai macam industri untuk kebutuhan pasar domestik dan ekspor.
Tabel 1.5
Perkiraan Perkembangan Pangsa PDB
Menurut Sektor-sektor Tertentu, Atas Dasar Harga yang Berlaku
Dan Harga Konstan 1973, 1960-1983 (% terhadap PDB)*

Sektor

Harga Berlaku dan Harga Konstan 1973


1960     1966     1968     1973     1978    1981   1983

A.    Atas Dasar Harga Berlaku
1.      Pertanian                                              
2.      Pertambangan & Penggalian
3.      Industri manufaktur
4.      Listrik, gas, & air minum
5.      Bangun
6.      Jasa
B.     Atas Dasar Harga Berlaku
1.      Pertanian
2.      Pertambangan & Penggalian
3.      Industri manufaktur
4.      Listrik, gas, & air minum
5.      Bangunan
6.      Jasa


53,9    53,7    51,0    40,1     29,5    25,3    26,4
4,2      1,8      4,2      12,3     19,2    24,0    19,6
8,1      8,1      8,5      9,6       10,6    10,8    12,5
0,3      0,03    0,4      0,5       0,5      0,5      0,7
2,0      1,4      2,1      3,9       5,5      5,8      6,2
31,7    35,0    33,8    33,6     34,7    33,7    34,8

52,5    51,7    49,2    40,1     32,8    29,8    30,0
7,5      7,1      8,3      12,3     11,0    8,9      7,5
7,6      7,6      7,8      9,6       12,9    15,6    15,1
0,2      0,3      0,4      0,5       0,6      0.8      0,9
2,04    2,04    1,9      3,9       5,5      6,0      6,3
30,2    31,3    32,4    33,6     37,2    39,0    40,3
Keterangan : (*) angka dibulatkan

Kebutuhan pembangunan ekonomi di Indonesia pada masa Orde Baru tidak saja disebabkan oleh kemampuan kabinet-kabinet yang dipimpin oleh Presiden Suharto yang jauh lebih baik / solid disbanding pada masa Orde Lama dalam penyusunan dan melaksanakan rencana, strategi, dan kebijakan pembangunan ekonomi, tetapi juga berkat penghasilan ekspor yang sangat besar dari minyak, terutama pada periode krisis atau oil boom pertama pada tahun 1973/1974. Selain minyak dan pinjaman luar negeri, peranan PMA khususnya sejak pertengahan dekade 1980-an terhadap prose pembangunan ekonomi di Indonesia semakin besar. Boleh dikatakan bahwa kebijakan Presiden Suharto yang mengutamakan stabilitas ekonomi, sosial terbuka membuat kepercayaan pihak Barat terhadap propek ekonomi Indonesia sangat besar dibandingkan dengan banyak LDCs lainnya.
Proses pembangunan dan perubahan ekonomi semakin cepat setelah sejak paruh pertama dekade 1980-an, pemerintah mengelurkan berbagai paket deregulasi yang diawali di sektor moneter / perbankan dan di sektor riil, dengan tujuan utama meningkatkan ekspor nonmigas Indonesia dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta berkelanjutan. Dengan adanya deregulasi-deregulasi tersebut, sistem perekonomian Indonesia secara bertahap mengalami pergeseran dari yang sangat tersentralisasi (pada periode 1970-an) menuju desentralisasi dan peranan sektor swasta semakin besar..
Akan tetapi, pada tingkat meso dan mikro, pembangunan selama ini boleh dikatakan tidak terlalu berhasil, bahkan dalam banyak aspek semakin buruk. Jumlah kemiskinan baik absolut maupun relatif masih tinggi dan tingkat kesenjangan ekonomi semakin besar. Bahkan menjelang awal tahun 1990-an kesenjangan cenderung meningkat. Sebagai reaksi pemerintah terhadap kenyataan diatas, khususnya pada Repelita VI, orientasi kebijakan-kebijakannya mengalami perubahan dari penekanan hanya pada pertumbuhan ke pertumbuhan dengan pemerataaan. Untuk mengurangi tingkat kesenjangan dan kemiskinan, pemerintah menjalankan berbagai macam program, terutama di daerah perdesaan seperti Program Inpres Desa Tertinggal (IDT), Program Keluarga Sejahtera dan program-program pembinaan usaha kecil.
Sebagai suatu rangkuman, sejak masa Orde Lama hingga akhirnya masa Orde Baru dapat dikatakan bahwa Indonesia telah mengalami dua orientasi kebijakan ekonomi yang berbeda, yakni dari ekonomi tertutup yang berorientasi sosialis pada zaman rezim Soekarno ke ekonomi terbuka berorientasi kapitalis pada masa pemerintahan Soeharto. Perubahan orientasi kebijakan ekonomi ini membuat kinerja ekonomi nasional pada masa pemerintahan Orde Baru menjadi jauh lebih baik dibandingkan pada masa pemerintahan Orde Lama.
Pengalaman ini menunjukkan bahwa ada beberapa kondisi utama yang harus dipenuhi terlebih dahulu agar suatu usaha membangun ekonomi dapat berjalan dengan baik, yaitu sebagai berikut.
1.            Kemauan politik kuat.
Presiden Soeharto memiliki kemauan politik yang kuat untuk membangun ekonomi Indonesia. Pada masa Orde Lama, mungkin karena Indonesia baru saja merdeka, emosi nasionalisme baik dari pemerintah maupun kalangan masyarakat masih sangat tinggi, dan yang ingin ditonjolkan pertama kepada kelompok negara-negara Barat adalah “kebesaran bangsa” dalam bentuk kekuatan militer dan pembangunan proyek-proyek mercusuar.
2.            Stabilitas politik dan ekonomi
Pemerintahan Orde Baru berhasil dengan baik menekan tingkat inflasi dari sekitar 500% pada tahun 1966 menjadi hanya sekitar 5% hingga 10% pada awal dekade 1970-an. Pemerintahan Orde Baru juga berhasil menyatukan bangsa dan kelompok-kelompok masyarakat serta menyakinkan mereka bahwa pembangunan ekonomi dan sosial adalah jalan satu-satunya agar kesejahteraan masyarakat di Indonesia dapat meningkat.
3.            Sistem politik daya manusia yang lebih baik
Dengan SDM yang semakin baik, pemerintahan Orde Baru memiliki kemampuan untuk menyusun program dan strategi pembangunan dengan kebijakan-kebijakan yang terkait serta mampu mengatur ekonomi makro secara baik.
4.            Sistem politik dan ekonomi terbuka yang berorientasi ke Barat
Pemerintahan Orde Baru menerapkan sistem politik dan ekonomi terbuka yang berorientasi ke Barat. Hal ini sangat membantu, khususnya dalam mendapatkan pinjaman luar negeri, penanaman modal asing, dan transfer teknologi dan ilmu pengetahuan
5.            Kondisi ekonomi dan politik dunia yang lebih baik
Selain oil boom, juga kondisi ekonomi dan politik dunia pada era Orde Baru, khususnya setelah perang Vietnam berakhir atau lebih lagi setelah perang dingin berakhir, jauh lebih baik daripada semasa Orde Lama.

Akan tetapi, hal-hal positif yang dibicarakan di atas tidak mengatakan bahwa pemerintahan Orde Baru tanpa cacat. Kebijakan-kebijakan ekonomi selama masa Orde Baru memang telah menghasilkan suatu proses transformasi ekonomi yang pesat dan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi dengan biaya ekonomi tinggi, serta fundamental ekonomi yang rapuh. Hal terakhir ini dapat terlihat antara lain pada buruknya kondisi sektor perbankan nasional dan semakin besarnya ketergantungan Indonesia terhadap modal asing, termasuk pinjaman dan impor. Ini semua akhirnya membuat Indonesia dilanda krisis ekonomi besar yang diawali oleh krisis nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada pertengahan tahun 1997.

3.         Pemerintahan Transisi

Pada tanggal 14 dan 15 Mei 1997, nilai tukar baht Thailand terhadap dolar AS mengalami suatu goncangan hebat akibat para investor asing mengambil keputusan ‘jual’. Mereka mengambil sikap demikian karena tidak percaya lagi terhadap prospek perekonomian negara tersebut, paling tidak untuk jangka pendek. Untuk mempertahankan nilai tukar baht agar tidak jatuh terus, pemerintah Thailand merupakan intervensi dan didukung juga oleh bank sentral Singapura. Akan tetapi, pada hari Rabu, 2 Juli 1997, bank sentral Thailand terpaksa mengumumkan bahwa nilai tukar baht dibebaskan dari ikatan dengan dolar AS. Sejak itu nasibnya diserahkan sepenuhnya kepada pasar. Hari itu juga pemerintah Thailand meminta bantuan IMF. Pengumuman itu mendepresiasikan nilai baht sekitar 15% hingga 20% hingga mencapai nilai terendah, yakni 28,80 baht per dolarAS.
Apa yang terjadi di Thailand akhirnya merembet ke Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya, awal dari krisis keuangan di Asia. Rupiah Indonesia mulai terasa goyang sekitar bulan Juli 1997, dari Rp 2500 menjadi Rp 2650 per dolar AS (lihat lampiran). Sejak saat itu, posisi mata uang Indonesia mulai tidak stabil. Menanggapi perkembangan itu, pada bulan juli 1997 BI melakukan empat (4) kali intervensi yakni memperlebar rentang intervensi. Akan tetapi, pengarunhnya tidak banyak. Nilai rupiah dalam dolar AS terus tertekan, dan tanggal 13 Agustus 1997, rupiah mencapai rekor terendah dalam sejerah, yakni Rp 2.682 per dolar AS sebelum akhirnya ditutup Rp 2.655 per dolar AS. Dalam aksinya, pertama-tama BI memperluas rentang intervensi rupiah rupiah dari 8% menjadi 12%. Namun akhirnya juga menyerah dengan melepas rentang intervensinya, dan pada hari yang sama rupiah anjlok ke Rp 2.755 per dolar AS. Hari-hari dan bulan-bulan berikutnya kurs rupiah terus melemah, walaupun sekali-kali mengalami penguatan beberapa poin. Pada bulan Maret 1998 nilai rupiah mencapai Rp 10.550 untuk satu dolar AS, walaupun sebelumnya, antara bulan Januari-Februari, sempat menembus 11.000 rupiah per dolar AS.
Sekitar bulan September 1997, nilai tukar rupiah yang terus melemah mulai menggoncang perekonomian nasional. Untuk mencegah agar keadaan tidak tambah buruk, pemerintah Orde Baru mengambil beberapa langkah kongkret, di antaranya menunda proyek-proyek senilai Rp 39 Triliun dalam upaya mengimbangi keterbatasan anggaran belanja negara negara yang sangat dipengaruhi oleh perubahan nilai rupiah tersebut. Pada awalnya, pemerintah berusaha untuk menangani masalah krisis rupiah ini dengan kekuatan sendiri. Akan tetapi, setelah akan tetapi, setelah menyadari bahwa merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tidak dapat dibendung lagi dengan kekuatan sendiri, terlebih lagi karena cadanagn dolar AS di BI sudah mulai menipis karena terus digunakan untuk intervensi guna menahan atau mendongkrak kembali nilai tukar rupiah, tanggal 8 Oktober 1997 pemerintah Indonesia akhirnya menyatakan secara resmi akan meminta bantuan keuangan dari IMF. Hal ini juga dilakukan oleh pemerintah Thailand, Filipina, dan Korea Selatan.
Pada akhir bulan Oktober 1997, lembaga keuangan internasional itu mengumumkan paket bantuan keuangannya pada Indonesia yang mencapai 40 miliar dolar AS, 23 miliar diantaranya adalah pertahanan lapis pertama (front-line defence). Sehari setelah pengumuman itu, seiring dengan paket reformasi yang ditentukan oleh IMF, pemerintah Indonesia mengumumkan pencabutan izin usaha 16 bank swasta yang dinilai tidak sehat. Ini merupakan awal dari kehancuran perekonomian Indonesia.
Paket program pemulihan ekonomi yang disyaratkan IMF pertama kali diluncurkan pada bulan November 1997, bersama pinjaman angsuran pertama senilai 3 miliar dolar AS. Pertama, diharapkan bahwa dengan disetujui paket tersebut oleh pemerintah Indonesia, nilai rupiah akan menguat dan stabil kembali. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa nilai rupiah terus melemah sampai pernah mencapai 15.000 per dolar AS. Kepercayaan masyarakat di dalam dan luar negeri terhadap kinerja ekonomi Indonesia yang pada waktu itu terus merosot membuat kesepakatan itu harus ditegaskan dalam nota kesepakatan (letter of intent;Lol) yang ditandatangani bersama antara pemerintah Indonesia dan IMF pada bulan Januari 1998. Nota kesepakatan itu terdiri dari 50 butir kebijaksanaan-kebijaksanaan, mencakup ekonomi makro (fiskal dan moneter), restrukturisasi sektor keuangan, dan reformasi structural.
Butir-butir dalam kebijaksanaan fiskal mencakup selain penegasan tetap menggunakan prinsip anggaran berimbang (pengeluaran pemerintah sama dengan pendapatannya), juga meliputi usaha-usaha pengurangan pengeluaran pemerintah, seperti menghilangkan subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan listrik, membatalkan sejumlah proyek infrastruktur besar, serta peningkatan pendapatan pemerintah. Usaha-usaha terakhir ini akan dilakukan dengan berbagai cara, termasuk menaikkan cukai terhadap sejumlah barang tertentu, mencabut semua fasilitas kemudahan pajak, di antaranya penangguhan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan fasilitas pajak serta tariff bea masuk yang selama ini diberikan antara lain kepada industri mobil nasional (Timor), mengenakan pajak tambahan terhadap bensin, memperbaiki audit PPN, dan memperbanyak obyek pajak.
Berbeda dengan Korea Selatan dan Thailand, dua negara yang sangat serius dalam melaksanakan program reformasi, pemerintah Indonesia ternyata tidak melakukan reformasi sesuai kesepakatannya dengan IMF. Akhirnya, pencairan pinjaman angsuran kedua senilai 3 miliar dolar AS yang seharusnya dilakukan pada bulan Maret 1998 terpaksa diundur. Padahal, Indonesia tidak ada jalan lain selain harus bekerja sama sepenuhnya dengan IMF, terutama karena dua hal berikut (Tambunan,1998).
1.         Berbeda dengan kondisi krisis di Thailand, Korea Selatan, Filipina, dan Malaysia, krisis ekonomi di Indonesia sebenarnya sudah menjelma menjadi krisis kepercayaan. Masyarakat dan dunia usaha, baik di dalam maupun di luar negeri (termasuk bank-bank di negara-negara mitra dagang Indonesia yang tidak lagi menerima letter of credit (L/C) dari bank-bank nasional dan investor-investor dunia)  tidak lagi percaya akan kemampuan Indonesia untuk menanggulangi sendiri krisisnya. Bahkan, mereka juga tidak lagi percaya pada niat baik atau keseriusan pemerintah dalam menangani krisis ekonomi di dalam negeri. Oleh karena itu, satu-satunya yang masih bisa menjamin atau memulihkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap Indonesia adalah melakukan “kemitraan usaha” sepenuhnya antara pemerintah Indonesia dengan IMF.
2.         Indonesia sangat membutuhkan dolar AS. Pada awal tahun 1998, kebutuhan itu diperkirakan sebesar 22,4 miliar dolar AS atau rata – rata 1,9 miliar dolar AS per bulan. Sementara, posisi cadangan devisa bersih yang dimiliki BI hingga awal Juni 1998 hanya 14.621,4 juta dolar AS, naik dari 13.179,7 juta dolar AS pada akhir Maret 1998. Kebutuhan itu digunakan terutama untuk membayar ULN jangka pendek, yang diperkirakan pada pertengahan tahun 1998 sebesar 20 miliar dolar AS, membayar bunga atas pinjaman jangka panjang 0,9 miliar dolar AS, dan sisanya sebanyak 1,5 miliar dolar AS untuk kegiatan ekonomi di dalam negeri yang juga sangat diperlukan untuk memacu laju pertumbuhan ekonomi.

Selain gagal dalam pelaksanaan kesepakatan pertama itu, dilakukan lagi perundingan-perundingan baru antara pemerintah Indonesia dengan IMF pada bulan Maret 1998 dan dicapai lagi suatu kesepakatan baru pada bulan April 1998. Hasil-hasil perundingan dan kesepakatan  itu dituangkan secara lengkap dalam satu dokumen bernama “Memorandum Tambahan tentang Kebijaksanaan Ekonomi Keuangan”. Memorandum tambahan ini sekaligus juga merupakan kelanjutan, pelengkap, dan modifikasi dari 50 butir Lol pada bulan Januari 1997  yang tetap mencakup kebijaksanaan-kebijaksanaan fiskal dan moneter serta reformasi perbankan (sektor keuangan)  dan struktural.  Ada beberapa perubahan, di antaranya penundaan penghapusan subsidi BBM dan listrik, serta penambahan sejumlah butir baru. Secara keseluruhan, ada lima memorandum tambahan dalam kesepakatan yang baru ini, yakni sebagai berikut .
1.         Program stabilitasi, dengan tujuan utama menstabilkan pasar uang dan mencegah hiperinflasi
2.         Restrukturisasi perbankan, dengan tujuan utama untuk rangka penyehatan sistem perbankan nasional.
3.         Reformasi structural, yang mana disepakati agenda baru yang mencakup upaya-upaya dan sasaran yang telah disepakati dalam kesepakatan pertama (15 Januari 1998).
4.         Penyelesaian ULN swasta (corporate debt). Dalam hal ini dengan keterlibatan pemerintah yang lebih besar, namun tetap dibatasi agar proses penyelesaiannya tetap dapat berlangsung lebih cepat.
5.         Bantuan untuk rakyat kecil (kelompok ekonomi lemah). Penyelesaian ULN swasta dan bantuan untuk rakyat kecil merupakan dua hal yang di dalam kesepakatan pertama (Januari 1998) belum ada.

Pada pertengahan tahun 1998, atas kesepakatan dengan IMF dibuat lagi memorandum tambahan tentang kebijaksanaan ekonomi dan keuangan. Akan tetapi, strategi menyeluruh stabilisasi dan reformasi ekonomi adalah tetap seperti yang tercantum dalam memorandum kebijaksanaan ekonomi dan keuangan yang ditandatangani pada tanggal 15 Januari 1998. Memorandum tambahan ini memutakhirkan dokumen yang terdahulu untuk menampung perubahan-perubahan yang terjadi setelah Januari 1998 pada situasi perekonomian makro dan prospeknya, serta menunjukkan bidang-bidang yang strateginya perlu sesuaikan, diperluas, atau diperkuat.
Krisis rupiah yang menjelma menjadi suatu krisis ekonomi akhirnya juga memunculkan suatu krisis politik yang dapat dikatakan terbesar dalam sejarah Indonesia sejak merdeka tahun 1945. Krisis politik tersebut diawali dengan penembakan oleh tentara terhadap empat mahasiswa Universitas Trisakti, tepatnya tanggal 13 Mei 1998, yang dikenal dengan sebutan Tragedi Trisakti. Kemudian, pada tanggal 14 dan 15 Mei kota Jakarta dilanda suatu kerusuhan yang juga dapat dikatakan paling besar dan paling sadis yang pernah dialami Indonesia. Setelah kedua peristiwa tersebut, gerakan mahasiswa yang sebelumnya sudah berlangsung semakin gencar.
Menjelang minggu-minggu terakhir bulan Mei 1998, DPR untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia dikuasai/diduduki oleh ribuan mahasiswa/siswi dari puluhan perguruan tinggi dari Jakarta dan luar Jakarta. Puncak dari keberhasilan gerakan mahasiswa tersebut, di satu pihak, dan dari krisis politik di pihak lain, adalah pada tanggal 21 Mei 1998,yakni Presiden Soeharto mengundurkan diri dan diganti oleh wakilnya, awal dari terbentuknya pemerintahan transisi.
Pada awalnya pemerintahan yang dipimpin oleh Habibie disebut pemerintahan reformasi. Akan tetapi setelah setahun berlalu, masyarakat mulai melihat bahwa sebenarnya pemerintahan baru ini tidak berbeda dengan pemerintahan sebelumnya. Mereka juga orang-orang rezim Orde Baru, dan tidak ada perubahan-perubahan yang nyata. Bahkan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) semakin menjad-jadi, kerusuhan muncul dimana-mana, dan masalah Soeharto tidak terselesaikan. Akhirnya, banyak kalangan masyarakat lebih suka menyebutnya pemerintahan pemerintahan transisi daripada pemerintahan reformasi.

4.         Pemerintahan Reformasi 

Pada pertengahan tahun 1999 dilakukan pemilihan umum, yang akhirnya dimenangi oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Partai Golkar mendapat posisi kedua, yang sebenarnya cukup mengejutkan banyak kalangan di masyarakat. Bulan Oktober 1999 dilakukan SU MPR dan pemilihan presiden diselenggarakan pada tanggal 20 Oktober 1999. KH. Abdurrahman Wahid atau dikenal dengan sebutan Gus Dur terpilih sebagai presiden RI keempat dan Megawati Soekarno Putri sebagai wakil presiden. Tanggal 20 Oktober menjadi akhir dari pemerintahan transisi, dan awal dari pemerintahan Gus Dur yang sering disebut juga pemerintahan reformasi.
Pada awal pemerintahan reformasi yang dipimpin oleh presiden Wahid, masyarakat umum dan kalangan pengusaha serta investor, termasuk investor asing, menaruh pengharapan besar terhadap kemampuan dan kesungguhan Gus Dur untuk membangkitkan kembali perekonomian nasional dan menuntaskan semua permasalahan yang ada di dalam negeri wawasan rezim Orde Baru, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), supremasi hokum hak asasi manusia (HAM), penembakan Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II, peranan ABRI di dalam pilitik dan masalah disintegrasi.
Dalam hal ekonomi, dibandingkan tahun sebelumnya (1999), kondisi perekonomian Indonesia mulai menunjukkan adanya perbaikan. Laju pertumbuhan PDB mulai positif walaupun tidak jauh 0% dan pada tahun 2000 proses pemulihan perekonomian Indonesia jauh lebih baik lagi, dengan laju pertumbuhan hampir mencapai 5%. Selain pertumbuhan PDB, laju inflasi dan tingkat suku bunga (SBI) juga rendah, mencerminkan bahwa kondisi moneter di dalam negeri sudah mulai stabil.
Akan tetapi, ketenangan masyarakat setelah Gus Dur terpilih sebagai presiden tidak berlansung lama. Gus Dur mulai menunjukkan sikap dan mengeluarkan ucapan-ucapan yang controversial dan membingungkan pelaku-pelaku bisnis. Gus Dur cenderung bersikap diktator dan praktek KKN di lingkungan semakin intensif, bukannya semakin berkurang, yang merupakan salah satu tujuan gerakan Reformasi di era Demokrasi, tidak berbeda dengan rezim Orde Baru. Sikap Gus Dur tersebut juga menimbulkan perseteruan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang klimaksnya adalah dikeluarkannya peringatan resmi kepada Gus Dur lewat Momerandum I dan II. Dengan dikeluarkannya Memorandum II, Gus Dur terancam akan diturunkan dari jabatannya sebagai presiden Republik Indonesia, jika usulan percepatan Sidang Istimewa MPR jadi dilaksanakan pada bulan Agustus 2001.
Selama pemerintahan Gus Dur, praktis tidak ada satu pun masalah di dalam negeri yang dapat terselesaikan dengan baik. Berbagai kerusuhan sosial yang bernuansa disintegrasi dan sara terus berlanjut, misalnya pemberontakan Aceh, konflik Maluku, dan pertikaian etnis di Kalimantan Tengah. Belum lagi demonstrasi buruh semakin gencar yang mencerminkan semakin tidak puasnya mereka terhadap kondisi perekonomian di dalam negeri; juga pertikaian elite politik semakin besar.
Selain itu, hubungan pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Abdurrahman Wahid dengan IMF juga tidak baik, terutama karena masalah-masalah seperti amandemen UU No. 23 Tahun 1999 mengenai Bank Indonesia, Penerapan otonomi daerah, terutama menyangkut kebebasan daerah untuk pinjam uang dari luar negeri, dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda pelaksanaannya. Tidak tuntasnya revisi tersebut mengakibatkan IMF menunda pencairan bantuannya kepada pemerintah Indonesia, padahal roda perekonomian nasional saat ini sangat tergantung pada bantuan IMF. Selain itu, Indonesia terancam dinyatakan bangkrut oleh Paris Club (negara-negara donor), karena sudah kelihatan jelas bahwa Indonesia dengan kondisi perekonomiannya yang semakin buruk dan defisit keuangan pemerintah yang terus membengkak, tidak mungkin mampu membayar kembali utangnya yang sebagaian besar akan jatuh tempo tahun 2002 mendatang. Bahkan Bank Dunia juga sempat mengancam akan menghentikan pinjaman baru, jika kesepakatan IMF dengan pemerintah Indonesia macet.
Ketidakstabilan politik dan sosial yang tidak semakin surut selama pemerintahan Abdurrahman Wahid menaikkan tingkat country risk Indonesia. Hal ini ditambah lagi dengan buruknya hubungan antara pemerintah Indonesia dengan IMF, membuat pelaku-pelaku bisnis, termasuk investor asing, menjadi enggan melakukan kegiatan bisnis atau menanam modalnya di Indonesia. Akibatnya, kondisi perekonomian nasional pada masa Gus Dur cenderung lebih buruk daripada pemerintahan Habibie. Bahkan, lembaga pemeringkat internasional Moody’s Investor Service mengkonfirmasikan bertambah buruknya resiko negara Indonesia. Meskipun beberapa indikator ekonomi makro mengalami perbaikan, namun karena kekhawatiran kondisi politik dan sosial, lembaga rating lainnya seperti Standard & Poors menurunkan prospek jangka panjang Indonesia dari stabil ke negatif.
Kalau kondisi seperti ini terus berlangsung, tidak mustahil tahun 2002 ekonomi Indonesia akan mengalami pertumbuhan jauh lebih kecil dari tahun sebelumnya, bahkan bisa kembali negatif. Gus Dur dan kabinetnya tidak menunjukkan keinginan politik yang sungguh-sungguh untuk menyelesaikan krisis ekonomi hingga tuntas dengan prinsip “once and for all”. Pemerintah Gus Dur cenderung menyederhanakan krisis ekonomi dewasa ini dengan menganggap persoalannya hanya terbatas pada agenda masalah amandemen UU BI, masalah desentralisasi fiskal, masalah restrukturisasi utang, dan masalah divestasi BCA dan Bank Niaga. Munculnya berbagai kebijakan pemerintah yang controversial dan inkonsisten, termasuk pengenaan bea masuk impor mobil mewah untuk kegiatan KTT G-15 yang hanya 5% (nominalnya 75%) dan pembebasan pajak atas pinjaman luar negeri dan hibah, menunjukkan tidak adanya “sense of crisis” terhadap kondisi riil perekonomian negara saat ini.
Fenomena makin rumitnya persoalan ekonomi ditunjukkan oleh beberapa indikator ekonomi. Misalnya, pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) antara 30 Maret 2000 hingga 8 Maret 2001 menunjukkan tren pertumbuhan ekonomi yang negatif. Dalam perkataan lain, selama periode tersebut, IHSG merosot hingga lebih dari 300 poin yang disebabkan oleh lebih besarnya kegiatan penjualan daripada kegiatan pembelian dalam perdagangan saham di dalam negeri. Hal ini mencerminkan semakin tidak pecayanya pelaku bisnis dan masyarakat pada umumnya terhadap prospek perekonomian Indonesia, paling tidak untuk periode jangka pendek.
Indikator kedua yang menggambarkan rendahnya kepercayaan pelaku bisnis (dan masyarakat pada umumnya) terhadap pemerintahan Gus Dur adalah pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Pada awal tahun 2000 kurs rupiah sekitar 7000, dan pada tanggal 9 Maret 2001 tercatat sebagai hari bersejarah, yaitu awal kejatuhan rupiah, yang menembus level Rp 10.000 per dolar. Untuk menahan penurunan lebih lanjut, Bank Indonesia secara agresif terus melakukan intervensi pasar dengan melepas puluhan juta dolar AS per hari melalui bank-bank pemerintah. Namun pada 12 Maret 2001, ketika Istana Presiden dikepung para demonstran yang menuntut Presiden Gus Dur mundur, nilai tukar rupiah semakin merosot. Pada bulan April 2001 sempat menyentuh Rp 12.000 per dolar AS. Inilah rekor kurs rupiah terendah sejak Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia. Berdampak negatif terhadap roda perekonomian nasional yang bisa menghambat usaha pemulihan, bahkan bisa membawa Indonesia ke krisis kedua yang dampaknya terhadap ekonomi, sosial, dan politik akan jauh lebih besar daripada krisis pertama. Dampak negatif ini terutama karena dua hal. Pertama, barang modal dan pembantu, komponen dan bahan baku, maupun barang-barang komsumsi. Kedua, ULN Indonesia dalam nilai dolar AS, baik dari sektor swasta maupun pemerintah, sangat besar. Indikator-indikator lainnya adalah angka inflasi yang diprediksi dapat menembus dua digit dan cadangan devisa yang pada minggu terakhir Maret 2000 menurun dari 29 miliar dolar AS menjadi 28,875 dolar AS. 

5.         Pemerintahan Gotong Royong
       
       Setelah Presiden Wahid turun, Megawati menjadi presiden Indonesia yang kelima. Pemerintahan Megawati mewarisi kondisi perekonomian Indonesia yang jauh lebih buruk daripada masa pemerintahan Gus Dur. Meskipun IHSG dan nilai tukar rupiah meningkat cukup signifikan sejak diangkatnya Megawati menjadi presiden melalui sidang Istimewa (SI) MPR, posisinya tetap belum kembali pada tingkat pada saat Gus Dur terpilih menjadi presiden.
Keterpurukan kondisi ekonomi yang ditinggal Wahid kian terasa jika dilihat dari perkembangan indikator ekonomi lainnya, seperti tingkat suku bunga, inflasi, saldo neraca pembayaran, dan defisit APBN. Suku bunga untuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), misalnya, pada awal pemerintahan Megawati mencapai di atas 17%, padahal saat awal pemerintahan Wahid hanya sekitar 13%. Bersamaan dengan itu, tingkat suku bunga deposito perbankan juga ikut naik menjadi sekitar 18%, sehingga pada masa itu menimbulkan kembali kekhawatiran masyarakat dan pelaku bisnis bahwa bank-bank akan kembali melakukan bleeding.
Inflasi yang dihadapi Kabinet Gotong Royong pimpinan Megawati juga sangat berat. Menurut data BPS, inflasi tahunan pada awal pemerintahan Wahid hanya sekitar 2%, sedangkan pada awal pemerintahan Megawati atau periode Januari-Juli 2001 tingkat inflasi sudah mencapai 7,7%. Bahkan laju inflasi tahunan atau year on year selama periode Juli 2000-Juli 2001 sudah mencapai 13,5%. Perkembangan ini pada saat itu sangat mengkhawatirkan karena dalam asumsi APBN 2001 yang sudahdirevisi, pemerintah menargetkan inflasi dalam tahun 2001 hanya 9,4%.
Pada tahun 2002 kondisi perekonomian Indonesia sedikit lebih baik daripada tahun 2001, walaupun menjelang akhir tahun 2002 Indonesia digoncang dengan bom Bali. Menurut data BPS yang dikeluarkan pada bulan Februari 2003, pertumbuhan PDB tahun 2002 sebesar 3,66%, diatas  nilai perkiraan minimum yakni 3,3%, tetapi lebih rendah dari asumsi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2002 yang direvisi menjadi 4% setelah tragedy Bali.
Rendahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan Megawati disebabkan antara lain oleh masih kurang berkembangnya investasi swasta, baik dari dalam negeri (PMDN) maupu luar negeri (PMA). Masih lemahnya investasi terutama disebabkan oleh masih tidak stabilnya kondisi politik dan sosial dan masih belum adanya kepastian hukum di dalam negeri. Kondisi seperti ini membuat para investor dalam negeri menunda keinginannya menanam modanlnya di dalam negeri, sementara investor asing mengalihkan modalnya ke negara-negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Cina. Terlebih lagi dengan masuknya Cina sebagai anggota WTQ akan lebih banyak menarik investor asing.
Dilihat secara sektoral, pada tahun 2001 hampir semua sektor ekonomi mengalami laju pertumbuhan output yang rendah, sedangkan kondisinya pada tahun 2002 berbeda. Menurut laporan BPS (dikutip dari kompas, Sabtu 16 November 2002) pada triwulan II-2002,  hanya satu sektor yang output-nya mengalami pertumbuhan negative dibandingkan triwulan I-2002, yakni pertambangan dan penggalian dengan -2,62%; sedangkan output di sektor-sektor ekonomi lainnya meningkat dengan laju yang bervariasi: sektor pertanian mencapai 1,62%; sektor listrik, gas, dan air bersih 3,25%; sektor bangunan 0,98%; sektor perdagangan, hotel, dan restoran 0,78%; dan sektor keuangan, penyewaan dan jasa perusahaan tumbuh 0,59%. Secara kumulatif, selama semester pertama 2002, output di sektor pertanian tumbuh 2,34%; sektor industri pengolahan 3,12%; sektor listrik, gas, dan air bersih 6,25%; sektor bangunan 2,02%; dan output di sektor perdagangan, hotel dan restoran tumbuh 3,55%. Pada triwulan III semua sektor mengalami pertumbuhan positif (tidak ada data untuk pertambangan), dan laporan terakhir dari BPS (dikeluarkan pada bulan Februari 2003) menunjukkan bahwa sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, serta sektor listrik, gas, dan air bersih tumbuh cukup besar selama tahun 2002.
Dalam hal ekspor, sejak 2000 nilai ekspor nonmigas Indonesia terus menurun, dari 62,1 miliar dolar AS ke 56,3 miliar dolar AS tahun 2001, dan tahun 2002 42,5 miliar dolar AS  (hingga September). Pertumbuhan ekspor barang dan jasa pada triwulan III-2002 hanya sekitar 1,61% dibandingkan triwulan III-2001. Untuk keseluruhan 2002, data terakhir dari BPS menunjukan bahwa pertumbuhan ekspor barang dan jasa Indonesia sangat kecil, hanya 1,24%. Selama ini Indonesia memang belum merupakan salah satu negara eksportir dunia. Posisi Indonesia dalam perdagangan dunia jauh di bawah, misalnya, Cina, Korea Selatan, dan Malaysia. Tahun 2000, pangsa pasar dunia dari ketiga negara tersebut adalah masing-masing 3,9%; 2,7%; dan 1,5%; sedangkan ekspor Indonesia hanya menguasai 1,0% pasar dunia. Di pasar Asia, pangsa Indonesia tahun 1999 sekitar 3,5%, dibandingkan Cina 14,0%; Korea Selatan 10,4%; Singapura 8,2%; Malaysia 6,1%; dan Thailand 4,2%. Tahun 2001 diperkirakan pasar saham Indonesia tidak mengalami perubahan yang berarti, bahkan merosot.
Melihat indikator lainnya, yakni nilai tukar rupiah, memang kondisi perekonomian Indonesia pada tahun kedua pemerintahan Megawati lebih baik. Kurs tengah rupiah terhadap dolar AS hingga Oktober 2002 mengalami sedikit perbaikan dibandingkan tahun sebelumnya, walaupun masih lebih buruk dibandingkan 1998 atau 1999. Memperkuat atau menjaga stabilitas rupiah pada tingkat yang ‘tepat’ memang masih akan merupakan salah satu pekerjaan rumah yang tidak gampang bagi pemerintah pada 2003 ini. Karena, apabila rupiah tetap lemah atau depresiasi rupiah terus berlangsung, Indonesia akan terus mengalami kesulitan dalam mempercepat proses pemulihan. Alasanya sederhana, di satu sisi melemahnya nilai tukar rupiah ternyata tidak terlalu berarti bagi peningkatan ekspor nonmigas Indonesia, sedangkan di sisi lain, biaya pembangunan (dalam rupiah) akan semakin mahal yang disebabkan oleh masih tingginya tingkat ketergantungan kegiatan-kegiatan perekonomian nasional terhadap impor dan ULN.
Akan tetapi, tingkat inflasi tahun 2002 sudah mencapai di atas 10% (dua digit). Akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan tarif telepon serta listrik yang sempat diberlakukan pada awal tahun 2003, tingkat inflasi pada tahun 2003, terutama pada bulan-bulan pertama, bisa jauh lebih tinggi dari 10%. Pemerintahan Megawati memang menyadari bahaya yang akan muncul apabila kenaikan inflasi tidak bisa dicegah. Hal ini juga tercerminkan oleh kebijakan dari BI yang menetapkan inflation targeting sebagai tujuan utama dari kebijakan moneternya dalam tahun 2003.
Berbeda dengan pergerakan indeks harga konsumen (IHK), tingkat suku bunga tahun 2002 cenderung menurun, walaupun masih lebih tinggi dibandingkan 1999. Memang tidak gampang menjawab pertanyaan, mana yang lebih baik bagi Indonesia dalam kondisi sekarang ini: tingkat suku bunga  rendah atau tinggi. Jelas, setiap pilihan ada untung-ruginya, dan efeknya bisa jangka pendek atau jangka panjang. Tingkat suku bunga tinggi, di satu pihak memang bisa menambah jumlah tabungan nasional plus peningkatan arus modal asing masuk ke Indonesia (ceteris paribus), namun di sisi lain bisa, menimbulkan efek “crowdng-out” terhadap kegiatan investasi, yang pada gilirannya bisa berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.
IHSG juga cenderung menurun sejak 1999, yang bisa mencerminkan dua hal. Pertama, bisa berarti kurang menariknya perekonomian Indonesia bagi investor-investor atau reaksi sementara terhadap kejadian-kejadian yang cukup membuat para investor ketakutan untuk menanam uang mereka di pasar modal. Kemungkinan pertama tersebut jelas bersifat jangka panjang, sedangkan sikap menahan atau melakukan aksi jual di pasar modal karena adanya kejadian-kejadian, seperti tragedi Bali adalah merupakan suatu gejala jangka pendek (temporary shock).
Kedua, menurun atau rendahnya IHSG juga bisa disebabkan oleh tingginya suku bunga deposito sehingga menarik lebih banyak modal masyarakat ke sektor perbankan daripada ke pasar modal. Akan tetapi, data dari BEJ tidak mendukung hipotesis kedua ini, yakni perkembangan pasar modal di Indonesia masih lemah atau semakin memburuk tahun 2002 dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Karena, kenyataannya adalah bahwa penghimpunan dana public melalui pasar modal tahun 2002 meninkat cukup signitifkan dibandingkan 2001.
Dalam hal perbankan, dapat dikatakan bahwa sektor perbankan merupakan faktor penghambat terbesar terhadap proses pemulihan ekonomi Indonesia sejak krisis tahun 1997, termasuk pada pemerintahan Gotong Royong. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh lembaga Political and Economic Risk Consultancy Ltd. (PERC) terhadap perbankan di 14 negara di Asia Pasifik tahun 2002 (yang dipublikasikan awal Mei 2002), perbankan Indonesia berada di urutan terendah dalam hal standar dan kualitas, dengan indeks 2,06; sedangkan teratas adalah AS dengan indeks 9,3. Sedangkan menurut lembaga sekuritas Merril Lynch yang juga melakukan survei perbankan di sejumlah negara di Asia sama (yakni India, Hong Kong, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Korea Selatan, Taiwan, dan Thailand) pada tahun yang sama, perbankan di India dan Korea Selatan. Tingkat kerawanan ini dilihat dari peningkatan modal yang terjadi dibandingkan peningkatan asset tertimbang menurut jenis resiko, terutama dengan mulai pulihnya aktivitas penyaluran kredit perbankan di kawasan yang disurvei.
Bagaimana prospek ekonomi Indonesia tahun 2003 di bawah pemerintahan Megawati? Sudah banyak lembaga-lembaga penelitian, keuangan, dan lainnya, baik di dalam negeri (seperti BPS, LP3E-Kadin Indonesia, dan BI) maupun diluar negeri (Bank Dunia, IMF, dan ADB) yang membuat perkiraan ekonomi Indonesia tahun 2003. ADB (Asian Development Bank) dalam publikasi Asian Development Outlook (ADO) 2002 sekitar 3,6%, sedangkan laju pertumbuhan di negara-negara Asia Tenggara lainnya, seperti Kamboja, Laos, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam diperkirakan masing-masing 6,1%; 6,1%; 5,8%;4,5%;6,5%;3,0%; dan 6,8%. Namun, dalam publikasi ADO 2002 Update bulan September 2002, pertumbuhan ekonomi Indonesia dipredikasi lebih baik, yakni 4,4%. Perkiraan yang lebih optimis ini didasarkan pada tanda-tanda membaiknya pasar modal selama pertengahan pertama tahun 2002 dan konsumsi dalam negeri (swasta dan pemerintah) yang cenderung meningkat terus. Dalam laporan yang direvisi ini, ekspor Indonesia pada tahun 2003 diperkirakan akan terus membaik, terutama karena harga minyak di pasar internasional diperkirakan akan lebih tinggi dibandingkan pada tahun-tahun sebelumnya. Tentu perkiraan optimistic ADB ini belum memperhitungkan dampak dari tragedy Bali serta pasca perang Irak atau krisis Korea jika memburuk.
Sedangkan menurut perkiraan IMF, pertumbuhan PDB riil Indonesia tahun 2003 cukup optimis, yakni sebesar 4,5% (naik dari perkiraan sebelumnya pada tahun 2002 sebesar 3,5%). Namun, dibandingkan negara-negara lainnya di Asia, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak termasuk yang paling tinggi.
Dari pihak Indonesia, pemerintah sendiri menargetkan 4%, setelah direvisi dari target semula 5% dalam rencana APBN (RAPBN) 2003, setelah Bom Bali. Menurut BPS, pada triwulan I dan II tahun 2003 dampak peledakan bom di Bali masih akan terasa. Namun, kalau pemerintah melakukan banyak stimulus (termasuk penambahan anggaran pembangunan dalam RAPBN 2003 pasca bom Bali) untuk meningkatkan kegiatan-kegiatan ekonomi domestic dan ekspor, ditambah lagi dengan situasi dalam negeri bisa benar-benar kondusif, aman, dan ada kepastian hukum/usaha yang membuat iklim investasi baik, dan lingkungan eksternal medukung sepenunhnya, maka bukan tidak mungkin target tersebut bisa tercapai. BPS sendiri memprediksi perekonomian Indonesia tahun 2003 bisa tumbuh antara 4%-5%. Sedangkan, BI memprediksi pertumbuhan PDB riil Indonesia tahun 2003 tidak lebih dari 4%, yang terutama dikarenakan pertumbuhan konsumsi pemerintah yang diperkirakan paling tinggi diantara komponen-komponen permintaan agregat.
 
6.         Pemerintahan Indonesia Bersatu 
Kabinet Indonesia Bersatu (Inggris: United Indonesia Cabinet) adalah kabinet pemerintahan Indonesia pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Persiden Muhammad Jusuf Kalla.
Kabinet ini dibentuk pada 21 Oktober 2004 dan masa baktinya berakhir pada tahun 2009. Pada 5 Desember 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan perombakan kabinet untuk pertama kalinya. Dan setelah melakukan evaluasi lebih lanjut atas kinerja para menterinya. Presiden melakukan perombakan kedua pada 7 Mei 2007.
Perekonomian Indonesia Bersatu saat masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhyono dan Wakil Moch. Jusuf Kalla muncul beberapa program yang dijalankan oleh pemerintah seperti, Bantuan Langsung Tunai (BLT), PNPM Mandiri dan Jamkesmas.
Perekonomian Indonesia Bersatu saat masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhyono dengan wakil presiden yang diganti dengan Boediono
Bank Indonesia menetapkan empat kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional tahun ini, yakni BI rate, nilai tukar, operasi moneter dan kebijakan makroprudensial untuk pengelolaan likuiditas, serta makroprudental untuk pengelolaan likuiditas, serta makroprudental lalu lintas modal. 


Sumber
Tambunan, Tulus T.H. (2003), perekonomian indonesia beberapa masalah penting, penerbit Ghalia Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar