Nama : Hanis Trijunsa Putri
Npm : 23210125
kelas: 2EB23
BAB VIII
PERMODALAN KOPERASI
Modal koperasi dibutuhkan untuk membiayai usaha dan organisasi koperasi. Modal Usaha terdiri dari modal investasi dan modal kerja. Adapun pengertian kedua istilah ini adalah sebagai berikut.
Modal investasi adalah sejumlah uang yang ditanam atau dipergunakan untuk pengadaan sarana operasional suatu perusahaan, yang bersifat tidak mudah diuangkan ( unliquid ) seperti tanah, mesin, bangunan, peralatan kantor, dan lain – lain.
Modal kerja adalah sejumlah uang yang tertanam dalam aktiva lancar perusahaan atau yang dipergunakan untuk membiayai operasional jangka pendek perusahaan, seperti pengadaan bahan baku, tenaga kerja, pajak, biaya listrik, dan lain – lain. Ditinjau dari sudut neraca, modal kerja adalah aktiva lancar dikurangi kewajiban lancar. Aktiva lancar adalah harta perusahaan yang dalam jangka paling lama setahun dapat dicairkan menjadi uang kas, seperti deposito jangka pendek, piutang – piutang dagang, persediaan barang, dan uang kas.
Ditinjau dari prespektif manajemen, modal kerja ( working capital ) selalu dibutuhkan selama usaha berjalan. Oleh sebab itu, para pengelola usaha pada umumnya menaruh perhatian khusus pada penanganan modal kerja ini. Dilihat dari sifatnya, modal kerja akan berputar terus-menerus di dalam perusahaan. Pengeluaran-pengeluaran yang dipergunakan untuk pembelian bahan baku, pembayaran gaji atau upah karyawan, dan lain-lainnya akan kembali lagi menjadi uang kas melalui hasil penjualan dan selanjutnya dipergunakan lagi untuk biaya operasional perusahaan. Sik
Selanjutnya perlu diketahui bahwa modal, modal kerja merupakan alat untuk mengukur likuiditas suatu perusahaan. Likuiditas adalah alat untuk mengetahui kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban-kewajiban finansialnya dalam jangka pendek.
Oleh karena itu, salah satu faktor utama yang perlu diperhatikan oleh manajemen dalam permutaran modal kerja adalah periode (lama waktu yang dibutuhkan) dalam setiap perusahaan. Semakin pendek periode permutaran modal kerja akan menyebabkan semakin kecil kebutuhan modal kerja. Sebaliknya, semakin lama atau panjang waktu periode perputaran modal kerja, maka semakin besar modal kerja yang dibutuhkan.
Bagaimana para pengelola bisnis mengoptimalkan pembelanjaan modal kerja? Idealnya, kebutuhan modal kerja bersumber dari modal sendiri. Hanya saja, banyak kasus dijumpai bahwa perusahaan harus mencari dana dari luar guna menutupi kebutuhan modal kerja. Untuk itulah, ada prinsip – prinsip dalam perusahaan yang menyebutkan bahwa :
Modal yang diterima sebagai pinjaman jangka pendek sebaiknya dipergunakan untuk pembiayaan modal kerja, dan
Modal yang diterima sebagai pinjaman jangka panjang dipakai untuk modal investasi.
Bagaimana dengan permodalan koperasi? Kerangka teori permodalan tersebut menyarankan bahwa untuk melayani anggota sebagai pemakai jasa koperasi, maka sumber modalya –idealnya diperoleh dari modal sendiri. Berikut ini akan diuraikan sumber-sumber permodalan koperasi dan hambatan-hambatan pemupukannya, khususnya untuk koperasi di Indonesia.
Yang menjadi acuan pembahasan permodalan koperasi di Indonesia adalah UU No. 25/992 pasal 41, bab VII tentang Perkoperasian.
Disebut bahwa modal koperasi terdiri dari :
• Modal sendiri, dan
• Modal pinjaman.
Modal sendiri bersumber dari :
Simpanan pokok anggota, yaitu sejumlah uang yang sama banyaknya, yang wajib dibayarkan oleh masing-masing anggota kepada koperasi pada saat masuk menjadi anggota. Simpanan pokok ini bersifatnya permanen, artinya tidak dapat diambil selama yang bersangkutan masih menjadi anggota.
Simpanan wajib, yaitu sejumlah simpanan tertentu yang tidak harus sama banyaknya, yang wajib dibayarkan oleh anggota kepada koperasi pada periode tertentu. Simpanan wajib ini tidak dapat diambil selama yang bersangkutan masih menjadi anggota.
Dana cadangan, yaitu sejumlah dana yang diperoleh dari penyisihan sisa hasil usaha dan dicadangkan untuk menutup kerugian koperasi bila diperlukan.
Donasi atau hibah, yaitu sejumlah uang atau barang dengan nilai tertentu yang disumbangkan oleh pihak ketiga, tanpa ada suatu ikatan atau kewajiban untuk mengembalikannya.
Sedangkan modal pinjaman atau modal luar, bersumber dari :
Anggota, yaitu pinjaman dari anggota ataupun calon anggota koperasi yang bersangkutan.
Koperasi lainnya dan/atau anggotanya, pinjaman dari koperasi lainnya dan/atau anggotanya yang didasari dengan perjanjian kerja sama antar koperasi.
Bank dan lembaga keuangan lainnya, yaitu pinjaman dari bank dan lembaga keuangan lainnya yang dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penerbitan obligasi dan surat hutang lainnya, yaitu dana yang diperoleh dari penerbitan obligasi dan surat hutang lainnya berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Sumber lain yang sah, pinjaman yang diperoleh dari bukan anggota yang dilakukan tanpa melalui penawaran secara umum.
Selanjutnya, prinsip koperasi “bunga terbatas terhadap modal” oleh sebagian pemikir koperasi sudah dipertanyakan: apakah prinsip tersebut masih relevan diterapkan dalam era globalisasi? Secara rasional, modal dari anggota (modal sendiri) dan modal dari luar yang terdapat di koperasi, seharusnya dihargai sebanding dengan investasi sejenis di tempat lain.
Di sisi lain ada juga pemikiran bahwa, kebutuhan modal koperasi dapat dipenuhi dengan pendekatan model badan usaha nonkoperasi (swasta atau persero) yaitu berdasarkan saham kepemilikan. Akhir-akhir ini, koperasi di Indonesia, khususnya koperasi sekunder, telah banyak melakukan model perseroan terbatas tersebut, seperti Induk Koperasi Unit Desa (INKUD), Bank Umum Koperasi (BUKOPIN), dan lain-lain.
Pemikiran yang pragmatis, kreatif, dan inovatif di atas kelihatannya cenderung popular sehingga pemikiran yang dogmatis dan konservatif mulai ditinggalkan. Logika berfikirnya memang sederhana. Apabila koperasi ingin mengembangkan usahanya dalam pasar global di mana terdapat risiko bisnis yang cukup tinggi, maka koperasi tidak cukup lagi mengandalkan hanya dari simpanan anggota. Karena itu koperasi harus memerlukan akses permodalan dari luar.
Sumber : Arifin sitio & Halomoan Tamba, teori dan praktik
Sabtu, 08 Oktober 2011
Jumat, 03 Juni 2011
Perekonomian Indonesia ( Minggu ke-9 )
INDUSTRIALISASI
1.Konsep dan Industrialisasi
Dalam sejarah pembangunan ekonomi, konsep industrialisasi berawal dari revolusi industri pertama pada pertengahan abad ke-18 di Inggris, yang ditandai dengan penemuan metode baru untuk pemintalan, dan penenuan kapas yang menciptakan spesialisasi dalam produksi, serta peningkatan produktivitas dari faktor produksi yang digunakan. Setelah itu, inovasi dan dan penemuan baru dalam pengolahan besi dan mesin uap, yang mendorong inovasi dalam pembuatan antara lain besi dan baja, kereta api, dan kapal tenaga uap. Setelah itu kemudian menyusul revolusi industri kedua pada akhir abad ke-18, dan awal abad ke-19 dengan berbagai perkembangan teknologi dan inovasi. Setelah Perang Dunia II, mulai muncul berbagai barang sintetis, dan revolusi teknologi telekomunikasi, elektronik, bio, komputer, dan penggunaan robot. Semua perkembangan ini mengubah pola produksi industri, meningkatkan volume perdagangan dunia, dan memacu proses industrialisasi di dunia (Pangestu dan Aswicahyono, 1996).
Sejarah ekonomi dunia menunjukkan bahwa industrialisasi merupakan suatu proses interaksi antara pengembangan teknologi, inovasi, spesialisasi produksi, dan perdagangan antarnegara, yang pada akhirnya sejalan dengan meningkatnya pendapatan masyarakat mendorong perubahan struktur ekonomi di banyak negara, dari yang tadinya berbasis pertanian menjadi berbasis industri. Dapat dikatakan bahwa terutama kombinasi antara dua pendorong dari sisi penawaran agregat (produksi,) yakni progres teknologi dan inovasi produk serta proses produksi, dan peningkatan pendapatan masyarakat yang mengubah volume dan komposisi konsumsi sisi permintaan agregat, merupakan kekuatan utama di balik akumulasi proses industrialisasi di dunia.
Pengalaman di hampir semua negara menunjukkan bahwa industrialisasi sangat perlu karena menjamin pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Hanya sebagian kecil negara dengan jumlah penduduknya yang sedikit dan kekayaan minyak atau SDA yang melimpah, seperti Kuwait, Arab Saudi, Emirat Arab, Qatar, Libya, dan Brunei Darussalam dapat berharap mencapai tingkat pendapatan per kapita yang tinggi tanpa lewat proses industrialisasi atau pembanguan sektor industri yang kuat, tetapi hanya mengandalkan minyak. Fakta di banyak negara menunjukkan bahwa tidak ada perekonomian yang bertumpu pada sektor-sektor primer (pertanian dan pertambangan), mampu mencapai tingkat PN per kapita di atas US$ 500 selama jangka panjang (Kahn, 1979). Contohnya, sejak Pelita I 1969, pemerintah Indonesia melaksanakan industrialisasi. Sesudah itu, hingga krisis ekonomi terjadi tahun 1997 PN per kapita mengalami peningkatan yang cukup pesat setiap tahunnya. Kalau hanya mengandalkan pertanian dan pertambangan (khusunya migas), Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta orang saat ini tidak pernah bisa mencapai laju pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun 7%, dan tingkat PN per kapita di atas US$ 1000 pada pertengahan 1997.
Walaupun demikian, industrialisasi bukanlah merupakan tujuan akhir dari pembangunan ekonomi, melainkan hanya salah satu strategi yang harus ditempuh untuk mendukung proses pembangunan ekonomi guna mencapai tingkat pendapatan per kapita yang tinggi dan berkelanjutan (Riedel, 1992). Meskipun pelaksanaan sangat bervariasi antarnegara, periode industrialisasi merupakan tahapan logis dalam proses perubahan struktur ekonomi. Tahapan ini diwujudkan secara historis melalui kenaikan kontribusi sektor industry manufaktur dalam pembentukan PDB, permintaan konsumen, ekspor dan kesempatan kerja (Chenery, 1992).
Rute industrialisasi telah menunjukkan bukti-bukti keberhasilan bagi negara-negara yang sekarang dikenal dengan sebutan negara-negara industry maju seperti Eropa, AS, Kanada, Jepang, dan Australia. Melihat keberhasilan ini, banyak negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, yang mendapatkan kemerdekaannya setelah Perang Dunia II usai, mencoba menggunakan model-model pembangunan yang telah berhasil diterapkan di negara-negara industry maju tersebut (Hasibuan, 1993).
2.Faktor – Faktor Pendorong Industrialisasi
Selain perbedaan kemampuan dalam pengembangan teknologi (T) dan inovasi (In), serta laju pertumbuhan PN per kapita, ada sejumlah faktor lain yang membuat intensitas dari proses industralisasi berbeda antarnegara. Faktor – faktor lain tersebut adalah sebagai berikut.
1. Kondisi dan struktur awal ekonomi dalam negeri. Suatu negara yang pada awal pembangunan ekonomi atau industrialisasinya sudah memiliki industri-industri dasar atau disebut juga industri-industri primer atau hulu seperti besi dan baja, semen, petrokimia, dan industri-industri tengah (antara hulu dan hilir), seperti industri barang modal (mesin), dan alat-alat produksi yang relatif kuat akan mengalami proses indusrialisasi yang lebih pesat dibandingkan negara yang hanya memiliki industry-industri hilir atau ringan, seperti tekstil, pakaian jadi, alas kaki, makanan dan minuman.
2.Besarnya pasar dalam negeri yang ditentukan oleh kombinasi antara jumlah populasi dan tingkat PN riil per kapita. Pasar dalam negeri yang besar, seperti Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta orang (walaupun tingkat pendapatan per kapita relatif rendah dibandingkan negara-negara lain), merupakan salah satu faktor perangsang bagi pertumbuhan kegiatan-kegiatan ekonomi, termasuk industri, karena pasar yang besar menjamin adanya skala ekonomis dan efisiensi dalam produksi (dengan asumsi bahwa faktor-faktor penentu lainnya mendukung).
3.Ciri industrialisasi. Yang dimaksud di sini adalah antara lain cara pelaksanaan industrialisasi, seperti misalnya tahapan dari implementasi, jenis industri yang diunggulkan, pola pembangunan sektor industri, dan insentif yang diberikan, termasuk insentif kepada investor.
4.Keberadaan SDA. Ada kecenderungan bahwa negara-negara yang kaya SDA, tingkat diversifikasi dan laju pertumbuhan ekonominya relatif lebih rendah, dan negara tersebut cenderung tidak atau terlambat melakukan industrialisasi atau prosesnya berjalan lebih lambat dibandingkan negara-negara yang miskin SDA.
5.Kebijakan atau strategi pemerintah yang diterapkan, termasuk instrument-instrumen dari kebijakan (seperti tax holiday, bebas bea masuk terhadap impor bahan baku dan komponen-komponen tertentu, pinjaman dengan suku bunga murah, dan export processing zone atau daerah bebas perdagangan) yang digunakan dan cara implementasinya.
3.Perkembangan Sektor Industri Manufaktur Nasional
Sesuai sifat alamiah dari prosesnya, industri dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu industri primer atau hulu yang mengolah output dari sektor pertambangan (bahan mentah) menjadi bahan baku siap pakai untuk kebutuhan proses produksi pada tahap-tahap selanjutnya, dan industri sekunder atau industri manufaktur yang terdiri dari industry tengah yang membuat barang-barang modal (mesin, traktor, dan sebagainya), barang-barang setengah jadi dan alat-alat produksi, serta industri hilir yang membuat barang-barang jadi yang kebanyakan adalah barang-barang konsumen rumah tangga. Derajat dari industrialisasi di suatu negara dicerminkan oleh tingkat pembangunan, tidak hanya dari industri primer, tetapi juga industri sekunder di negara tersebut. Tingkat pembangunan sektor industri tdak hanya diukur dari persentase pertumbuhan output-ny atau pangsa output -nya dalam pembentukan PDB dan kontribusinya terhadap nilai ekspor (X) total, tetapi juga oleh tingkat diversifikasi produksinya atau variasi dari barang yang dibuat, baik menurut jenis pemakaian (barang konsumsi, modal, setengah jadi, alat-alat produksi menengah atau tinggi). Namun demikian, walaupun suatu negara memiliki industri primer yang besar (variasi produknya banyak), tetapi lemah dalam industri sekunder, maka belum dapat dikatakan bahwa tingkat industrialisasi di negara tersebut sudah tinggi. Bahkan, di banyak literature mengenai industrialisasi, perhatian lebih banyak diberikan kepada industri manufaktur.
4.Permasalahan Industralisasi
1.Keterbatasan Teknologi dan SDM
Secara umum, industry manufaktur di LDCs relatif masih terbelakang dibandingkan dengan di DCs; walaupun di antara LDCs ada sejumlah negara tertentu yang industrinya sudah sangat maju seperti NICs dan ASEAN. Relatif masih terbelakangnya sektor industry di LDCs disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya adalah keterbatasan T dan rendahnya kualitas SDM. Berbeda dengan di DCs, di LDCs pada umumnya (termasuk Indonesia), selain dana untuk pendidikan dan kegiatan penelitian dan pengembangan (R&D) dari pemerintah sangat terbatas, sedikit sekali perusahaan-perusahaan swasta yang memiliki sendiri lembaga R&D atau yang menyediakan dana khusus untuk pendidikan lanjut bagi pegawainya. Selain itu, kerja sama antara perusahaan swasta dengan universitas atau lembaga pendidikan atau pusat pelatihan, dan litbang yang ada sangat lemah jika dibandingkan di negara-negara seperti AS, Jerman, dan Inggris.
2. Masalah – Masalah Struktural dan Organisasi
UNIDO (2000) dalam studinya mengelompokkan masalah-masalah yang dihadapi oleh industri manufaktur di Indonesia ke dalam dua kategori, yaitu kelemahan-kelemahan yang bersifat organisasi. Kelemahan – kelemahan struktual di antaranya adalah sebagai berikut.
i.Basis ekspor dan pasarnya yang sempit.
Walaupun Indonesia memiliki banyak SDA dan jumlah L yang berlimpah yang merupakan dua faktor utama keunggulan komparatifnya, namun produk dan pasar X Indonesia sangat terkonsentrasi (tingkat divesifikasi X menurut pasar tujuan rendah :
Empat produk, yakni kayu lapis, pakaian jadi, tekstil, dan alas kaki bersama – sama memiliki pangsa 50% dari nilai total X manufaktur;
Pasar untuk tekstil dan pakaian jadi sangat terbatas hanya ke negara-negara yang menerapkan kuota (the Multifibre Agreement, atau MFA) seperti AS, masyarakat Eropa (ME), Kanada, Norwegia, dan Turki.
Tiga negara, yakni AS, Jepang, dan Singapura menyerap sekitar 50% dari nilai X total manufaktur Indonesia, sementara AS sendiri menyerap hampir setengah dari nilai X total dari tekstil dan pakaian jadi;
Sepuluh produk menyumbang sekitar 80% dari seluruh hasil X manufaktur. X manufaktur Indonesia menjadi sangat mudah dipengaruhi oleh perubahan permintaan terhadap produk-produk tersebut di pasar yang terbatas;
Banyak produk-produk manufaktur yang padat L terpilih sebagai X unggulan Indonesia mengalami penurunan harga di pasar dunia sebagai akibat dari persaingan yang semakin ketat, terutama dari Cina dan negara-negara produser lainnya di Asia yang bisa menghasilkan barang sama dengan biaya produksi yang lebih rendah, negara-negara Eropa Timur di pasar Eropa Barat dan negara-negara Amerika Latin untuk untuk pasar Amerika utara. Produk-produk X Indonesia juga mengalami perimintaan yang tidak elastic di pasar di negara-negara industri maju;
Banyak produk-produk manufaktur yang merupakan X tradisional Indonesia mengalami penurunan daya asing, yang terutama disebabkan oleh faktor-faktor eksternal, bukan faktor-faktor internal seperti upah L yang naik.
ii.Ketergantungan pada M yang sangat tinggi
Sejak tahun 1990, Indonesia telah menarik banyak investasi asing (PMA) di industri-industri berteknologi tinggi, seperti farmasi, kimia, elektronik, alat-alat listrik, otomotif. Namun, kebanyakan dari industri-industri tersebut bukan merupakan proses manufaktur dalam arti yang sebenarnya, tetapi proses penggabungan, pengepakan dan assembling, dengan hasil:
Pada tahun 1997, nilai M bahan baku, input perantara, dan komponen berkisar dari 45% di industri-industri kimia, 53% di industri-industri mesin, 56% di industri-industri alat-alat transportasi, hingga 70% di industri-industri barang-barang elektris;
Bahkan industri-industri padat karya sangat tergantung pada M bahan baku, input perantara dan komponen mulai dari 40%-43% di industri-industri tekstil, pakaian jadi dan kulit, hingga 56% di industri-industri alas kaki. Ketergantungan ini disebabkan oleh tidak adanya suplai domestic dan industri-industri pendukung serta lemahnya keterkaitan produksi antar industry di dalam negeri;
Sangat besarnya PMA industri manufaktur nasional, walaupun memberi keuntungan-keuntungan tertentu, seperti pengetahuan mengenai proses manufaktur telah membuat sektor tersebut menjadi sangat tergantung pada suplai bahan baku dan kom[ponen dari luar negeri;
Walaupun pertumbuhan PMA di industri manufaktur sangat pesat dan Indonesia sudah masuk ke dalam sistem manufaktur regional, peralihan T ke Indonesia dalam arti yang luas, termasuk teknikal, manajemen, organisasi, pengembangan produk, dan keterkaitan ekternal sangat terbatas;
Ketergantungan pada PMA juga telah membuat proses peningkatan kemampuan perusahaan-perusahaan lokal dalam proses manufaktur dan kemampuan untuk mengembangkan produk dengan merek sendiri serta membangun jaringan pemasaran sendiri berjalan lamabat.
iii.Tidak adanya industri berteknologi menengah
Kelihatannya pola industrialisasi di Indonesia berbeda dengan di negara-negara lain yang derajat industrialisasinya relative sama:
Kontribusi dari industri-industri berteknologi menengah (termasuk karet dan plastik, semen, logam dasar, dan barang-barang sederhana dari logam) terhadap pembangunan sektor industri manufaktur menurun antara tahun 1985 dan 1997. Pola seperti ini boleh dikatakan unik bagi Indonesia, sejak hampir semua negara di Asia dan belahan dunia lainnya mempertahankan keberadaan industri-industri dari kategori ini di dalam total output manufaktur mereka;
Demikian juga, kontribusi dari produk-produk yang padat K (material-materil dari plastik, produk-produk dari karet, pupuk, bubuk kertas dan kertas, besi dan baja) terhadap total X juga menurun selama periode yang sama;
Sementara di pihak lain, produksi dari industri-industri berteknologi rendah tumbuh pesat disebabkan oleh pertumbuhan pesat dari industri-industri padat L (seperti tekstil, pakaian jadi, dan alas kaki) dan pertumbuhan industri-industri kayu, kertas, dan makanan.
iv.Konsentrasi regional
Industri-industri skala menengah dan besar sangat terkonsentrasi di Jawa dan khususnya di Jabotabek. Walaupun pemerintah telah memberikan berbagai macam insentif, kegiatan produksi manufaktur tetap saja terpusatkan di Jawa. Data BPS menunjukkan bahwa pada tahun 1997 pangsa kesempatan kerja dan NT di industri manufaktur yang dimiliki Jakarta dan Jawa Barat naik hingga sekitar 50% dari total nasional. Peningkatan ini disebabkan, disamping faktor-faktor lain, adanya industri-industri pendukung dan pemasok, pasar yang relatif besar dan berkembang pesat mengikuti pertumbuhan pendapatan riil per kapita dan jumlah populasi, infrastruktur fisik yang baik, dan berdekatan dengan kantor-kantor pemerintah. Menurut data BPS, besarnya sektor manufaktur di luar Jawa hampir T sama dengan di Jawa Timur (20%) dan sekitar setengah dari yang di Jakarta / Jawa Barat.
5.Strategi Pembangunan Sektor Industri
Dalam melaksanakan industrialisasi, ada dua pilihan strategi, yakni strategi substitusi impor (SI) atau strategi promosi ekpor (PE). Strategi SI sering disebut kebijakan inward-looking, yakni strategi yang menfokuskan pada pengembangan industri nasional yang berorientasi kepada dasar domestik. Sedangkan, strategi PE sering disebut kebijakan outward-looking, yakni strategi yang menfokuskan pada pengembangan industri nasional lebih berorientasi ke pasar internasional. Strategi dicapai dengan mengembangkan industri di dalam negeri yang memproduksi barang-barang pengganti M (subtitusi M). Sedangkan, strategi PE dilandasi oleh pemikiran bahwa laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi hanya bisa direalisasikan jika produk-produk yang dibuat di dalam negeri dijual dipasar X.
1. Strategi SI
Hampir semua LDCs memulai industrialisasi mereka dengan strategi SI, terutama di Amerika Latin dan Asia Selatan, Timur dan Tenggara. Ada negara-negara yang menerapkanya hanya pada awal industrialisasi mereka (jangka waktunya pendek), dan setelah itu beralih ke strategi PE, seperti misalnya Korea Selatan dan Taiwan; ada negara seperti Indonesia yang menerapkannya sepanjang proses industrialisasinya,walaupun sejak pertengahan 1980-an strategi tersebut dikombinasikan dengan strategi PE.
Beberapa pertimbangan yang lazim digunakan dalam memilih strategi ini terutama adalah :
i.SDA dan faktor produksi terutama L cukup tersedia di dalam negeri. Sehingga, secara teoretis, biaya produksi yang intensitas penggunaan sumber-sumber ekonomi tersebut tinggi bisa rendah;
ii.Potensi permintaan di dalam negeri yang memadai;
iii.Untuk mendorongperkembangan industry manufaktur di dalam negeri;
iv.Dengan berkembangnya ketergantungan industri di dalam negeri, maka kesempatan kerja diharapkan terbuka lebih luas;
v.Dapat mengurangi ketergantungan terhadap M, yang berarti juga mengurangi defisit saldo neraca perdagangan dan menghemat cadangan devisa.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, dalam strategi SI, industri-industri dalam negeri yang dikembangkan adalah yang memproduksi barang-barang yang sebelumnya di M untuk pasaran dalam negeri. Oleh karena itu, M dikurangi atau dilarang sama sekali. Pelaksanaan strategi SI terdiri dari dua tahap. Dalam tahap pertama, industri yang dikembangkan adalah industri yang membuat barang-barang konsumsi C, walaupun tidak semuanya bersifat barang yang tahan lama seperti kendaraan bermotor, kulkas, televisi, dan alat pendingin. Untuk membuat barang-barang tersebut diperlukan barang modal dan input perantara yang di banyak negara yang menerapkan strategi ini tidak tersedia, sehingga tetap harus diimpor. Dalam tahap kedua, industry yang dikembangkan adalah industry hulu.
Perbedaan antara tahap pertama dengan tahap kedua adalah bahwa tahap pertama telah terbukti jauh lebih mudah dilakukan, tetapi dalam transisi ke tahap kedua banyak negara menghadapi kesulitan yang dalam banyak kasus industri yang dikembangkan itu menjadi industri-industri biaya tinggi. Ada beberapa alasan. Pertama, karena proses substitusi M terhadap barang modal dan input perantara cenderung lebih padat K dibandingkan proses subtitusi M terhadap barang C. kedua, proses produksi di hulu mengandung skala ekonomis dan sangat sensitif terhadap faktor efisiensi di dalam sistem organisasi dan penggunaan T serta metode produksi. Suatu proses produksi di dalam suatu industri dengan ukuran pabrik yang efisien relatif lebih besar dibandingkan besarnya pasar dalam negeri dan organisasi serta teknikel yang tidak efisien akan menimbulkan biaya tinggi.
2.Strategi PE
Melihat pengalaman yang kurang berhasil dengan strategi SI, badan-badan dunia seperti IMF dan Bank Dunia menganjurkan agar LDCs menerapkan strategi PE. Sesuai teori klasik mengenai perdagangan internasional, strategi berorientasi keluar ini melibatkan pembangunan industri manufaktur sesuai keunggulan komparatif yang dimiliki negara bersangkutan. Dibandingkan dengan strategi SI, strategi ini mempromosikan fleksibilitas dalam pergeseran sumber daya ekonomi yang ada mengikuti perubahan pola keunggulan komparatif. Orientasi keluar, yang merupakan dasar strategi PE menghubungkan ekonomi domestik dengan ekonomi dunia lewat promosi perdagangan. Oleh karena itu, diskriminasi dalam penggunaan tarif, kuota, lisensi I, subsidi pajak, dan kredit serta instrument-instrumen lainnya yang sering diterapkan dalam strategi SI, tidak cocok digunakan dalam strategi PE. Ini tidak mengatakan bahwa dalam strategi PE sama sekali tidak ada intervensi pemerintah. Dalam prakteknya, banyak negara menerapkan strategi PE dengan menghilangkan beberapa rintangan terhadap X.
Keberhasilan strategi PE sering diilustrasikan dengan pengalaman dari negara-negara di Asia Timur dan Tenggara seperti Korea Selatan, Taiwan, Singapura, dan Hong Kong, juga hingga tingkat lebih rendah, pengalaman dari negara-negara industri di Amerika Latin seperti Brasil dan Argentina. Dari banyak studi mengenai keberhasilan dari negara-negara tersebut, beberapa saran penting yang diberikan agar penerapan strategi tersebut membawa hasil yang baik adalah bahwa:
i.Pasar harus menciptakan signal harga yang benar, yang sepenuhnya merefleksikan kelangkaan dari barang yang bersangkutan, baik di pasar output maupun pasar unput;
ii.Tingkat proteksi dari M harus rendah;
iii.Nilai tukar mata uang harus realistis, sepenuhnya merefleksikan keterbatasan uang asing yang bersangkutan;
iv.Lebih penting lagi, harus ada insentif untuk meningkatkan X.
Menurut strategi PE, paling tidak kesempatan yang sama harus diberikan kepada industri-industri yang memproduksikan untuk pasar dalam negeri dan industri-industri untuk pasar X.
Dalam kasus Indonesia menjelang pertengahan 1980-an, setelah oil boom kedua (awal 1980-an) berakhir, dan setelah pemerintah akhirnya menyadari bahwa kebijakan proteksi selama itu ternyata lebih banyak merugikan daripada menguntungkan Indonesia, mulai kelihatan adanya perubahan strategi industrialisasi yang dilakukan secara bertahap dari proteksi ke promosi ekspor, khususnya X nonmigas, termasuk produk-produk manufaktur. Perubahan kebijakan ini didukung oleh sejumlah paket deregulasi. Paket deregulasi pertama dilakukan tahun 1982 di sektor keuangan / perbankan yang dikenal dengan sebutan Gebrakan Sumarlin I. Baru tahun 1990-an, reformasi juga dilakukan di sektor keuangan / perbankan. Langkah ini adalah awal daripada reformasi ekonomi yang terus berjalan hingga saat ini, dan intensitasnya bertambah tinggi sejak krisis ekonomi melanda Indonesia sebagai konsekuensi dari kesepakatan antara pemerintah Indonesia dengan IMF.
Dalam strategi baru ini, pemerintah menghilangkan sejumlah rintangan-rintangan nontariff (NTBs), khususnya pembatasan M secara kuantitatif, dengan tujuan untuk menghilangkan bias yang anti X dari strategi sebelumnya. Selain itu, pemerintah juga melakukan konversi dari kuota ke proteksi dengan tarif, penurunan tarif proteksi secara bertahap, dan memperkenalkan skim pembebasan dan pengembalian pajak bagi perusahaan-perusahaan eksportir yang mengekspor paling sedikit 85% dari jumlah output-nya.
3.Kebijakan Industri Pasca Krisis Ekonomi
Salah satu sektor ekonomi di dalam negeri yang sangat terpukul oleh krisis ekonomi adalah sektor industri manufaktur. Akibat depresiasi di sektor tersebut harus mengurangi volume produksi atau bahkan menutup usaha mereka karena sangat mahalnya biaya M. Krisis ekonomi telah menunjukkan bahwa ternyata pembangunan industri selama Orde Baru tidak menghasilkan suatu industri nasional yang kuat. Kebalikannya, pembangunan industri yang didukung oleh kebijakan SI dengan proteksi yang berlebihan dan terlalu lama (walaupun sejak pertengahan 1980-an bergeser secara bertahap ke kebijakan PE) telah membuat industri manufaktur nasional menjadi sangat lemah dengan tingkat ketergantungan pada M dan utang yang sangat tinggi.
Masuknya IMF ke Indonesia dalam usaha membantu Indonesia untuk keluar dari krisis tersebut telah membawa suatu perubahan besar di dalam kebijakan industrialisasi di dalam negeri. Sesuai kesepakatan antara pemerintah Indonesia dengan IMF, dan juga kesepakatan di dalam konteks AFTA dan WTO, kebijakan industri pasca krisis sepenuhnya sejalan dengan kebijakan perdagangan luar negeri yang properdagangan bebas. Kebijakan industri baru ini lebih berorientasi ke X dibandingkan sebelum krisis, walaupun tidak menghilangkan perhatian kepada pembangunan industri-industri untuk pasar domestik. Industri-industri yang yang selain padat L juga mempunyai potensi X yang besar berdasarkan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif yang ada. Salah satu langkah konkret dari pemerintah dalam kebijakan industri baru ini adalah pengurangan tarif M, baik terhadap barang jadi maupun setengah jadi, bahan baku dan komponen secara bertahap, dan penghilangan fasilitas-fasilitas kemudahan yang selama Orde Baru banyak diberikan kepada perusahaan-perusahaan besar (konglomerat). Sedangkan, fasilitas-fasilitas kemudahan seperti kredit murah tetap diberikan kepada usaha kecil dan menengah walaupun dengan prosedur seleksi yang lebih ketat dan prioritas serta program yang lebih jelas dari sebelumnya.
Sumber
Tambunan, Tulus T.H. (2003), perekonomian indonesia beberapa masalah penting, penerbit Ghalia Indonesia
1.Konsep dan Industrialisasi
Dalam sejarah pembangunan ekonomi, konsep industrialisasi berawal dari revolusi industri pertama pada pertengahan abad ke-18 di Inggris, yang ditandai dengan penemuan metode baru untuk pemintalan, dan penenuan kapas yang menciptakan spesialisasi dalam produksi, serta peningkatan produktivitas dari faktor produksi yang digunakan. Setelah itu, inovasi dan dan penemuan baru dalam pengolahan besi dan mesin uap, yang mendorong inovasi dalam pembuatan antara lain besi dan baja, kereta api, dan kapal tenaga uap. Setelah itu kemudian menyusul revolusi industri kedua pada akhir abad ke-18, dan awal abad ke-19 dengan berbagai perkembangan teknologi dan inovasi. Setelah Perang Dunia II, mulai muncul berbagai barang sintetis, dan revolusi teknologi telekomunikasi, elektronik, bio, komputer, dan penggunaan robot. Semua perkembangan ini mengubah pola produksi industri, meningkatkan volume perdagangan dunia, dan memacu proses industrialisasi di dunia (Pangestu dan Aswicahyono, 1996).
Sejarah ekonomi dunia menunjukkan bahwa industrialisasi merupakan suatu proses interaksi antara pengembangan teknologi, inovasi, spesialisasi produksi, dan perdagangan antarnegara, yang pada akhirnya sejalan dengan meningkatnya pendapatan masyarakat mendorong perubahan struktur ekonomi di banyak negara, dari yang tadinya berbasis pertanian menjadi berbasis industri. Dapat dikatakan bahwa terutama kombinasi antara dua pendorong dari sisi penawaran agregat (produksi,) yakni progres teknologi dan inovasi produk serta proses produksi, dan peningkatan pendapatan masyarakat yang mengubah volume dan komposisi konsumsi sisi permintaan agregat, merupakan kekuatan utama di balik akumulasi proses industrialisasi di dunia.
Pengalaman di hampir semua negara menunjukkan bahwa industrialisasi sangat perlu karena menjamin pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Hanya sebagian kecil negara dengan jumlah penduduknya yang sedikit dan kekayaan minyak atau SDA yang melimpah, seperti Kuwait, Arab Saudi, Emirat Arab, Qatar, Libya, dan Brunei Darussalam dapat berharap mencapai tingkat pendapatan per kapita yang tinggi tanpa lewat proses industrialisasi atau pembanguan sektor industri yang kuat, tetapi hanya mengandalkan minyak. Fakta di banyak negara menunjukkan bahwa tidak ada perekonomian yang bertumpu pada sektor-sektor primer (pertanian dan pertambangan), mampu mencapai tingkat PN per kapita di atas US$ 500 selama jangka panjang (Kahn, 1979). Contohnya, sejak Pelita I 1969, pemerintah Indonesia melaksanakan industrialisasi. Sesudah itu, hingga krisis ekonomi terjadi tahun 1997 PN per kapita mengalami peningkatan yang cukup pesat setiap tahunnya. Kalau hanya mengandalkan pertanian dan pertambangan (khusunya migas), Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta orang saat ini tidak pernah bisa mencapai laju pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun 7%, dan tingkat PN per kapita di atas US$ 1000 pada pertengahan 1997.
Walaupun demikian, industrialisasi bukanlah merupakan tujuan akhir dari pembangunan ekonomi, melainkan hanya salah satu strategi yang harus ditempuh untuk mendukung proses pembangunan ekonomi guna mencapai tingkat pendapatan per kapita yang tinggi dan berkelanjutan (Riedel, 1992). Meskipun pelaksanaan sangat bervariasi antarnegara, periode industrialisasi merupakan tahapan logis dalam proses perubahan struktur ekonomi. Tahapan ini diwujudkan secara historis melalui kenaikan kontribusi sektor industry manufaktur dalam pembentukan PDB, permintaan konsumen, ekspor dan kesempatan kerja (Chenery, 1992).
Rute industrialisasi telah menunjukkan bukti-bukti keberhasilan bagi negara-negara yang sekarang dikenal dengan sebutan negara-negara industry maju seperti Eropa, AS, Kanada, Jepang, dan Australia. Melihat keberhasilan ini, banyak negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, yang mendapatkan kemerdekaannya setelah Perang Dunia II usai, mencoba menggunakan model-model pembangunan yang telah berhasil diterapkan di negara-negara industry maju tersebut (Hasibuan, 1993).
2.Faktor – Faktor Pendorong Industrialisasi
Selain perbedaan kemampuan dalam pengembangan teknologi (T) dan inovasi (In), serta laju pertumbuhan PN per kapita, ada sejumlah faktor lain yang membuat intensitas dari proses industralisasi berbeda antarnegara. Faktor – faktor lain tersebut adalah sebagai berikut.
1. Kondisi dan struktur awal ekonomi dalam negeri. Suatu negara yang pada awal pembangunan ekonomi atau industrialisasinya sudah memiliki industri-industri dasar atau disebut juga industri-industri primer atau hulu seperti besi dan baja, semen, petrokimia, dan industri-industri tengah (antara hulu dan hilir), seperti industri barang modal (mesin), dan alat-alat produksi yang relatif kuat akan mengalami proses indusrialisasi yang lebih pesat dibandingkan negara yang hanya memiliki industry-industri hilir atau ringan, seperti tekstil, pakaian jadi, alas kaki, makanan dan minuman.
2.Besarnya pasar dalam negeri yang ditentukan oleh kombinasi antara jumlah populasi dan tingkat PN riil per kapita. Pasar dalam negeri yang besar, seperti Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta orang (walaupun tingkat pendapatan per kapita relatif rendah dibandingkan negara-negara lain), merupakan salah satu faktor perangsang bagi pertumbuhan kegiatan-kegiatan ekonomi, termasuk industri, karena pasar yang besar menjamin adanya skala ekonomis dan efisiensi dalam produksi (dengan asumsi bahwa faktor-faktor penentu lainnya mendukung).
3.Ciri industrialisasi. Yang dimaksud di sini adalah antara lain cara pelaksanaan industrialisasi, seperti misalnya tahapan dari implementasi, jenis industri yang diunggulkan, pola pembangunan sektor industri, dan insentif yang diberikan, termasuk insentif kepada investor.
4.Keberadaan SDA. Ada kecenderungan bahwa negara-negara yang kaya SDA, tingkat diversifikasi dan laju pertumbuhan ekonominya relatif lebih rendah, dan negara tersebut cenderung tidak atau terlambat melakukan industrialisasi atau prosesnya berjalan lebih lambat dibandingkan negara-negara yang miskin SDA.
5.Kebijakan atau strategi pemerintah yang diterapkan, termasuk instrument-instrumen dari kebijakan (seperti tax holiday, bebas bea masuk terhadap impor bahan baku dan komponen-komponen tertentu, pinjaman dengan suku bunga murah, dan export processing zone atau daerah bebas perdagangan) yang digunakan dan cara implementasinya.
3.Perkembangan Sektor Industri Manufaktur Nasional
Sesuai sifat alamiah dari prosesnya, industri dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu industri primer atau hulu yang mengolah output dari sektor pertambangan (bahan mentah) menjadi bahan baku siap pakai untuk kebutuhan proses produksi pada tahap-tahap selanjutnya, dan industri sekunder atau industri manufaktur yang terdiri dari industry tengah yang membuat barang-barang modal (mesin, traktor, dan sebagainya), barang-barang setengah jadi dan alat-alat produksi, serta industri hilir yang membuat barang-barang jadi yang kebanyakan adalah barang-barang konsumen rumah tangga. Derajat dari industrialisasi di suatu negara dicerminkan oleh tingkat pembangunan, tidak hanya dari industri primer, tetapi juga industri sekunder di negara tersebut. Tingkat pembangunan sektor industri tdak hanya diukur dari persentase pertumbuhan output-ny atau pangsa output -nya dalam pembentukan PDB dan kontribusinya terhadap nilai ekspor (X) total, tetapi juga oleh tingkat diversifikasi produksinya atau variasi dari barang yang dibuat, baik menurut jenis pemakaian (barang konsumsi, modal, setengah jadi, alat-alat produksi menengah atau tinggi). Namun demikian, walaupun suatu negara memiliki industri primer yang besar (variasi produknya banyak), tetapi lemah dalam industri sekunder, maka belum dapat dikatakan bahwa tingkat industrialisasi di negara tersebut sudah tinggi. Bahkan, di banyak literature mengenai industrialisasi, perhatian lebih banyak diberikan kepada industri manufaktur.
4.Permasalahan Industralisasi
1.Keterbatasan Teknologi dan SDM
Secara umum, industry manufaktur di LDCs relatif masih terbelakang dibandingkan dengan di DCs; walaupun di antara LDCs ada sejumlah negara tertentu yang industrinya sudah sangat maju seperti NICs dan ASEAN. Relatif masih terbelakangnya sektor industry di LDCs disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya adalah keterbatasan T dan rendahnya kualitas SDM. Berbeda dengan di DCs, di LDCs pada umumnya (termasuk Indonesia), selain dana untuk pendidikan dan kegiatan penelitian dan pengembangan (R&D) dari pemerintah sangat terbatas, sedikit sekali perusahaan-perusahaan swasta yang memiliki sendiri lembaga R&D atau yang menyediakan dana khusus untuk pendidikan lanjut bagi pegawainya. Selain itu, kerja sama antara perusahaan swasta dengan universitas atau lembaga pendidikan atau pusat pelatihan, dan litbang yang ada sangat lemah jika dibandingkan di negara-negara seperti AS, Jerman, dan Inggris.
2. Masalah – Masalah Struktural dan Organisasi
UNIDO (2000) dalam studinya mengelompokkan masalah-masalah yang dihadapi oleh industri manufaktur di Indonesia ke dalam dua kategori, yaitu kelemahan-kelemahan yang bersifat organisasi. Kelemahan – kelemahan struktual di antaranya adalah sebagai berikut.
i.Basis ekspor dan pasarnya yang sempit.
Walaupun Indonesia memiliki banyak SDA dan jumlah L yang berlimpah yang merupakan dua faktor utama keunggulan komparatifnya, namun produk dan pasar X Indonesia sangat terkonsentrasi (tingkat divesifikasi X menurut pasar tujuan rendah :
Empat produk, yakni kayu lapis, pakaian jadi, tekstil, dan alas kaki bersama – sama memiliki pangsa 50% dari nilai total X manufaktur;
Pasar untuk tekstil dan pakaian jadi sangat terbatas hanya ke negara-negara yang menerapkan kuota (the Multifibre Agreement, atau MFA) seperti AS, masyarakat Eropa (ME), Kanada, Norwegia, dan Turki.
Tiga negara, yakni AS, Jepang, dan Singapura menyerap sekitar 50% dari nilai X total manufaktur Indonesia, sementara AS sendiri menyerap hampir setengah dari nilai X total dari tekstil dan pakaian jadi;
Sepuluh produk menyumbang sekitar 80% dari seluruh hasil X manufaktur. X manufaktur Indonesia menjadi sangat mudah dipengaruhi oleh perubahan permintaan terhadap produk-produk tersebut di pasar yang terbatas;
Banyak produk-produk manufaktur yang padat L terpilih sebagai X unggulan Indonesia mengalami penurunan harga di pasar dunia sebagai akibat dari persaingan yang semakin ketat, terutama dari Cina dan negara-negara produser lainnya di Asia yang bisa menghasilkan barang sama dengan biaya produksi yang lebih rendah, negara-negara Eropa Timur di pasar Eropa Barat dan negara-negara Amerika Latin untuk untuk pasar Amerika utara. Produk-produk X Indonesia juga mengalami perimintaan yang tidak elastic di pasar di negara-negara industri maju;
Banyak produk-produk manufaktur yang merupakan X tradisional Indonesia mengalami penurunan daya asing, yang terutama disebabkan oleh faktor-faktor eksternal, bukan faktor-faktor internal seperti upah L yang naik.
ii.Ketergantungan pada M yang sangat tinggi
Sejak tahun 1990, Indonesia telah menarik banyak investasi asing (PMA) di industri-industri berteknologi tinggi, seperti farmasi, kimia, elektronik, alat-alat listrik, otomotif. Namun, kebanyakan dari industri-industri tersebut bukan merupakan proses manufaktur dalam arti yang sebenarnya, tetapi proses penggabungan, pengepakan dan assembling, dengan hasil:
Pada tahun 1997, nilai M bahan baku, input perantara, dan komponen berkisar dari 45% di industri-industri kimia, 53% di industri-industri mesin, 56% di industri-industri alat-alat transportasi, hingga 70% di industri-industri barang-barang elektris;
Bahkan industri-industri padat karya sangat tergantung pada M bahan baku, input perantara dan komponen mulai dari 40%-43% di industri-industri tekstil, pakaian jadi dan kulit, hingga 56% di industri-industri alas kaki. Ketergantungan ini disebabkan oleh tidak adanya suplai domestic dan industri-industri pendukung serta lemahnya keterkaitan produksi antar industry di dalam negeri;
Sangat besarnya PMA industri manufaktur nasional, walaupun memberi keuntungan-keuntungan tertentu, seperti pengetahuan mengenai proses manufaktur telah membuat sektor tersebut menjadi sangat tergantung pada suplai bahan baku dan kom[ponen dari luar negeri;
Walaupun pertumbuhan PMA di industri manufaktur sangat pesat dan Indonesia sudah masuk ke dalam sistem manufaktur regional, peralihan T ke Indonesia dalam arti yang luas, termasuk teknikal, manajemen, organisasi, pengembangan produk, dan keterkaitan ekternal sangat terbatas;
Ketergantungan pada PMA juga telah membuat proses peningkatan kemampuan perusahaan-perusahaan lokal dalam proses manufaktur dan kemampuan untuk mengembangkan produk dengan merek sendiri serta membangun jaringan pemasaran sendiri berjalan lamabat.
iii.Tidak adanya industri berteknologi menengah
Kelihatannya pola industrialisasi di Indonesia berbeda dengan di negara-negara lain yang derajat industrialisasinya relative sama:
Kontribusi dari industri-industri berteknologi menengah (termasuk karet dan plastik, semen, logam dasar, dan barang-barang sederhana dari logam) terhadap pembangunan sektor industri manufaktur menurun antara tahun 1985 dan 1997. Pola seperti ini boleh dikatakan unik bagi Indonesia, sejak hampir semua negara di Asia dan belahan dunia lainnya mempertahankan keberadaan industri-industri dari kategori ini di dalam total output manufaktur mereka;
Demikian juga, kontribusi dari produk-produk yang padat K (material-materil dari plastik, produk-produk dari karet, pupuk, bubuk kertas dan kertas, besi dan baja) terhadap total X juga menurun selama periode yang sama;
Sementara di pihak lain, produksi dari industri-industri berteknologi rendah tumbuh pesat disebabkan oleh pertumbuhan pesat dari industri-industri padat L (seperti tekstil, pakaian jadi, dan alas kaki) dan pertumbuhan industri-industri kayu, kertas, dan makanan.
iv.Konsentrasi regional
Industri-industri skala menengah dan besar sangat terkonsentrasi di Jawa dan khususnya di Jabotabek. Walaupun pemerintah telah memberikan berbagai macam insentif, kegiatan produksi manufaktur tetap saja terpusatkan di Jawa. Data BPS menunjukkan bahwa pada tahun 1997 pangsa kesempatan kerja dan NT di industri manufaktur yang dimiliki Jakarta dan Jawa Barat naik hingga sekitar 50% dari total nasional. Peningkatan ini disebabkan, disamping faktor-faktor lain, adanya industri-industri pendukung dan pemasok, pasar yang relatif besar dan berkembang pesat mengikuti pertumbuhan pendapatan riil per kapita dan jumlah populasi, infrastruktur fisik yang baik, dan berdekatan dengan kantor-kantor pemerintah. Menurut data BPS, besarnya sektor manufaktur di luar Jawa hampir T sama dengan di Jawa Timur (20%) dan sekitar setengah dari yang di Jakarta / Jawa Barat.
5.Strategi Pembangunan Sektor Industri
Dalam melaksanakan industrialisasi, ada dua pilihan strategi, yakni strategi substitusi impor (SI) atau strategi promosi ekpor (PE). Strategi SI sering disebut kebijakan inward-looking, yakni strategi yang menfokuskan pada pengembangan industri nasional yang berorientasi kepada dasar domestik. Sedangkan, strategi PE sering disebut kebijakan outward-looking, yakni strategi yang menfokuskan pada pengembangan industri nasional lebih berorientasi ke pasar internasional. Strategi dicapai dengan mengembangkan industri di dalam negeri yang memproduksi barang-barang pengganti M (subtitusi M). Sedangkan, strategi PE dilandasi oleh pemikiran bahwa laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi hanya bisa direalisasikan jika produk-produk yang dibuat di dalam negeri dijual dipasar X.
1. Strategi SI
Hampir semua LDCs memulai industrialisasi mereka dengan strategi SI, terutama di Amerika Latin dan Asia Selatan, Timur dan Tenggara. Ada negara-negara yang menerapkanya hanya pada awal industrialisasi mereka (jangka waktunya pendek), dan setelah itu beralih ke strategi PE, seperti misalnya Korea Selatan dan Taiwan; ada negara seperti Indonesia yang menerapkannya sepanjang proses industrialisasinya,walaupun sejak pertengahan 1980-an strategi tersebut dikombinasikan dengan strategi PE.
Beberapa pertimbangan yang lazim digunakan dalam memilih strategi ini terutama adalah :
i.SDA dan faktor produksi terutama L cukup tersedia di dalam negeri. Sehingga, secara teoretis, biaya produksi yang intensitas penggunaan sumber-sumber ekonomi tersebut tinggi bisa rendah;
ii.Potensi permintaan di dalam negeri yang memadai;
iii.Untuk mendorongperkembangan industry manufaktur di dalam negeri;
iv.Dengan berkembangnya ketergantungan industri di dalam negeri, maka kesempatan kerja diharapkan terbuka lebih luas;
v.Dapat mengurangi ketergantungan terhadap M, yang berarti juga mengurangi defisit saldo neraca perdagangan dan menghemat cadangan devisa.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, dalam strategi SI, industri-industri dalam negeri yang dikembangkan adalah yang memproduksi barang-barang yang sebelumnya di M untuk pasaran dalam negeri. Oleh karena itu, M dikurangi atau dilarang sama sekali. Pelaksanaan strategi SI terdiri dari dua tahap. Dalam tahap pertama, industri yang dikembangkan adalah industri yang membuat barang-barang konsumsi C, walaupun tidak semuanya bersifat barang yang tahan lama seperti kendaraan bermotor, kulkas, televisi, dan alat pendingin. Untuk membuat barang-barang tersebut diperlukan barang modal dan input perantara yang di banyak negara yang menerapkan strategi ini tidak tersedia, sehingga tetap harus diimpor. Dalam tahap kedua, industry yang dikembangkan adalah industry hulu.
Perbedaan antara tahap pertama dengan tahap kedua adalah bahwa tahap pertama telah terbukti jauh lebih mudah dilakukan, tetapi dalam transisi ke tahap kedua banyak negara menghadapi kesulitan yang dalam banyak kasus industri yang dikembangkan itu menjadi industri-industri biaya tinggi. Ada beberapa alasan. Pertama, karena proses substitusi M terhadap barang modal dan input perantara cenderung lebih padat K dibandingkan proses subtitusi M terhadap barang C. kedua, proses produksi di hulu mengandung skala ekonomis dan sangat sensitif terhadap faktor efisiensi di dalam sistem organisasi dan penggunaan T serta metode produksi. Suatu proses produksi di dalam suatu industri dengan ukuran pabrik yang efisien relatif lebih besar dibandingkan besarnya pasar dalam negeri dan organisasi serta teknikel yang tidak efisien akan menimbulkan biaya tinggi.
2.Strategi PE
Melihat pengalaman yang kurang berhasil dengan strategi SI, badan-badan dunia seperti IMF dan Bank Dunia menganjurkan agar LDCs menerapkan strategi PE. Sesuai teori klasik mengenai perdagangan internasional, strategi berorientasi keluar ini melibatkan pembangunan industri manufaktur sesuai keunggulan komparatif yang dimiliki negara bersangkutan. Dibandingkan dengan strategi SI, strategi ini mempromosikan fleksibilitas dalam pergeseran sumber daya ekonomi yang ada mengikuti perubahan pola keunggulan komparatif. Orientasi keluar, yang merupakan dasar strategi PE menghubungkan ekonomi domestik dengan ekonomi dunia lewat promosi perdagangan. Oleh karena itu, diskriminasi dalam penggunaan tarif, kuota, lisensi I, subsidi pajak, dan kredit serta instrument-instrumen lainnya yang sering diterapkan dalam strategi SI, tidak cocok digunakan dalam strategi PE. Ini tidak mengatakan bahwa dalam strategi PE sama sekali tidak ada intervensi pemerintah. Dalam prakteknya, banyak negara menerapkan strategi PE dengan menghilangkan beberapa rintangan terhadap X.
Keberhasilan strategi PE sering diilustrasikan dengan pengalaman dari negara-negara di Asia Timur dan Tenggara seperti Korea Selatan, Taiwan, Singapura, dan Hong Kong, juga hingga tingkat lebih rendah, pengalaman dari negara-negara industri di Amerika Latin seperti Brasil dan Argentina. Dari banyak studi mengenai keberhasilan dari negara-negara tersebut, beberapa saran penting yang diberikan agar penerapan strategi tersebut membawa hasil yang baik adalah bahwa:
i.Pasar harus menciptakan signal harga yang benar, yang sepenuhnya merefleksikan kelangkaan dari barang yang bersangkutan, baik di pasar output maupun pasar unput;
ii.Tingkat proteksi dari M harus rendah;
iii.Nilai tukar mata uang harus realistis, sepenuhnya merefleksikan keterbatasan uang asing yang bersangkutan;
iv.Lebih penting lagi, harus ada insentif untuk meningkatkan X.
Menurut strategi PE, paling tidak kesempatan yang sama harus diberikan kepada industri-industri yang memproduksikan untuk pasar dalam negeri dan industri-industri untuk pasar X.
Dalam kasus Indonesia menjelang pertengahan 1980-an, setelah oil boom kedua (awal 1980-an) berakhir, dan setelah pemerintah akhirnya menyadari bahwa kebijakan proteksi selama itu ternyata lebih banyak merugikan daripada menguntungkan Indonesia, mulai kelihatan adanya perubahan strategi industrialisasi yang dilakukan secara bertahap dari proteksi ke promosi ekspor, khususnya X nonmigas, termasuk produk-produk manufaktur. Perubahan kebijakan ini didukung oleh sejumlah paket deregulasi. Paket deregulasi pertama dilakukan tahun 1982 di sektor keuangan / perbankan yang dikenal dengan sebutan Gebrakan Sumarlin I. Baru tahun 1990-an, reformasi juga dilakukan di sektor keuangan / perbankan. Langkah ini adalah awal daripada reformasi ekonomi yang terus berjalan hingga saat ini, dan intensitasnya bertambah tinggi sejak krisis ekonomi melanda Indonesia sebagai konsekuensi dari kesepakatan antara pemerintah Indonesia dengan IMF.
Dalam strategi baru ini, pemerintah menghilangkan sejumlah rintangan-rintangan nontariff (NTBs), khususnya pembatasan M secara kuantitatif, dengan tujuan untuk menghilangkan bias yang anti X dari strategi sebelumnya. Selain itu, pemerintah juga melakukan konversi dari kuota ke proteksi dengan tarif, penurunan tarif proteksi secara bertahap, dan memperkenalkan skim pembebasan dan pengembalian pajak bagi perusahaan-perusahaan eksportir yang mengekspor paling sedikit 85% dari jumlah output-nya.
3.Kebijakan Industri Pasca Krisis Ekonomi
Salah satu sektor ekonomi di dalam negeri yang sangat terpukul oleh krisis ekonomi adalah sektor industri manufaktur. Akibat depresiasi di sektor tersebut harus mengurangi volume produksi atau bahkan menutup usaha mereka karena sangat mahalnya biaya M. Krisis ekonomi telah menunjukkan bahwa ternyata pembangunan industri selama Orde Baru tidak menghasilkan suatu industri nasional yang kuat. Kebalikannya, pembangunan industri yang didukung oleh kebijakan SI dengan proteksi yang berlebihan dan terlalu lama (walaupun sejak pertengahan 1980-an bergeser secara bertahap ke kebijakan PE) telah membuat industri manufaktur nasional menjadi sangat lemah dengan tingkat ketergantungan pada M dan utang yang sangat tinggi.
Masuknya IMF ke Indonesia dalam usaha membantu Indonesia untuk keluar dari krisis tersebut telah membawa suatu perubahan besar di dalam kebijakan industrialisasi di dalam negeri. Sesuai kesepakatan antara pemerintah Indonesia dengan IMF, dan juga kesepakatan di dalam konteks AFTA dan WTO, kebijakan industri pasca krisis sepenuhnya sejalan dengan kebijakan perdagangan luar negeri yang properdagangan bebas. Kebijakan industri baru ini lebih berorientasi ke X dibandingkan sebelum krisis, walaupun tidak menghilangkan perhatian kepada pembangunan industri-industri untuk pasar domestik. Industri-industri yang yang selain padat L juga mempunyai potensi X yang besar berdasarkan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif yang ada. Salah satu langkah konkret dari pemerintah dalam kebijakan industri baru ini adalah pengurangan tarif M, baik terhadap barang jadi maupun setengah jadi, bahan baku dan komponen secara bertahap, dan penghilangan fasilitas-fasilitas kemudahan yang selama Orde Baru banyak diberikan kepada perusahaan-perusahaan besar (konglomerat). Sedangkan, fasilitas-fasilitas kemudahan seperti kredit murah tetap diberikan kepada usaha kecil dan menengah walaupun dengan prosedur seleksi yang lebih ketat dan prioritas serta program yang lebih jelas dari sebelumnya.
Sumber
Tambunan, Tulus T.H. (2003), perekonomian indonesia beberapa masalah penting, penerbit Ghalia Indonesia
Perekonomian Indonesia (minggu ke-8)
SEKTOR PERTANIAN
1.Peranan Sektor Pertanian
Mengikuti analisis klasik dari Kuznets (1964), pertanian di LDCs dapat dilihat sebagai suatu sektor ekonomi yang sangat potensial dalam empat (4) bentuk kontribusinya terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi nasional, yaitu sebagai berikut.
1.Ekspansi dari sektor-sektor ekonomi lainnya sangat tergantung pada pertumbuhan output di sektor pertanian, baik diri sisi permintaan sebagai sumber pemasokan makanan yang kontinu mengikuti pertumbuhan penduduk, maupun dari sisi penawaran sebagai sumber bahan baku bagi keperluan produksi di sektor-sektor lain seperti industri manufaktur (misalnya industri makanan dan minuman) dan perdagangan. Kuznets menyebut ini sebagai kontribusi produk.
2.Di negara-negara agraris seperti Indonesia, pertanian berperan sebagai sumber penting bagi pertumbuhan permintaan domestic bagi produk-produk dari sektor-sektor ekonomi lainnya. Kuznets menyebutnya kontribusi pasar.
3.Sebagai suatu sumber modal untuk investasi di sektor-sektor ekonomi lainnya. Selain itu, menurut teori penawaran tenaga (L) tak terbatas dari Arthur Lewis dan telah terbukti dalam banyak kasus, bahwa dalam proses pembangunan ekonomi terjadi transfer surplus L dari pertanian (pedesaan) ke industri dan sektor-sektor perkotaan lainnya. Kuznets menyebutnya kontribusi faktor-faktor produksi.
4.Sebagai sumber penting bagi surplus neraca pedagangan (sumber devisa), baik lewat ekspor hasil-hasil pertanian maupun dengan peningkatan produksi pertanian dalam negeri menggantikan impor (substitusi impor). Kuznets menyebutnya kontribusi devisa.
2.Sektor Pertanian di Indonesia
1.Pertumbuhan Output Sejak Tahun 1970-an
Mungkin sudah merupakan suatu evolusi alamiah seiring dengan proses industrialization, di mana pangsa output agregat (PDB) dari pertanian relative menurun sedangkan dari industri manufaktur dan sektor-sektor sekunder lainnya dan sektor tersier meningkat.
2.Pertumbuhan dan Diversifikasi Ekspor
Komoditi pertanian Indonesia yang diekspor cukup bervariasi mulai dari getah karet, kopi, udang, rempah-rempah, mutiara, hingga berbagai macam sayur dan buah.
3.Kontribusi Terhadap Kesempatan Kerja
Sudah diduga bahwa di suatu negara agraris besar seperti Indonesia, di mana ekonomi dalam negerinya masih didominasi oleh ekonomi pedesaan, sebagian besar dari jumlah angkatan / tenaga kerja (L) bekerja di pertanian.
4.Ketahanan Pangan
Di Indonesia, ketahanan pangan merupakan salah satu topik yang sangat penting, bukan saja diihat dari nilai-nilai ekonomi dan sosial, tetapi masalah ini mengandung konsekuensi politik yang sangat besar. Dapat dibayangkan apa yang akan terjadi dengan kelangsungan suatu kabinet pemerintah atau stabilitas politik di dalam negeri apabila Indonesia terancam kekurangan pangan atau kelaparan. Bahkan di banyak negara, ketahanan pangan sering digunakan sebagai alat politik bagi seorang presiden untuk mendapatkan dukungan dari rakyatnya. Ketahanan pangan menjadi tambah penting lagi terutama karena saat ini Indonesia merupakan salah satu anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Artinya, di satu pihak, pemerintah harus memperhatikan kelangsungan produksi pangan di dalam negeri demi menjamin ketahanan pangan, namun, di pihak lain, Indonesia tidak bisa menghambat impor pangan dari luar. Dalam kata lain, apabila Indonesia tidak siap, keanggotaan Indonesia di dalam WTO bisa membuat Indonesia menjadi sangat tergantng pada impor pangan, dan ini dapat mengancam ketahanan pangan di dalam negeri.
Konsep ketahanan pangan yang dianut Indonesia dapat dilihat dari Undang-undang (UU) No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Pasal 1 Ayat 17 yang menyebutkan bahwa “Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga (RT) yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau.” UU ini sejalan dengan definisi ketahanan pangan menurut Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1992, yakni akses setiap RT atau individu untuk dapat memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup yang sehat. Sementara pada World Food Summit tahun 1996, ketahanan pangan disebut sebagai akses setiap RT atau individu untuk dapat memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup yang sehat dengan persyaratan penerimaan pangan sesuai dengan nilai atau budaya setempat (Pambudy, 2002a).
a.Kebutuhan Pangan Nasional
Banyak orang memperkirakan bahwa dengan laju pertumbuhan penduduk di dunia yang tetap tinggi setiap tahun, sementara lahan yang tersedia untuk kegiatan-kegiatan pertanian semakin sempit, maka pada suatu saat dunia akan mengalami krisis pangan (kekurangan stok), seperti juga diprediksi oleh teori Malthus. Namun, keterbatasan stok pangan bisa diakibatkan oleh dua hal : karena volume produksi rendah (yang disebabkan oleh faktor cuaca atau lainnya), sementara permintaan besar karena jumlah penduduk dunia bertambah terus atau akibat distribusi yang tidak merata ke seluruh dunia: banyak daerah seperti Afrika mengalami krisis pangan, sementara di Eropa Barat, Amerika Utara, dan sebagian Asia mengalami kelebihan pangan.
Menurut prediksi dari FAO, untuk 30 tahun ke depan, peningkatan produksi pangan akan lebih daripada pertumbuhan pendudukan dunia. Peningkatan produksi pangan yang tinggi itu akan terjadi di DCs. Selain kecukupan pangan, kualitas makanan juga akan membaik. Menurut data dari FAO, dalam 20 tahun belakangan ini peningkatan produksi pangan di dunia rata-rata per tahun mencapai 2,1%, sedangkan laju pertumbuhan penduduk dunia hanya 1,6% per tahun. Selama periode 2000-2015 peningkatan produksi pangan diperkirakan akan menurun menjadi rata-rata 1,6% per tahun, namun masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk dunia yang diprediksi 1,2% per tahun. Untuk periode 2015-2030 FAO memperkirakan produksi pangan akan tumbuh lebih rendah lagi yakni 1,3% per tahun, tetapi masih lebih tinggi daripada pertumbuhan penduduk dunia sebesar 0,8% per tahun. Produksi biji-bijian dunia akan meningkat sebesar 1 miliar ton selama 30 tahun ke depan, dari 1,84 miliar ton di tahun 2000 menjadi 2,84 miliar ton di tahun 2010 (Husodo, 2002).
3.Nilai Tukar Petani
1.Pengertian Nilai Tukar
Yang dimaksud dengan nilai tukar adalah nilai tukar suatu barang dengan barang lain, jadi suatu rasio harga (nominal atau indeks) dari dua barang yang berbeda. Sebagai contoh sederhana, misalnya ada dua jenis barang: A dan B dengan harga masing-masing PA = 10 dan PB = 20. Maka nilai tukar barang A terhadap barang B adalah rasio (PA/PB) x 100 % = 1/2. Rasio ini menunjukkan bahwa untuk mendapatkan ½ unit B harus ditukar dengan 1 unit A (atau 1 unit B ditukar dengan 2 unit A). rasio ini dapat juga diartikan sebagai berikut. Di dalam suatu ekonomi dengan SDA, SDM, K,T,E dan input-input produksi lainnya yang ada tetap tidak berubah, biaya alternative dari membuat 1/2 unit B adalah harus mengorbankan (tidak membuat) 1 unit A. Semakin kuat posisi tawar barang A (misalnya PA naik dengan laju lebih tinggi daripada kenaikan PB), semakin tinggi nilai rasio tersebut, dan sebaliknya semakin rendah.
4.Investasi di Sektor Pertanian
5.Keterkaitan Pertanian dengan Industri Manufaktur
Sumber : Tambunan, Tulus T.H. (2003), perekonomian indonesia beberapa masalah penting, penerbit Ghalia Indonesia
1.Peranan Sektor Pertanian
Mengikuti analisis klasik dari Kuznets (1964), pertanian di LDCs dapat dilihat sebagai suatu sektor ekonomi yang sangat potensial dalam empat (4) bentuk kontribusinya terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi nasional, yaitu sebagai berikut.
1.Ekspansi dari sektor-sektor ekonomi lainnya sangat tergantung pada pertumbuhan output di sektor pertanian, baik diri sisi permintaan sebagai sumber pemasokan makanan yang kontinu mengikuti pertumbuhan penduduk, maupun dari sisi penawaran sebagai sumber bahan baku bagi keperluan produksi di sektor-sektor lain seperti industri manufaktur (misalnya industri makanan dan minuman) dan perdagangan. Kuznets menyebut ini sebagai kontribusi produk.
2.Di negara-negara agraris seperti Indonesia, pertanian berperan sebagai sumber penting bagi pertumbuhan permintaan domestic bagi produk-produk dari sektor-sektor ekonomi lainnya. Kuznets menyebutnya kontribusi pasar.
3.Sebagai suatu sumber modal untuk investasi di sektor-sektor ekonomi lainnya. Selain itu, menurut teori penawaran tenaga (L) tak terbatas dari Arthur Lewis dan telah terbukti dalam banyak kasus, bahwa dalam proses pembangunan ekonomi terjadi transfer surplus L dari pertanian (pedesaan) ke industri dan sektor-sektor perkotaan lainnya. Kuznets menyebutnya kontribusi faktor-faktor produksi.
4.Sebagai sumber penting bagi surplus neraca pedagangan (sumber devisa), baik lewat ekspor hasil-hasil pertanian maupun dengan peningkatan produksi pertanian dalam negeri menggantikan impor (substitusi impor). Kuznets menyebutnya kontribusi devisa.
2.Sektor Pertanian di Indonesia
1.Pertumbuhan Output Sejak Tahun 1970-an
Mungkin sudah merupakan suatu evolusi alamiah seiring dengan proses industrialization, di mana pangsa output agregat (PDB) dari pertanian relative menurun sedangkan dari industri manufaktur dan sektor-sektor sekunder lainnya dan sektor tersier meningkat.
2.Pertumbuhan dan Diversifikasi Ekspor
Komoditi pertanian Indonesia yang diekspor cukup bervariasi mulai dari getah karet, kopi, udang, rempah-rempah, mutiara, hingga berbagai macam sayur dan buah.
3.Kontribusi Terhadap Kesempatan Kerja
Sudah diduga bahwa di suatu negara agraris besar seperti Indonesia, di mana ekonomi dalam negerinya masih didominasi oleh ekonomi pedesaan, sebagian besar dari jumlah angkatan / tenaga kerja (L) bekerja di pertanian.
4.Ketahanan Pangan
Di Indonesia, ketahanan pangan merupakan salah satu topik yang sangat penting, bukan saja diihat dari nilai-nilai ekonomi dan sosial, tetapi masalah ini mengandung konsekuensi politik yang sangat besar. Dapat dibayangkan apa yang akan terjadi dengan kelangsungan suatu kabinet pemerintah atau stabilitas politik di dalam negeri apabila Indonesia terancam kekurangan pangan atau kelaparan. Bahkan di banyak negara, ketahanan pangan sering digunakan sebagai alat politik bagi seorang presiden untuk mendapatkan dukungan dari rakyatnya. Ketahanan pangan menjadi tambah penting lagi terutama karena saat ini Indonesia merupakan salah satu anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Artinya, di satu pihak, pemerintah harus memperhatikan kelangsungan produksi pangan di dalam negeri demi menjamin ketahanan pangan, namun, di pihak lain, Indonesia tidak bisa menghambat impor pangan dari luar. Dalam kata lain, apabila Indonesia tidak siap, keanggotaan Indonesia di dalam WTO bisa membuat Indonesia menjadi sangat tergantng pada impor pangan, dan ini dapat mengancam ketahanan pangan di dalam negeri.
Konsep ketahanan pangan yang dianut Indonesia dapat dilihat dari Undang-undang (UU) No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Pasal 1 Ayat 17 yang menyebutkan bahwa “Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga (RT) yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau.” UU ini sejalan dengan definisi ketahanan pangan menurut Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1992, yakni akses setiap RT atau individu untuk dapat memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup yang sehat. Sementara pada World Food Summit tahun 1996, ketahanan pangan disebut sebagai akses setiap RT atau individu untuk dapat memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup yang sehat dengan persyaratan penerimaan pangan sesuai dengan nilai atau budaya setempat (Pambudy, 2002a).
a.Kebutuhan Pangan Nasional
Banyak orang memperkirakan bahwa dengan laju pertumbuhan penduduk di dunia yang tetap tinggi setiap tahun, sementara lahan yang tersedia untuk kegiatan-kegiatan pertanian semakin sempit, maka pada suatu saat dunia akan mengalami krisis pangan (kekurangan stok), seperti juga diprediksi oleh teori Malthus. Namun, keterbatasan stok pangan bisa diakibatkan oleh dua hal : karena volume produksi rendah (yang disebabkan oleh faktor cuaca atau lainnya), sementara permintaan besar karena jumlah penduduk dunia bertambah terus atau akibat distribusi yang tidak merata ke seluruh dunia: banyak daerah seperti Afrika mengalami krisis pangan, sementara di Eropa Barat, Amerika Utara, dan sebagian Asia mengalami kelebihan pangan.
Menurut prediksi dari FAO, untuk 30 tahun ke depan, peningkatan produksi pangan akan lebih daripada pertumbuhan pendudukan dunia. Peningkatan produksi pangan yang tinggi itu akan terjadi di DCs. Selain kecukupan pangan, kualitas makanan juga akan membaik. Menurut data dari FAO, dalam 20 tahun belakangan ini peningkatan produksi pangan di dunia rata-rata per tahun mencapai 2,1%, sedangkan laju pertumbuhan penduduk dunia hanya 1,6% per tahun. Selama periode 2000-2015 peningkatan produksi pangan diperkirakan akan menurun menjadi rata-rata 1,6% per tahun, namun masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk dunia yang diprediksi 1,2% per tahun. Untuk periode 2015-2030 FAO memperkirakan produksi pangan akan tumbuh lebih rendah lagi yakni 1,3% per tahun, tetapi masih lebih tinggi daripada pertumbuhan penduduk dunia sebesar 0,8% per tahun. Produksi biji-bijian dunia akan meningkat sebesar 1 miliar ton selama 30 tahun ke depan, dari 1,84 miliar ton di tahun 2000 menjadi 2,84 miliar ton di tahun 2010 (Husodo, 2002).
3.Nilai Tukar Petani
1.Pengertian Nilai Tukar
Yang dimaksud dengan nilai tukar adalah nilai tukar suatu barang dengan barang lain, jadi suatu rasio harga (nominal atau indeks) dari dua barang yang berbeda. Sebagai contoh sederhana, misalnya ada dua jenis barang: A dan B dengan harga masing-masing PA = 10 dan PB = 20. Maka nilai tukar barang A terhadap barang B adalah rasio (PA/PB) x 100 % = 1/2. Rasio ini menunjukkan bahwa untuk mendapatkan ½ unit B harus ditukar dengan 1 unit A (atau 1 unit B ditukar dengan 2 unit A). rasio ini dapat juga diartikan sebagai berikut. Di dalam suatu ekonomi dengan SDA, SDM, K,T,E dan input-input produksi lainnya yang ada tetap tidak berubah, biaya alternative dari membuat 1/2 unit B adalah harus mengorbankan (tidak membuat) 1 unit A. Semakin kuat posisi tawar barang A (misalnya PA naik dengan laju lebih tinggi daripada kenaikan PB), semakin tinggi nilai rasio tersebut, dan sebaliknya semakin rendah.
4.Investasi di Sektor Pertanian
5.Keterkaitan Pertanian dengan Industri Manufaktur
Sumber : Tambunan, Tulus T.H. (2003), perekonomian indonesia beberapa masalah penting, penerbit Ghalia Indonesia
Rabu, 01 Juni 2011
Perekonomian Indonesia (Minggu ke-7)
Pembangunan Ekonomi Daerah danOtonomi Daerah
1. Pembangunan Ekonomi Regional
Pembangunan ekonomi sejak Pelita I hingga krisis tahun 1997 memang telah memberi hasil-hasil positif bagi perekonomian Indonesia, terutama jika dilihat dari sisi kinerja ekonomi makronya. Tingkat PN riil rata-rata per kapita mengalami peningkatan yang cukup signifikasi dari hanya sekitar US$ 50 pertengahan 1960-an menjadi lebih dari US$ 1000 pertengahan 1990-an, dan bahkan Indonesia sempat disebut sebagai calon Negara industry baru di Asia Tenggara, satu tingkat di bawah NICs. Namun, dilihat dari sisi kualitasnya, ternyata proses pembangunan ekonomi selama Orde Baru telah menciptakan suatu kesenjangan yang besar, baik dalam bentuk ketimpangan dalam distribusi pendapatan antarkelompok pendapatan, maupun kesenjangan ekonomi / pendapatan antardaerah / provinsi. Pembangunan ekonomi yang tidak merata antarprovinsi membuat sebagian masyarkat (kalau tidak bisa dikatakan semuanya) di banyak daerah di luar pulau Jawa seperti Aceh, Irian Jaya (Papua), dan Riau ingin melepaskan diri dari Indonesia.Bahkan dapat dikatakan bahwa menangnya kelompok pro kemardekaan di Timor Timur tidak lepas dari kekecewaan dari sebagian besar masyarakatnya melihat kenyataan bahwa bergabungnya mereka dengan Indonesia selama Orde Baru tidak menghasilkan pembangunan ekonomi yang berarti di wilayah mereka.
2. Faktor-faktor Penyebab Ketimpangan
Sudah cukup banyak studi yang menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi antar provinsi atau wilayah di Indonesia. Di antaranya dari Esmara (1975), Sediono dan Igusa (1992), Azis (1989), Hill dan Wiliams (1989), Sondakh (1994), dan Safrizal (1997,2000). Kesimpulan dari semua studi-studi tersebut adalah bahwa f aktor-faktor utama penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi antar provinsi di Indonesia adalah sebagaiberikut.
1. Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah
Konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi di daerah tertentu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya ketimpangan pembangunan antar daerah. Ekonomi dari daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi tinggi cenderung tumbuh pesat.Sedangkan daerah dengan tingkat konsentrasi ekonomi rendahakan cenderung mempunyai tingkat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah. Di Indonesia, strategi pembangunan ekonomi nasional yang diterapkan selama pemerintahan OrdeBaru membuat secara langsung maupun tidak langsung terpusatnya pembangunan ekonomi di Jawa, khususnya Jawa Barat dan Jawa Timur, dan hingga tingkat tertentu di Sumatra. Ini membuat terbelakangnya pembangunan ekonomi diprovinsi-provinsi di luarJawa, khususnya di IKT.Selain itu, memusatnya pembangunan ekonomi di Jawa juga disebabkan oleh berbagai hal lain, di antaranya ketersediaan infrastruktur dan letak geografis. Ekspansi ekonomi dalam pola seperti ini terbukti mempunyai pengaruh yang merugikan bagi daerah-daerah lain, karena L dan K yang ada, serta kegiatan perdagangan pindah dari daerah-daerah di luar Jawa ke Jawa. Khususnya migrasi L, baik dari kategori L berpendidikan rendah maupunberpendidikantinggiterusmengalirkeJawa, sehinggamerugikandaerah-daerah lain: salahsatufaktorproduksipentinghilang di daerah-daerah.
Kerugian yang dialami banyak daerah di luar Jawa, khususnya IKT, karena terpusatnya kegiatan ekonomi nasional di Jawa adalah salah satu contoh konkret dari apa yang dimaksud dengan efek “penyurutan” dari kegiatan ekonomi yang terpusatkan di suatu daerah. Namun, sebenarnya kegiatan ekonomi yang terpusatnya di Jawa tidak harus sepenuhnya merugikan semua daerah lain, khususnya yang dekat dengan Jawa; atau tidak harus memperbesar efek-efek polarisasi. Paling tidak dalam teori, pembangunan ekonomi yang pesat di Jawa selama ini bisa juga member banyak keuntungan, misalnya dalam bentuk ekspor dari daerah-daerah tersebut ke Jawa meningkat dan berarti dampak positif terhadap pertumbuhan kesempatan kerja dan pendapatan di daerah-daerah tersebut.
2. Alokasi Investasi
Indikator lain yang juga menujukkan pola serupa adalah distribusi investasi (I) langsung, baik yang bersumber dari luarnegeri (PMA) mau pun dari dalam negeri (PMDN). Berdasarkan teori pertumbuhan ekonomi dari Harrod-Domar yang menerangkan adanya korelasi positif antara tingkat I dan laju pertumbuhan ekonomi, dapat di katakana bahwa kurangnya I di suatu wilayah membuat pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakan per kapita di wilayah tersebut rendah , karena tidakada kegiatan-kegiatan ekonomi yang produktif seperti industri manufaktur.
3. Pembangunan Indonesia BagianTimur
Mengacu kepada hal itu strategi utama yang harus dibangun salah satunya adalah penguatan konektivitas nasional. Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) Emil Salim mengatakan, untuk untuk mengembangkan keutuhan NKRI, perlu mengutamakan penggalakan konektivitas Indonesia bagian barat dan timur. Sebab, kata dia, saat ini Indonesia bagian timur masih tertinggal sehingga tidak menarik minat pengusaha berinvestasi di sana. Indonesia bagian timur harus dibangun, harus dikembangkan terus, untuk memperkuat perekonomian di Indonesia, koridor ekonomi di Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Papua, dan Kepulauan Maluku, masih mencatat angka buruk di semua indikator kesejahteraan penduduk, kemiskinan, dan gizi buruk,”
4. Teori dan analisis pembangunan ekonomi daerah
Ada sejumlah teori yang dapat menerangkan kenapa ada perbedaan dalam tingkat pembangunan ekonomi antardaerah diantaranya yang umum di gunakan adalah teori basis ekonomi, teori lokasi dan teori daya tarik industri.
1. Teori pembangunan ekonomi daerah
a. Teori basis ekonomi
Teori basis ekonomi menyatakan bahwa faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah berhubungan langsung dengan permintaan akan barang dan jasa dari luar daerah.
b. Teori lokasi
Teori lokasi juga sering digunakan untuk penentuan atau pengembangan kawasan industri di suatu dareah. Inti pemikiran dari teori ini didasarkan pada sifat rasional pengusaha/perusahaan yang cenderung mencari keuntungan setinggi mungkin dengan biaya serendah mungkin oleh karena itu , pengusaha akan memilih lokasi usaha yang memaksimalkan keuntungannya dan meminimalisasikan biaya usaha atau produksinya, yakni lokasi yang dekat dengan tempat bahan baku dan pasar.
c. Teori daya tarik industry
Dalam upaya pembangunan ekonomi daerah di Indonesia sering di pertanyakan. Jenis - jenis industri apa saja yang tepat untuk dikembangkan (diunggulkan) ? Ini adalah masalah membangun fortofolio industri suatu daerah.
2. Model ananlisipembangunadaerah
Selain teori-teori di atas, ada beberapa metode yang umum digunakan untuk menganalisi posisi relative ekonomi suatu daerah; salah satu di antaranya adalah metode analisis shift-share (SS), location questitens, angka pengganda pendapatan , analisis input output (i-o) ,dan model perumbuhan Harold-domar.
Berikutadalahsebagianpenjelasandari model analisisdalampembagunaandaerah .
a. Analisis SS
Dengan pendekatan analisi sini ,dapat di analisis kinerja perekonomian suatu daerah dengan membandingakanya dengan daerah yang lebih besar ( nasional).
b. Location Quotients (LQ)
Yaitu untuk mengukur konsentrasi dari suatu kegiatan ekonomi atau sector di suatu daerah dengan cara membandingkan peranany adalah perekonomian daerah tersebut dengan peranan dari kegiatan ekonomi atau sektor yang sampai di tingkat yang sama.
c. Angka Pengganda Pendapatan
Metode ini umum digunakan untuk mengukur potensi kenaikan pendapatan suatu daerah dari suatu kegiatan ekonomi yang baru atau peningkatan output dari suatu sektor di daerah tersebut.
d. Analisis Input-Output (I-O)
Analisis I-O merupakan salah satu metode analisis yang sering digunakan untuk mengukur perekonomian suatu daerah dengan melihat keterkaitan antarsektor dalam usaha memahami kompleksitas perekonomian daerah tersebut, serta kondisi yang diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan antara AS dan AD.
5. Otonomi Daerah
Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Sumber
Tambunan, Tulus T.H. (2003), perekonomian indonesia beberapa masalah penting, penerbit Ghalia Indonesia
1. Pembangunan Ekonomi Regional
Pembangunan ekonomi sejak Pelita I hingga krisis tahun 1997 memang telah memberi hasil-hasil positif bagi perekonomian Indonesia, terutama jika dilihat dari sisi kinerja ekonomi makronya. Tingkat PN riil rata-rata per kapita mengalami peningkatan yang cukup signifikasi dari hanya sekitar US$ 50 pertengahan 1960-an menjadi lebih dari US$ 1000 pertengahan 1990-an, dan bahkan Indonesia sempat disebut sebagai calon Negara industry baru di Asia Tenggara, satu tingkat di bawah NICs. Namun, dilihat dari sisi kualitasnya, ternyata proses pembangunan ekonomi selama Orde Baru telah menciptakan suatu kesenjangan yang besar, baik dalam bentuk ketimpangan dalam distribusi pendapatan antarkelompok pendapatan, maupun kesenjangan ekonomi / pendapatan antardaerah / provinsi. Pembangunan ekonomi yang tidak merata antarprovinsi membuat sebagian masyarkat (kalau tidak bisa dikatakan semuanya) di banyak daerah di luar pulau Jawa seperti Aceh, Irian Jaya (Papua), dan Riau ingin melepaskan diri dari Indonesia.Bahkan dapat dikatakan bahwa menangnya kelompok pro kemardekaan di Timor Timur tidak lepas dari kekecewaan dari sebagian besar masyarakatnya melihat kenyataan bahwa bergabungnya mereka dengan Indonesia selama Orde Baru tidak menghasilkan pembangunan ekonomi yang berarti di wilayah mereka.
2. Faktor-faktor Penyebab Ketimpangan
Sudah cukup banyak studi yang menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi antar provinsi atau wilayah di Indonesia. Di antaranya dari Esmara (1975), Sediono dan Igusa (1992), Azis (1989), Hill dan Wiliams (1989), Sondakh (1994), dan Safrizal (1997,2000). Kesimpulan dari semua studi-studi tersebut adalah bahwa f aktor-faktor utama penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi antar provinsi di Indonesia adalah sebagaiberikut.
1. Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah
Konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi di daerah tertentu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya ketimpangan pembangunan antar daerah. Ekonomi dari daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi tinggi cenderung tumbuh pesat.Sedangkan daerah dengan tingkat konsentrasi ekonomi rendahakan cenderung mempunyai tingkat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah. Di Indonesia, strategi pembangunan ekonomi nasional yang diterapkan selama pemerintahan OrdeBaru membuat secara langsung maupun tidak langsung terpusatnya pembangunan ekonomi di Jawa, khususnya Jawa Barat dan Jawa Timur, dan hingga tingkat tertentu di Sumatra. Ini membuat terbelakangnya pembangunan ekonomi diprovinsi-provinsi di luarJawa, khususnya di IKT.Selain itu, memusatnya pembangunan ekonomi di Jawa juga disebabkan oleh berbagai hal lain, di antaranya ketersediaan infrastruktur dan letak geografis. Ekspansi ekonomi dalam pola seperti ini terbukti mempunyai pengaruh yang merugikan bagi daerah-daerah lain, karena L dan K yang ada, serta kegiatan perdagangan pindah dari daerah-daerah di luar Jawa ke Jawa. Khususnya migrasi L, baik dari kategori L berpendidikan rendah maupunberpendidikantinggiterusmengalirkeJawa, sehinggamerugikandaerah-daerah lain: salahsatufaktorproduksipentinghilang di daerah-daerah.
Kerugian yang dialami banyak daerah di luar Jawa, khususnya IKT, karena terpusatnya kegiatan ekonomi nasional di Jawa adalah salah satu contoh konkret dari apa yang dimaksud dengan efek “penyurutan” dari kegiatan ekonomi yang terpusatkan di suatu daerah. Namun, sebenarnya kegiatan ekonomi yang terpusatnya di Jawa tidak harus sepenuhnya merugikan semua daerah lain, khususnya yang dekat dengan Jawa; atau tidak harus memperbesar efek-efek polarisasi. Paling tidak dalam teori, pembangunan ekonomi yang pesat di Jawa selama ini bisa juga member banyak keuntungan, misalnya dalam bentuk ekspor dari daerah-daerah tersebut ke Jawa meningkat dan berarti dampak positif terhadap pertumbuhan kesempatan kerja dan pendapatan di daerah-daerah tersebut.
2. Alokasi Investasi
Indikator lain yang juga menujukkan pola serupa adalah distribusi investasi (I) langsung, baik yang bersumber dari luarnegeri (PMA) mau pun dari dalam negeri (PMDN). Berdasarkan teori pertumbuhan ekonomi dari Harrod-Domar yang menerangkan adanya korelasi positif antara tingkat I dan laju pertumbuhan ekonomi, dapat di katakana bahwa kurangnya I di suatu wilayah membuat pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakan per kapita di wilayah tersebut rendah , karena tidakada kegiatan-kegiatan ekonomi yang produktif seperti industri manufaktur.
3. Pembangunan Indonesia BagianTimur
Mengacu kepada hal itu strategi utama yang harus dibangun salah satunya adalah penguatan konektivitas nasional. Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) Emil Salim mengatakan, untuk untuk mengembangkan keutuhan NKRI, perlu mengutamakan penggalakan konektivitas Indonesia bagian barat dan timur. Sebab, kata dia, saat ini Indonesia bagian timur masih tertinggal sehingga tidak menarik minat pengusaha berinvestasi di sana. Indonesia bagian timur harus dibangun, harus dikembangkan terus, untuk memperkuat perekonomian di Indonesia, koridor ekonomi di Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Papua, dan Kepulauan Maluku, masih mencatat angka buruk di semua indikator kesejahteraan penduduk, kemiskinan, dan gizi buruk,”
4. Teori dan analisis pembangunan ekonomi daerah
Ada sejumlah teori yang dapat menerangkan kenapa ada perbedaan dalam tingkat pembangunan ekonomi antardaerah diantaranya yang umum di gunakan adalah teori basis ekonomi, teori lokasi dan teori daya tarik industri.
1. Teori pembangunan ekonomi daerah
a. Teori basis ekonomi
Teori basis ekonomi menyatakan bahwa faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah berhubungan langsung dengan permintaan akan barang dan jasa dari luar daerah.
b. Teori lokasi
Teori lokasi juga sering digunakan untuk penentuan atau pengembangan kawasan industri di suatu dareah. Inti pemikiran dari teori ini didasarkan pada sifat rasional pengusaha/perusahaan yang cenderung mencari keuntungan setinggi mungkin dengan biaya serendah mungkin oleh karena itu , pengusaha akan memilih lokasi usaha yang memaksimalkan keuntungannya dan meminimalisasikan biaya usaha atau produksinya, yakni lokasi yang dekat dengan tempat bahan baku dan pasar.
c. Teori daya tarik industry
Dalam upaya pembangunan ekonomi daerah di Indonesia sering di pertanyakan. Jenis - jenis industri apa saja yang tepat untuk dikembangkan (diunggulkan) ? Ini adalah masalah membangun fortofolio industri suatu daerah.
2. Model ananlisipembangunadaerah
Selain teori-teori di atas, ada beberapa metode yang umum digunakan untuk menganalisi posisi relative ekonomi suatu daerah; salah satu di antaranya adalah metode analisis shift-share (SS), location questitens, angka pengganda pendapatan , analisis input output (i-o) ,dan model perumbuhan Harold-domar.
Berikutadalahsebagianpenjelasandari model analisisdalampembagunaandaerah .
a. Analisis SS
Dengan pendekatan analisi sini ,dapat di analisis kinerja perekonomian suatu daerah dengan membandingakanya dengan daerah yang lebih besar ( nasional).
b. Location Quotients (LQ)
Yaitu untuk mengukur konsentrasi dari suatu kegiatan ekonomi atau sector di suatu daerah dengan cara membandingkan peranany adalah perekonomian daerah tersebut dengan peranan dari kegiatan ekonomi atau sektor yang sampai di tingkat yang sama.
c. Angka Pengganda Pendapatan
Metode ini umum digunakan untuk mengukur potensi kenaikan pendapatan suatu daerah dari suatu kegiatan ekonomi yang baru atau peningkatan output dari suatu sektor di daerah tersebut.
d. Analisis Input-Output (I-O)
Analisis I-O merupakan salah satu metode analisis yang sering digunakan untuk mengukur perekonomian suatu daerah dengan melihat keterkaitan antarsektor dalam usaha memahami kompleksitas perekonomian daerah tersebut, serta kondisi yang diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan antara AS dan AD.
5. Otonomi Daerah
Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Sumber
Tambunan, Tulus T.H. (2003), perekonomian indonesia beberapa masalah penting, penerbit Ghalia Indonesia
Perekonomian Indonesia (Minggu ke-5 & 6)
KEMISKINAN DAN KESENJANGAN
A. Konsep dan Definisi
Besarnya kemiskinan dapat diukur dengan atau tanpa mengacu kepada garis kemiskinan. Konsep yang mengacu kepada garis kemiskinan disebut kemiskinan relatif, sedangkan konsep yang pengukurannya tidak didasarkan pada garis kemiskinan disebut kemiskinan absolut. Kemiskinan relative adalah suatu ukuran mengenai kesenjangan di dalam distribusi pendapatan, yang biasanya dapat didefinisikan di dalam kaitannya dengan tingkat rata-rata daridistribusi yang dimaksud. Di negara-negara maju (DCs), kemiskinan relative diukur sebagai suatu proporsi dari tingkat pendapatan rata-rata per kapita. Sebagai suatu ukuran relatif, kemiskinan relative dapat berbeda menurut negara atau periode di dalam suatu negara. Kemiskinan absolute adalahderajat dari kemiskinan di bawah, di mana kebutuhan-kebutuhan minimum untuk bertahan hidup tidak dapat terpenuhi. Ini adalah suatu ukuran tetap (tidak berubah) di dalam bentuk suatu kebutuhan kalori minimum ditambah komponen-komponen non makanan yang juga sangat diperlukan untuk bertahan hidup. Walaupun kemiskinan absolute sering juga disebut kemiskinan ekstrem, tetapi maksud dari yang terakhir ini bisa bervariasi, tergantung pada interpretasi setempat atau kalkulasi.
B. Pertumbuhan, Kesenjangan, dan Kemiskinan
1. Hubungan Antara Pertumbuhan dan Kesenjangan: Hipotesis Kuznets
Data tahun1970-an dan 1980-an mengenai pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan di banyak LDCs, terutama negara-negara yang proses pembanguan ekonominya sangat pesat dan dengan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, seperti Indonesia, menunjukkan seakan-akan ada suatu korelasi positif antara laju pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kesenjangan dalam distribusi pendapatan: semakin tinggi pertumbuhan PDB atau semakin besar pendapatan per kapita semakin besar perbedaan antara kaum miskin dan kaum kaya. Bahkan suatu studi dari Ahuja, dkk. (1997) di negara-negara di Asia Tenggara menunjukkan bahwa setelah sempat turun dan stabil selama 1970-an dan 1980-an pada saat negara-negara itu mengalami laju pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun yang tinggi, pada awal 1990-an ketimpangan dalam distribusi pendapatan di negara-negara tersebut mulai membesar kembali. Hal ini tidak hanya terjadi di LDCs. Studi-studi dari Jantti(1997) dan Mule (1998) memperlihatkan bahwa perkembangan ketimpangan dalam pembagian PN antara kelompok kaya dengan kelompok miskin di Sweden, Inggris, AS, dan beberapa negara lainnya di Eropa Barat menunjukkan suatu tren yang meningka tselama 1970-an dan 1980-an. Misalnya, Jantti (1997) di dalam studinya membuat suatu kesimpulan bahwa semakin membesarnya ketimpangan dalam distribusi pendapatan di negara-negara tersebut disebabkan oleh pergeseran-pergeseran demografi, perubahan pasar buruh dan perubahan kebijakan-kebijakan public. Dalam hal perubahan pasar buruh, membesarnya kesenjangan pendapatan dari kepala keluarga dan semakin besarnya saham pendapatan dari istri di dalam total pendapatan keluarga merupakan dua faktor penyebab penting.
2. Hubungan Antara Pertumbuhan dan Kemiskinan
Dasar teori dari korelasi antara pertumbuhan pendapatan per kapita dan tingkat kemiskinan tidak berbeda dengan kasus pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan dalam distribusi pendapatan seperti yang telah dibahas di atas. Mengikuti hipotesis Kuznets, pada tahap awal dari proses pembangunan, tingkat kemiskinan cenderung meningkat, dan pada saat mendekati tahap akhir dari pembangunan jumlah orang miskin berangsur-angsur berkurang. Tentu, seperti telah dikatakan sebelumnya, banyak faktor-faktor lain selain pertumbuhan pendapatan yang juga berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan di suatu wilayah / negara, seperti derajat pendidikan tenaga kerja dan struktur ekonomi.
C. Beberapa Indikator Kesenjangan dan Kemiskinan
Ada jumlah cara untuk mengukur tingkat kesenjangan dalam distribusi pendapatan yang dapat dibagi kedalam dua kelompok pendekatan, yakni axiomatic danstochastic dominance. Yang sering digunakan di dalam literature adalah dari kelompok pendekatan pertama dengan tiga alat ukur, yakni the Generalized Entropy (GE), ukuran Atkinson dan koefisien Gini.
Nilai koefisien Gini berada pada selang 0 sampai dengan 1. Bila 0 : kemerataan sempurna (setiap orang mendapat porsi yang sama dari pendapatan) dan bila 1 : ketidakmerataan yang sempurna dalam pembagian pendaptan, artinya satu orang (atau satu kelompok pendapatan) di suatu negara menikmati semua pendapatan negara tersebut.
Selain tiga alat ukur di atas, cara pengukuran lainnya yang juga umum digunakan, terutama oleh Bank Dunia, adalah dengan cara jumlah penduduk dikelompokkan menjadi tiga grup : 40% penduduk dengan pendapatan rendah, 40% penduduk dengan pendapatan menengah, dan 20% pendudukan dengan pendapatan tinggi dari jumlah penduduk. Selanjutnya, ketidakmerataan pendapatan diukur berdasarkan pendapatan yang dinikmati oleh 40% penduduk dengan pendapatan rendah. Menurut kriteria Bank Dunia, tingkat ketidakmerataan dalam distribusi pendapatan dinyatakan tinggi, apabila 40% penduduk dari kelompok berpendapatan rendah menerima lebih kecil dari 12% dari jumlah pendapatan. Tingkat ketidakmerataan sedang, apabila kelompok tersebut menerima 12% sampai 17% dari jumlah pendapatan; sedangkan ketidakmerataan rendah, apabila kelompok tersebut menerima lebih besar dari 17% dari jumlah pendapatan.
D. Penemuan Empiris
1. Distribusi Pendapatan
Studi-studi mengenai distribusi pendapatan di Indonesia pada umumnya menggunakan data BPS mengenai pengeluaran konsumsi rumah tangga dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Data pengeluaran konsumsi dipakai sebagai suatu pendekatan (proksi) untuk mengukur distribusi pendapatan masyarakat. Walaupun diakui bahwa cara ini sebenarnya mempunyai suatu kelemahan yang serius: data pengeluaran konsumsi bisa memberikan informasi yang tidak tepat mengenai pendapatan, atau tidak mencerminkan tingkat pendapatan yang sebenarnya. Jumlah pengeluaran konsumsi seseorang tidak harus selalu sama dengan jumlah pendapatan yang diterimanya, bisa lebih besar atau lebih kecil. Misalnya, pendapatanya lebih besar tidak selalu berarti pengeluaran konsumsinya juga besar, karena ada tabungan. Sedangkan, jika jumlah pendapatannya rendah tidak selalu berarti jumlah konsumsinya juga rendah. Banyak rumah tangga memakai kredit bank untuk membiayai pengeluaran konsumsi tertentu, misalnya untuk beli rumah dan mobil, dan untuk membiayai sekolah anak atau bahkan untuk liburan.
Demikian pula pengertian pendapatan, yang artinya pembayaran yang di dapat karena bekerja atau menjual jasa, tidak samadengan pengertian kekayaan. Kekayaan seseorang bisa jauh lebih besar daripada pendapatannya. Atau, seseorang bisa saja tidak punya pekerjaan (pendapatan) tetapi ia sangat kaya karena ada warisan keluarga. Banyak pengusaha-pengusaha muda di Indonesia kalau diukur dari tingkat pendapatan mereka tidak terlalu berlebihan, tetapi mereka sangat kaya karena perusahaan di mana mereka bekerja adalah milik mereka (atau orang tua mereka).
Akan tetapi, karena pengumpulan data pendapatan di Indonesia seperti di banyak LDCs lainnya masih relative sulit, salah satunya karena banyak rumah tangga atau individu yang mempunyai pekerjaan di sektor informal atau tidak menentu, maka penggunaan data pengeluaran konsumsi rumah tangga dianggap sebagai salah satu alternatif.
2. Kemiskinan
Kemiskinan bukan hanya masalah Indonesia, tetapi merupakan masalah dunia. Laporan dari Bank Dunia menunjukkan bahwa tahun 1998 terdapat 1,2 miliar orang miskin dari sekitar 5 miliar lebih jumlah penduduk di dunia. Sebagaian besar dari jumlah tersebut terdapat di Asia Selatan (43,5%) yang terkonsentrasi di India, Bangladesh, Nepal, Sri Langka, dan Pakistan. Afrika SubSahara merupakan wilayah ini terutama disebabkan oleh iklim dan kondisi tanah yang tidak mendukung kegiatan pertanian (kekeringan dan gersang), pertikaian yang tidak henti-hentinya antar suku, manajemen ekonomi makro yang buruk dan pemerintahan yang bobrok. Wilayah ketiga yang terdapat banyak orang miskin adalah Asia Tenggara dan Pasifik (23,2%). Kemiskinan di Asia Tenggara terutama terdapat di Cina, Laos, Indonesia, Vietnam, Thailand, danKamboja.
E. Kebijakan Antikemiskinan
Untuk mengetahui kenapa diperlukan kebijakan antikemiskinan dan distribusi pendapatan, perlu diketahui terlebih dahulu bagaimana hubungan alamiah antara pertumbuhan ekonomi, kebijakan, kelembagaan, dan penurunan kemiskinan.
Kebijakan antikemiskinan dan distribusi pendapatan mulai muncul sebagai salah satu kebijakan yang sangat penting dari lembaga-lembaga dunia, seperti Bank Dunia, ADB, UNDP, ILO, dan lain-lain pada tahun 1970, pada saat komite dari PBB untuk perencanaan pembangunan menyiapkan suara deklarasi untuk Dekade Pembangunan Kedua dari PBB yang isinya adalah:… the efforts needed are best characterized by what is sometimes called the necessary ‘war on poverty’ (United Nations, 1970, hal. 6). Komite tersebut mendeklarasikan bahwa penurunan kemiskinan lewat percepatan proses pembangunan, penyempurnan distribusi pendapatan, dan perubahan-perubahan social lainnya (termasuk kesempatan kerja, pendidikan, kesehatan, danperumahan) sebagai tujuan terpenting dari suatu strategi pembangunan internasional yang tepat.
Sumber
Tambunan, Tulus T.H. (2003), perekonomian indonesia beberapa masalah penting, penerbit Ghalia Indonesia
A. Konsep dan Definisi
Besarnya kemiskinan dapat diukur dengan atau tanpa mengacu kepada garis kemiskinan. Konsep yang mengacu kepada garis kemiskinan disebut kemiskinan relatif, sedangkan konsep yang pengukurannya tidak didasarkan pada garis kemiskinan disebut kemiskinan absolut. Kemiskinan relative adalah suatu ukuran mengenai kesenjangan di dalam distribusi pendapatan, yang biasanya dapat didefinisikan di dalam kaitannya dengan tingkat rata-rata daridistribusi yang dimaksud. Di negara-negara maju (DCs), kemiskinan relative diukur sebagai suatu proporsi dari tingkat pendapatan rata-rata per kapita. Sebagai suatu ukuran relatif, kemiskinan relative dapat berbeda menurut negara atau periode di dalam suatu negara. Kemiskinan absolute adalahderajat dari kemiskinan di bawah, di mana kebutuhan-kebutuhan minimum untuk bertahan hidup tidak dapat terpenuhi. Ini adalah suatu ukuran tetap (tidak berubah) di dalam bentuk suatu kebutuhan kalori minimum ditambah komponen-komponen non makanan yang juga sangat diperlukan untuk bertahan hidup. Walaupun kemiskinan absolute sering juga disebut kemiskinan ekstrem, tetapi maksud dari yang terakhir ini bisa bervariasi, tergantung pada interpretasi setempat atau kalkulasi.
B. Pertumbuhan, Kesenjangan, dan Kemiskinan
1. Hubungan Antara Pertumbuhan dan Kesenjangan: Hipotesis Kuznets
Data tahun1970-an dan 1980-an mengenai pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan di banyak LDCs, terutama negara-negara yang proses pembanguan ekonominya sangat pesat dan dengan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, seperti Indonesia, menunjukkan seakan-akan ada suatu korelasi positif antara laju pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kesenjangan dalam distribusi pendapatan: semakin tinggi pertumbuhan PDB atau semakin besar pendapatan per kapita semakin besar perbedaan antara kaum miskin dan kaum kaya. Bahkan suatu studi dari Ahuja, dkk. (1997) di negara-negara di Asia Tenggara menunjukkan bahwa setelah sempat turun dan stabil selama 1970-an dan 1980-an pada saat negara-negara itu mengalami laju pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun yang tinggi, pada awal 1990-an ketimpangan dalam distribusi pendapatan di negara-negara tersebut mulai membesar kembali. Hal ini tidak hanya terjadi di LDCs. Studi-studi dari Jantti(1997) dan Mule (1998) memperlihatkan bahwa perkembangan ketimpangan dalam pembagian PN antara kelompok kaya dengan kelompok miskin di Sweden, Inggris, AS, dan beberapa negara lainnya di Eropa Barat menunjukkan suatu tren yang meningka tselama 1970-an dan 1980-an. Misalnya, Jantti (1997) di dalam studinya membuat suatu kesimpulan bahwa semakin membesarnya ketimpangan dalam distribusi pendapatan di negara-negara tersebut disebabkan oleh pergeseran-pergeseran demografi, perubahan pasar buruh dan perubahan kebijakan-kebijakan public. Dalam hal perubahan pasar buruh, membesarnya kesenjangan pendapatan dari kepala keluarga dan semakin besarnya saham pendapatan dari istri di dalam total pendapatan keluarga merupakan dua faktor penyebab penting.
2. Hubungan Antara Pertumbuhan dan Kemiskinan
Dasar teori dari korelasi antara pertumbuhan pendapatan per kapita dan tingkat kemiskinan tidak berbeda dengan kasus pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan dalam distribusi pendapatan seperti yang telah dibahas di atas. Mengikuti hipotesis Kuznets, pada tahap awal dari proses pembangunan, tingkat kemiskinan cenderung meningkat, dan pada saat mendekati tahap akhir dari pembangunan jumlah orang miskin berangsur-angsur berkurang. Tentu, seperti telah dikatakan sebelumnya, banyak faktor-faktor lain selain pertumbuhan pendapatan yang juga berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan di suatu wilayah / negara, seperti derajat pendidikan tenaga kerja dan struktur ekonomi.
C. Beberapa Indikator Kesenjangan dan Kemiskinan
Ada jumlah cara untuk mengukur tingkat kesenjangan dalam distribusi pendapatan yang dapat dibagi kedalam dua kelompok pendekatan, yakni axiomatic danstochastic dominance. Yang sering digunakan di dalam literature adalah dari kelompok pendekatan pertama dengan tiga alat ukur, yakni the Generalized Entropy (GE), ukuran Atkinson dan koefisien Gini.
Nilai koefisien Gini berada pada selang 0 sampai dengan 1. Bila 0 : kemerataan sempurna (setiap orang mendapat porsi yang sama dari pendapatan) dan bila 1 : ketidakmerataan yang sempurna dalam pembagian pendaptan, artinya satu orang (atau satu kelompok pendapatan) di suatu negara menikmati semua pendapatan negara tersebut.
Selain tiga alat ukur di atas, cara pengukuran lainnya yang juga umum digunakan, terutama oleh Bank Dunia, adalah dengan cara jumlah penduduk dikelompokkan menjadi tiga grup : 40% penduduk dengan pendapatan rendah, 40% penduduk dengan pendapatan menengah, dan 20% pendudukan dengan pendapatan tinggi dari jumlah penduduk. Selanjutnya, ketidakmerataan pendapatan diukur berdasarkan pendapatan yang dinikmati oleh 40% penduduk dengan pendapatan rendah. Menurut kriteria Bank Dunia, tingkat ketidakmerataan dalam distribusi pendapatan dinyatakan tinggi, apabila 40% penduduk dari kelompok berpendapatan rendah menerima lebih kecil dari 12% dari jumlah pendapatan. Tingkat ketidakmerataan sedang, apabila kelompok tersebut menerima 12% sampai 17% dari jumlah pendapatan; sedangkan ketidakmerataan rendah, apabila kelompok tersebut menerima lebih besar dari 17% dari jumlah pendapatan.
D. Penemuan Empiris
1. Distribusi Pendapatan
Studi-studi mengenai distribusi pendapatan di Indonesia pada umumnya menggunakan data BPS mengenai pengeluaran konsumsi rumah tangga dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Data pengeluaran konsumsi dipakai sebagai suatu pendekatan (proksi) untuk mengukur distribusi pendapatan masyarakat. Walaupun diakui bahwa cara ini sebenarnya mempunyai suatu kelemahan yang serius: data pengeluaran konsumsi bisa memberikan informasi yang tidak tepat mengenai pendapatan, atau tidak mencerminkan tingkat pendapatan yang sebenarnya. Jumlah pengeluaran konsumsi seseorang tidak harus selalu sama dengan jumlah pendapatan yang diterimanya, bisa lebih besar atau lebih kecil. Misalnya, pendapatanya lebih besar tidak selalu berarti pengeluaran konsumsinya juga besar, karena ada tabungan. Sedangkan, jika jumlah pendapatannya rendah tidak selalu berarti jumlah konsumsinya juga rendah. Banyak rumah tangga memakai kredit bank untuk membiayai pengeluaran konsumsi tertentu, misalnya untuk beli rumah dan mobil, dan untuk membiayai sekolah anak atau bahkan untuk liburan.
Demikian pula pengertian pendapatan, yang artinya pembayaran yang di dapat karena bekerja atau menjual jasa, tidak samadengan pengertian kekayaan. Kekayaan seseorang bisa jauh lebih besar daripada pendapatannya. Atau, seseorang bisa saja tidak punya pekerjaan (pendapatan) tetapi ia sangat kaya karena ada warisan keluarga. Banyak pengusaha-pengusaha muda di Indonesia kalau diukur dari tingkat pendapatan mereka tidak terlalu berlebihan, tetapi mereka sangat kaya karena perusahaan di mana mereka bekerja adalah milik mereka (atau orang tua mereka).
Akan tetapi, karena pengumpulan data pendapatan di Indonesia seperti di banyak LDCs lainnya masih relative sulit, salah satunya karena banyak rumah tangga atau individu yang mempunyai pekerjaan di sektor informal atau tidak menentu, maka penggunaan data pengeluaran konsumsi rumah tangga dianggap sebagai salah satu alternatif.
2. Kemiskinan
Kemiskinan bukan hanya masalah Indonesia, tetapi merupakan masalah dunia. Laporan dari Bank Dunia menunjukkan bahwa tahun 1998 terdapat 1,2 miliar orang miskin dari sekitar 5 miliar lebih jumlah penduduk di dunia. Sebagaian besar dari jumlah tersebut terdapat di Asia Selatan (43,5%) yang terkonsentrasi di India, Bangladesh, Nepal, Sri Langka, dan Pakistan. Afrika SubSahara merupakan wilayah ini terutama disebabkan oleh iklim dan kondisi tanah yang tidak mendukung kegiatan pertanian (kekeringan dan gersang), pertikaian yang tidak henti-hentinya antar suku, manajemen ekonomi makro yang buruk dan pemerintahan yang bobrok. Wilayah ketiga yang terdapat banyak orang miskin adalah Asia Tenggara dan Pasifik (23,2%). Kemiskinan di Asia Tenggara terutama terdapat di Cina, Laos, Indonesia, Vietnam, Thailand, danKamboja.
E. Kebijakan Antikemiskinan
Untuk mengetahui kenapa diperlukan kebijakan antikemiskinan dan distribusi pendapatan, perlu diketahui terlebih dahulu bagaimana hubungan alamiah antara pertumbuhan ekonomi, kebijakan, kelembagaan, dan penurunan kemiskinan.
Kebijakan antikemiskinan dan distribusi pendapatan mulai muncul sebagai salah satu kebijakan yang sangat penting dari lembaga-lembaga dunia, seperti Bank Dunia, ADB, UNDP, ILO, dan lain-lain pada tahun 1970, pada saat komite dari PBB untuk perencanaan pembangunan menyiapkan suara deklarasi untuk Dekade Pembangunan Kedua dari PBB yang isinya adalah:… the efforts needed are best characterized by what is sometimes called the necessary ‘war on poverty’ (United Nations, 1970, hal. 6). Komite tersebut mendeklarasikan bahwa penurunan kemiskinan lewat percepatan proses pembangunan, penyempurnan distribusi pendapatan, dan perubahan-perubahan social lainnya (termasuk kesempatan kerja, pendidikan, kesehatan, danperumahan) sebagai tujuan terpenting dari suatu strategi pembangunan internasional yang tepat.
Sumber
Tambunan, Tulus T.H. (2003), perekonomian indonesia beberapa masalah penting, penerbit Ghalia Indonesia
Selasa, 17 Mei 2011
Perekonomian Indonesia (minggu ke - 4)
PDB, PERTUMBUHAN DAN PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI
A. PERTUMBUHAN EKONOMI
1. Arti Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi yang dan berkelanjutan merupakan kondisi utama atau suatu keharusan bagi kelangsungan pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan. Karena jumlah penduduk bertambah setiap tahun yang dengan sendirinya kebutuhan konsumsi sehari-hari juga bertambah setiap tahun, maka dibutuhkan penambahan pendapatan setiap tahun.
Selain dari sisi permintaan (konsumsi), dari sisi penawaran, pertumbuhan penduduk juga membutuhkan pertumbuhan kesempatan kerja (sumber pendapatan). Pertumbuhan ekonomi tanpa dibarengi dengan penambahan kesempatan kerja akan mengakibatkan ketimpangan dalam pembagian dari penambahan pendapatan tersebut (ceteris paribus), yang selanjutnya akan menciptakan suatu kondisi pertumbuhan ekonomi dengan peningkatan kemiskinan. Pemenuhan kebutuhan konsumsi dan kesempatan kerja itu sendiri hanya bisa dicapai dengan peningkatan output agregat (barang dan jasa) atau PDB yang terus menerus. Dalam pemahaman ekonomi makro, pertumbuhan ekonomi adalah penambahan PDB, yang berarti peningkatan PN.
2. Konsep Pendapatan Nasional
Ada dua arti PN, yakni arti sempit dan arti luas. Dalam arti sempit, PN adalah PN. Sedangkan dalam arti luas, PN dapat merujuk ke PDB, atau merujuk ke PNB, atau ke produk nasional neto (PNN).
Sesuai metode yang standar, penghitungan PN diawali dengan penghitungan PDB. Hubungan antara PDB dan PN dapat dijelaskan melalui beberapa persamaan sederhana sebagai berikut.
PNB = PDB + F
PNN = PNB – D
PN = PNN – Ttl
Dimana: F pendapatan neto atas faktor luar negeri; D = penyusutan; dan Ttl = pajak tak langsung neto (variabel-variabel lainnya telah dijelaskan di dalam teks). Jika tiga persamaan di atas digabungkan, akan didapat persamaan berikut.
PDB = PN + Ttl + D – F atau PN = PDB + F – D – Ttl
PDB dapat diukur dengan tiga macam pendekatan, yaitu pendekatan produksi, pendekatan pendapatan, dan pendekatan pengeluaran. Dua pendekatan pertama tersebut adalah pendekatan dari sisi penawaran agregat, sedangkan pendekatan pengeluaran adalah penghitungan PDB dari sisi permintaan agregat. Menurut pendekatan produksi, PDB adalah jumlah nilai output (NO) dari semua sektor ekonomi atau lapangan usaha. Berdasarkan satu digit, Biro Pusat Statistik (BPS) membagi ekonomi nasional ke dalam 9 sektor, yakni pertanian, pertambangan dan penggalian, industri manufaktur, listrik, gas, dan air bersih, bangunan, perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, sewa dan jasa perusahaan, dan jasa-jasa. Jadi, PDB adalah jumlah NO dari kesembilan sektor tersebut PDB = ∑ NOi
i = 1,2…9
Sedangkan melalui pendekatan pendapatan, PDB adalah jumlah pendapatan yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi di masing-masing sektor, seperti tenaga kerja (gaji/upah), pemilik modal (bunga/hasil investasi), pemilik tanah (hasil jual/sewa tanah), dan pengusaha (keuntungan bisnis/perusahaan). Semua pendapatan ini dihitung sebelum dipotong oleh pajak penghasilan dan pajak-pajak langsung lainnya. Dalam pedekatan ini, penghitungan PDB juga mencakup penyusutan dan pajak-pajak tidak langsung neto. Oleh sebab itu, dalam pendekatan pendapatan, PDB adalah jumlah dari nilai tambah bruto (NTB) dari kesembilan sektor tersebut. PDB = NTB1 + NTB2 +………………….NTB9
Adapun menurut pendekatan pengeluaran, PDB adalah jumlah dari semua komponen dari permintaan akhir, yakni pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta non-profit oriented (C), pembentukan modal tetap domestic bruto, termasuk perubahan stok (1), pengeluaran konsumsi pemerintah (G), ekspor (X), dan impor (M): PDB = C + I +G + X – M
3. Sumber-Sumber Pertumbuhan
Pertumbuhan ekonomi bisa bersumber dari pertumbuhan pada sisi permintaan agregat (AD) atau/ dan sisi penawaran agregat (AS). Output agregat yang dihasilkan di dalam suatu ekonomi (atau negara) selanjutnya membentuk PN. Apabila pada periode awal (t=0) output adalah Y0΄ maka yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi adalah apabila pada periode berikutnya output Y1΄ yang mana Y1 > Y2.
a. Sisi Permintaan Agregat
Dari sisi AD, pergeseran kurvanya ke kanan yang mencerminkan peningkatan permintaan di dalam ekonomi bisa terjadi karena PN, yang terdiri dari permintaan masyarakat (konsumen), perusahaan, dan pemerintah, meningkat. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, sisi AD (penggunaan PDB) terdiri dari empat komponen: konsumsi rumah tangga, investasi (termasuk perubahan stok), konsumsi/pengeluaran pemerintah, dan ekspor neto (ekspor barang dan jasa minus impor barang danjasa). . b. Sisi Penawaran Agregat
Dari sisi AS, pertumbuhan output bisa disebabkan oleh peningkatan volume dari faktor-faktor produksi yang digunakan, seperti tenaga kerja (L), modal (K), dan tanah (Tn). Faktor produksi terakhir ini khususnya penting bagi sektor pertanian dan energi (E). Pertumbuhan output juga bisa didorong oleh peningkatan produktivitas dari faktor-faktor tersebut.
Di mana Q mewakili volume output dan X1, X2, X3 ………… Xn adalah volume dari faktor-faktor produksi yang digunakan untuk menghasilkan output tersebut. Tanda-tanda positif di bawah setiap X menandakan hubungan antara setiap faktor produksi tersebut dengan output adalah positif: jika jumlah X1 meningkat, output juga meningkat.
c. Teori-teori dan Model-Model Pertumbuhan
a. Teori dan Model Pertumbuhan Neoklasik
Ada dua aliran pemikiran mengenai pertumbuhan ekonomi (dilihat dari sisi AS/produksi), yakni teori neoklasik dan teori modern. Dalam kelompok teori neoklasik, faktor-faktor produksi yang dianggap sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan output adalah jumlah L dan K; yang terakhir ini bisa dalam bentuk keuangan atau barang modal (seperti mesin). Penambahan jumlah L dan K, dengan asumsi produktivitas dari masing-masing faktor produksi tersebut (productivity parsial; PFP) atau produktivitas faktor total (TFP) tetap tidak berubah, menambah output yang dihasilkan. Persentase pertumbuhan output bisa lebih besar (increasing return to scale), lebih kecil (decreasing return to scale), atau sama (constant return to scale) dibandingkan persentase pertumbuhan jumlah dari kedua faktor produksi tersebut.
Dalam model pertumbuhan neoklasik, peran teknologi dan ilmu pengetahuan serta peningkatan kualitas dari L dan dari input-input produksi lainnya terhadap pertumbuhan output tidak mendapat perhatian secara eksplisit atau dianggap konstan (teknologi dianggap suatu koefisien yang tetap tidak berubah); walaupun pada tahun 1950-an dan 1960-an sudah mulai ada pembahasan-pembahasan di dalam literatur mengenai dampak positif dari progress teknologi (T). Teori neoklasik lebih fokus pada efek akumulasi K (investasi) dan penambahan jumlah L terhadap pertumbuhan output. Oleh karena itu, di dalam model pertumbuhan neoklasik, tidak ada yang namanya peningkatan produktivitas dan input-input produksi.
Teori neoklasik di atas kurang dapat menjelaskan pertumbuhan ekonomi yang tinggi sejak tahun 1950-an di banyak negara di dunia, yang kenyataannya pertumbuhan tersebut tidak sepenuhnya hanya didorong oleh akumulasi K dan penambahan jumlah L, tetapi juga disebabkan oleh peningkatan produktivitas dari kedua faktor produksi tersebut. Kenapa, misalnya, Korea Selatan yang miskin SDA dan mengalami kekurangan pada awal pembangunannya setelah perang Korea berakhir tahun 1953 bisa dalam waktu yang singkat menghasilkan suatu kinerja ekonomi yang menakjubkan dengan laju pertumbuhan rata-rata per tahun yang tinggi?
Seperti telah dijelaskan diatas, model pertumbuhan neoklasik hanya melihat pada satu sumber pertumbuhan saja, yakni kontribusi dari penambahan jumlah dari faktor-faktor produksi. Padahal, pengalaman Korea Selatan menunjukkan bahwa sumber pertumbuhan yang terpenting adalah peningkatan produktivitas bukan jumlah dari faktor-faktor produksi yang digunakan, dan ini mencerminkan adanya suatu progress T. Dalam Nafziger (1997), dibahas pengalaman dari Kong, dan Singapura yang menunjukkan bahwa kontribusi K per L terhadap pertumbuhan ekonomi memang sangat dominan, antara 50% hingga 90% tetapi T juga sangat berperan. Hal ini dicerminkan oleh nilai ‘sisa’, yakni nilai T di dalam fungsi produksi Cobb Douglas.
Dimana Yt = tingkat (output) pada periode t; a dan b = masing-masing produktivitas dari L dan K. Nilai sisa ini dianggap sebagai efek dari pertumbuhan produktivitas dari K dan L secara total antara 10% hingga 50%. Ini artinya, kemajuan T menyumbang sekitar 10%-50% terhadap pertumbuhan ekonomi (Nafzger, 1997).
b. Teori Modern dan Model Pertumbuhan Endogen
Dalam teori modern, faktor-faktor produksi yang krusial tidak hanya L dan K, tetapi juga perubahan T (yang terkandung di dalam barang model atau mesin), E, kewirausahaan (Kw), bahan baku (BB) dan material (Mt). Selain itu, faktor-faktor lain yang oleh teori modern juga dianggap sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi adalah ketersediaan dan kondisi infrastruktur, hukum serta peraturan, stabilitas politik,kebijakan pemerintah (yang antara lain dicerminkan oleh besarnya pengeluaran pemerintah), birokrasi, dan dasar tukar internasional (terms of trade; ToT). pentingnya faktor-faktor ini terhadap pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari kasus negara-negara di Afrika, terutama Sub-Sahara Afrika. Menurut studi-studi yang ada, terhentinya pembangunan ekonomi di negara-negara tersebut disebabkan antara lain oleh kualitas L-nya yang sangat rendah, politik yang tidak stabil, peperangan, defisit keuangan pemerintah, dan keterbatasan infrastruktur.
Dilihat dari kerangka pemikiran kelompok teori modern tersebut, ada sejumlah perbedaan yang mendasar dengan kelompok teori neoklasik. Di antaranya adalah yang mencakup L,K, dan Kw. Dalam kelompok teori modern, kualitas L lebih penting daripada kuantitasnya. Kualitas L tidak hanya dilihat dari tingkat pendidikan, tetapi juga kondisi kesehatannya. Sekarang ini tingkat pendidikan dan kondisi kesehatan menjadi dua variabel bebas yang penting di dalam analisis-analisis empiris dengan pendekatan ekonometris mengenai pertumbuhan ekonomi. Tingkat pendidikan biasanya diukur dengan persentase L yang berpendidikan tinggi terhadap jumlah L atau penduduk yang terdaftar dalam suatu tingkat pendidikan tertentu, misalnya pendidikan dasar. Sedangkan, tingkat kesehatan umumnya diukur dengan tingkat harapan hidup. Demikian juga halnya dengan K, kualitas (yang mencerminkan progress T) lebih penting daripada kuantitas (akumulasi K). Juga Kw, termasuk kemampuan seseorang untuk melakukan inovasi, merupakan salah satu faktor krusial bagi pertumbuhan ekonomi.
Dengan alasan kelemahan model pertumbuhan neoklasik tersebut, maka sebagai alternative muncul model pertumbuhan ekonomi modern atau model pertumbuhan endogen yang memasuki aspek-aspek endogenitas dan eksternalitas di dalam proses pembangunan ekonomi. Salah satu asumsi penting dari teori modern ini adalah sifat keberadaan T yang tidak lagi eksogen, (given), tetapi merupakan salah satu faktor produksi yang dinamis. Demikian juga faktor manusia: L di dalam fungsi produksi tidak lagi merupakan suatu produksi yang eksogen, tetapi bisa ‘berkembang’ mengikuti perkembangan T dan ilmu pengetahuan (iptek). Kemajuan iptek serta SDM menjadi sumber-sumber penting pertumbuhan, yang efeknya lewat peningkatan produktivitas dari input-input yang digunakan dalam proses produksi.
Model pertumbuhan endogen juga sangat relevan untuk menganalisis laju serta pola pertumbuhan ekonomi di Indonesia, terutama karena dampak dari kemajuan iptek serta peningkatan kualitas SDM terhadap pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di dalam negeri semakin nampak jelas saat ini dibandingkan 30 tahun yang lalu. Salah satu model pertumbuhan neoklasik yang bisa diendogen adalah dari Harrod-Domar, yang intinya adalah suatu relasi antara penambahan K dan pertumbuhan 30 tahun yang lalu. Salah satu model pertumbuhan neoklasik yang bisa diendogenkan adalah dari Harrod Domar, yang intinya adalah suatu penambahan K dan rasio penambahan K dan pertumbuhan ekonomi (PDB). Dua variabel fundamental dari model ini adalah penambahan K dan rasio penambahan K terhadap pertumbuhan PDB (Y). Rasio ini disebut ICOR = ΔK/ΔY. Sejak penambahan K adalah investasi (I) dalam definisi, maka ICOR = I/ΔY.
Model Harrod-Domar ini adalah suatu modifikasi dari model-model pertumbuhan dari Damor dan Harrod. Model dari Damor lebih memfokuskan pada laju pertumbuhan investasi (ΔI/I), Di dalam modelnya, I ditetapkan harus tumbuh atas suatu persentase yang konstan, sejak s (marginal propensity to save), yakni rasio dari pertumbuhan tabungan nasional (S) terhadap peningkatan Y, dan ICOR kedua-duanya konstan. Sedangkan penekanan dari model Harrod lebih pada pertumbuhan Y jangka panjang. Di dalam modelnya, laju pertumbuhan keseimbangan (warranged growth) +I yang direncanakan, yaitu : sYt= ICOR (Yt – Yt-1)
(Yt – Yt-1) /Y = s/ICOR
Model ini tidak saja menekankan pentingnya I bagi pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pentingnya S sebagai sumber utama pembiayaan I tersebut. Oleh karena itu, model ini sangat relevan sebagai salah satu alat analisis empiris untuk kasus Indonesia. Selama masa Orde Baru, telah terbukti bahwa I memang merupakan salah satu faktor krusial bagi kelangsungan pembangunan ekonomi. Terbukti juga, selama krisis ekonomi, lesunya kegiatan I didalam negeri membuat kondisi perekonominan nasional semakin buruk. Dengan tingkat S yang masih terbatas, Indonesia terpaksa menggantungkan diri pada pinjaman luar negeri dan penanaman model asing untuk mempertahankan kegiatan I yang diperlukan di dalam negeri.
Setiap ekonomi / negara membutuhkan I minimum untuk mempertahankan kapasitas produksi. Kapasitas produksi / output potensial didefinisikan sebagai output maksimum yang dapat dihasilkan dalam suatu negara pada waktu tertentu dalam keadaan normal. Tingkat kapasitas produksi dipengaruhi oleh jumlah dan TFP. Pada model ekonomi makro dari IBII (2000) diasumsikan bahwa faktor produksi yang menentukan kapasitas produksi di Indonesia adalah jumlah K, Karena faktor L di Indonesia (terutama yang berasal dari sektor pertanian) cukup melimpah.
Berdasarkan asumsi ini, maka perubahan kapasitas produksi tergantung pada perubahan kapital (IBII, 2000):
Δcap = (1/k) x ΔK
Dimana : cap : kapasitas produksi atau potensial output
k : rasio output modal (COR) yang mengukur tingkat efisiensi
penggunaan K.
Di lain pihak, di dalam model makro ini K pada tahun tertentu (t) didefinisikan sebagai penjumlahan stok K tahun lalu (t-1) dan I bersih :
k(t) = k(t-1) + (i-s)
dimana : i = I Kotor
s = pengurangan K
Pemotongan K adalah K yang sudah tidak memiliki nilai ekonomis karena output yang dihasilkan lebil kecil daripada biaya produksinya.
c. Pertumbuhan FTP
Berdasarkan studi-studi empiris mengenai pertumbuhan ekonomi pada sumber-sumbernya, Pack dan Page (1994) menyatakan bahwa terdapat dua sumber utama pertumbuhan, yakni pertumbuhan yang bersumber dari peningkatan I (investment-driven growth) dan pertumbuhan yang didorong oleh peningkatan produktivitas (productivity-driven growth). Sumber pertama tersebut merujuk pada produksi, khususnya K (misalnya penambahan jumlah mesin). Sedangkan sumber kedua itu terutama disebabkan oleh peningkatan produktivitas (efisiensi) dan faktor produksi, yang mencerminkan antara lain progres T.
Sumber pertumbuhan output yang berasal dari peningkatan produktivitas dari input-input produksi dapat dihitung secara parsial, yakni dari masing-masing input (PFP), atau totalnya dari semua input (TFP). Menghitung TFP bisa dengan menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas yang selanjutnya ditransformasi ke dalam bentuk linear logaritmik sebagai berikut.
Ln Yt = Ln Tt + α Ln Kt + β Ln Lt
Biasanya dalam penelitian empiris, fungsi produksi diasumsikan memiliki skala hasil yang konstan, oleh karena itu, persyaratan pokok yang harus dipenuhi adalah jumlah dari kedua koefisien elastisitas sama dengan satu, atau α + β = 1. Dengan persyaratan ini, maka persamaan tersebut dapat dimodifikasi menjadi α = 1 – β.
Koefisien b yang diestimasi melalui persamaan regresi di atas berfungsi sebagai alokator untuk mengestimasi peran input K terhadap pertumbuhan output, sedangkan koefisien a yang didapat dari (1-b) berfungsi sebagai alokator untuk mengestimasi peran L kerja terhadap pertumbuhan output. Hasil estimasi nilai T memberi perkiraan besarnya konstribusi dari perubahan TFP terhadap perubahan output.
Sudah banyak studi empiris yang mengukur peran dari pertumbuhan TFP terhadap pertumbuhan ekonomi atau output dari sektor-sektor ekonomi. Sebagian dari studi-studi yang ada juga mencakup sejumlah negara di Asia Tenggara dan Timur. Di antaranya dari Kim dan Lau (1994) yang menemukan bahwa pertumbuhan TFP bukan merupakan sumber utama bagi pertumbuhan ekonomi di NICs (kecuali Korea Selatan), tetapi akumulasi K (I) dengan kontribusinya sekitar 48%-72%, dibandingkan kontribusi dari pertumbuhan TFP sekitar 46%-71%. Di jepang juga demikian, penambahan K adalah faktor penting pertama, sedangkan pertumbuhan TFP faktor penting kedua. Sebaliknya untuk negara-negara OECD, pertumbuhan TFP merupakan sumber utama pertumbuhan PDB.
Studi lainnya adalah dari Young (1992) untuk Hong Kong dan Singapura selama dekade 70-an dn 80-an. Hasil studinya menunjukkan bahwa Hong Kong memiliki tingkat pertumbuhan TFP rata-rata per tahun yang tinggi di atas 30%, sedangkan pertumbuhan TFP di Singapura negatif. Hasil dari studi keduanya tahun 1995 menunjukkan bahwa laju pertumbuhan TFP rata-rata per tahun di Korea Selatan selama 1966-1990 mencapai 1,7%, dan sumbangannya terhadap pertumbuhan ekonomi sekitar16,5%. Sektor yang paling besar kontribusi pertumbuhan TFP-nya adalah industri manufaktur (3,0%). Taiwan, negara lainnya yang diteliti, memiliki kinerja TFP jauh lebih baik dibandingkan Korea Selatan dengan laju pertumbuhan rata-rata per tahun 2,6%, dan sumbangannya terhadap pertumbuhan ekonomi sekitar 27,7%. Akan tetapi, industri manufaktur bukan sektor terbesar dalam pertumbuhan TFP, melainkan sektor jasa dengan 3,5%.
Studi dari Pack dan Page (1994) juga menarik untuk dibahas secara garis besar di sini. Mereka menemukan bahwa negara-negara yang investment-driven growth) adalah Malaysia, Thailand, dan Indonesia, sedangkan yang productivity-driven growth adalah jepang dan NICs. Dalam kata lain peran TFP dalam pertumbuhan ekonomi jauh lebih penting di Jepang dan NICs daripada di Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Studi dari Bank Dunia (1993) juga menemukan bukti yang sama: rata-rata sekitar 33,3% dari pertumbuhan ekonomi di Asia Timur didorong oleh pertumbuhan TFP. Secara spesifik, selama dekade 60-an hingga akhir tahun 80-an, pertumbuhan TFP di Hong Kong mencapai 3,6% dan menyumbang hampir 44% terhadap pertumbuhan PDB, sedangkan di Korea Selatan TFP-nya tumbuh 3,1% dan kontribusinya hampir 37% dan 1,2% dan sumbangannya terhadap pertumbuhan output agregat masing-masing 42% dan 15%. Bukti yang sama juga diperlihatkan oleh Sarel (1996): pertumbuhan TFP di Hong Kong yang sekitar 3,8%, Korea Selatan 3,1% dan Taiwan 3,5%, lebih tinggi daripada pertumbuhan TFP di Jepang yang hanya sekitar 2,0% dan AS sekitar 0,9%.
Untuk kasus Indonesia, studi-studi empiris yang ada di antaranya adalah dari Hanson dkk. (1995), Poot (1994), Abimanyu dan Xie (1994), Hill dan Aswicahyono (1994), dan Suhariyanto (2001). Hal yang menarik dari studinya Hanson dkk. adalah bahwa kebijakan deregulasi di pertengahan tahun 80-an berdampak sangat positif terhadap pertumbuhan TFP yang menyumbang sekitar 31% terhadap pertumbuhan PDB untuk periode 1985-1992. Pada periode sebelum paket-paket deregulasi dikeluarkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih didorong oleh penambahan faktor-faktor produksi. Sedangkan Karseno, Poot, Abimanyu dan Xie, serta Hill dan Aswicahyono meneliti pertumbuhan TFP di sektor industri manufaktur. Hal-hal yang menarik dari studi mereka adalah bahwa pertumbuhan TFP di sektor tersebut cukup besar dan ada perbedaan pertumbuhan TFP yang cukup signifikasi antarsubsektor industri.
Penelitian dari Suhariyanto (2001) dapat dikatakan satu-satunya studi yang ada hingga saat ini mengenai pertumbuhan TFP di sektor pertanian di Indonesia yang mencakup periode sepanjang pemerintahan Orde Baru. Dalam studinya, ia membandingkan pertumbuhan TFP, output dan input di sektor pertanian di Indonesia dengan di sejumlah negara lainnya di Asia (Tabel 2.1). Laju pertumbuhan rata – rata per tahun TFP pertanian Indonesia rendah jika dibandingkan dengan banyak negara lain seperti Cina, Jepang, dan Korea Selatan; walaupun tingkat pertumbuhan output-nya rata-rata per tahun termasuk tinggi. Kalau dilihat laju pertumbuhan rata-rata per tahun volume dari masing-masing input yang relative tinggi, maka dapat disimpulkan bahwa di Indonesia peran TFP bagi pertumbuhan output di sektor pertanian masih relative kecil. Dalam perkataan lain, sumber dari pertumbuhan output pertanian di Indonesia masih didominasi oleh pertumbuhan jumlah input yang digunakan, bukan oleh perubahan T dan peningkatan SDM (peningkatan produktifitas.
Tabel 2.1
Laju Pertumbuhan Rata – Rata Per Tahun Output, TFP, dan Input – Input: 1965- 1996 (%)
Negara | TFP | Output | Tanah | Tenaga Kerja | Binatang | pupuk | Mesin |
Cina Jepang Korea Selatan Kampuchea Indonesia Malaysia Myanmar Filipina Thailand Vietnam Bangladesh India Nepal Pakistan Sri lanka | 0,47 2,70 3,30 -1,83 0,18 3,55 -0,02 1,33 -1,00 -0,17 -0,42 -0,50 -0,70 -0,47 0,67 | 4,34 1,15 3,78 0,27 4,04 5,25 2,78 2,74 3,89 3,67 1,74 2,90 2,73 3,72 1,49 | 0,14 -0,92 -0,26 0,92 0,60 1,96 -0,07 1,29 1,87 0,33 0,06 0,15 1,17 0,54 0,19 | 1,77 -4,06 -1,71 1,07 1,65 -0,01 1,86 1,66 1,84 1,78 1,04 1,42 1,96 2,11 1,63 | 2,45 1,66 3,46 0,98 1,42 1,05 2,04 -0,42 0,37 1,51 0,37 0,81 2,13 2,27 0,19 | 10,64 -0,13 3,05 3,51 11,37 8,77 9,21 5,90 12,32 7,66 11,19 10,35 16,48 11,85 2,94 | 8,85 15,16 31,77 0,99 7,60 9,58 5,39 2,42 11,10 12,24 6,19 11,88 10,35 13,54 5,30 |
B. Pertumbuhan Ekonomi selama Orde Baru hingga Saat ini
Melihat kondisi pembangunan ekonomi Indonesia selama pemerintahan Orde Baru (sebelum krisis ekonomi 1997) dapat dikatakan bahwa Indonesia telah mengalmi suatu proses pembangunan ekonomi yang spektakuler, paling tidak pada tingkat makro (agregat).keberhasilan ini dapat di ukur dengan sejumlah indikator ekonomi makro. Dua di antaranya yang umumu di gunakan adalah tingkat PN per kapita dan laju pertumbuhan PDB per tahun. Pada tahun 1968, PN per kapita masih sangat rendah , hanya sekitar US$ 60. Tingkat ini jauh lebih rendah di bandingkan PN dari LDCs lain pada saat itu , seperti india, sri langka, dan Pakistan.akan tetapi , sejak pelita I di mulai , PN Indonesia per kapita mengalami peningkatan yang relative tinggi seperti tahun, dan pada akhir tahun 1980-an telah mendekati US$ 500. Hal ini di sebabkan oleh pertumbuhan PDB rata-rata per tahun juga tinggi 7%-8% selama 1970-an dan turun ke 3 %-4% pertahun selama 1980-an.selama 70-an dan 80-an, proses pembangunan ekonomi di Indonesia tidak tanpa mengalami banyajk goncangan yang cukup serius, yang terutama di sebabkan oleh factor” eksternal seperti merosotnya harga minyak mentah di pasar internasional menjelang pertengahan 1980-an , dan resesi ekonomi dunia pada decade yang sama .karena sejak pemerintahan orde baru menganut system ekonomi terbuka, goncangan-goncangan eksternal seperti itu sangat terasa dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi. Perekonomian nasional pada saat itu sangat tergantung pada pemasukan dolar AS dari hasil ekspor komoditi-komoditi primer, khususnya minyak dan hasil pertanian. Tingkat ketergantungan yang tinggi ini membuat perekonomian nasional tidak bisa menghindar dari pengaruh negatif dari ketidakstabilan harga dari komoditi-komoditi tersebut di pasar internasional. Selain faktor harga, ekspor Indonesia, baik komoditas primer maupun barang-barang industri, juga sangat tergantung pada pertumbuhan ekonomi dunia, terutama di Negara-negara industri maju seperti Jepang, AS, dan Eropa Barat, yang merupakan pasar penting bagi ekspor Indonesia.
C. Faktor-Faktor Penentu Prospek Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Di dalam teori-teori konvensional, pertumbuhan ekonomi sangat ditentukan oleh ketersediaan dan kualitas dari input-input produksi seperti L,K,T,BB,Kw, dan E. Akan tetapi, faktor-faktor ini lebih krusial dalam menentukan prospek pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Sedangkan pertanyaan apakah ekonomi Indonesia 2004 akan tumbuh lebih baik, lebih buruk atau relatif sama dengan pertumbuhan 2003, adalah bicara soal prospek pertumbuhan ekonomi jangka pendek, yang berarti lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor jangka pendek.
1. Faktor-faktor Internal
Tidak dapat diingkari bahwa penyebab utama berubahnya krisis rupiah menjadi suatu krisis ekonomi paling besar yang pernah dialami Indonesia tahun 1998 adalah karena buruknya fundamental ekonomi nasional. Sedangkan lambatnya proses pemulihan ekonomi nasional lebih disebabkan oleh kondisi politik, sosial, dan keamanan di dalam negeri yang kenyatannya sejak reformasi dicetuskan pada Mei 1998 hingga saat ini belum juga pulih sepenuhnya, bahkan cenderung memburuk menjelang pemilihan presiden 2004.
2. Faktor-Faktor Eksternal
Sedangkan faktor eksternal yang sangat berpengaruh terhadap prospek perekonomian Indonesia adalah prospek perekonomian dan perdagangan dunia 2003. IMF dalam laporannya bulan September 2002 memprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi dan peningkatan volume perdagangan dunia 2003 akan mencapai masing-masing sekitar 3,7% dan 6,1%. Prospek perekonomian dan perdagangan dunia sangat dipengaruhi oleh prospek perekonomian dari AS, Jepang, dan masyarakat Eropa (EU). Menurut prediksi IMF (WEO), sebelum intervensi AS ke Irak, PDB riil AS 2003 akan tumbuh 2,6%, sedikit di atas perkiraan 2002, yakni 2,2% (ini jauh lebih baik dibandingkan realisasi pertumbuhan 2001 yang hanya 0,3% akibat tragedy WTC). Sedangkan ekonomi Jepang dan ME akan tumbuh masing-masing hanya 1,1% (angka ini jauh lebih baik daripada perkiraan pertumbuhan ekonomi Jepang 2002 – 0,5% dan realisasi 2001 – 0,3%) dan 2,3% tahun 2003 (sedikit meningkat dibandingkan perkiraan 2002 1,1%). Sementara, BPS memprediksi perekonomian AS dan Jepang 2003 bisa tumbuh antara 1% hingga 3%.
D. Perubahan Struktur Ekonomi
Pembangunan ekonomi jangka panjang dengan pertumbuhan PDB atau PN akan membawa suatu perubahan mendasar dalam struktur ekonomi, dari ekonomi tradisional dengan pertanian sebagai sektor utama ke ekonomi modern yang didominasi oleh sektor-sektor nonprimer, khususnya industri manufaktur dengan increasing returns to scale (relasi positif antara pertumbuhan output dan pertumbuhan produktivitas) yang dinamis sebagai motor utama penggerak pertumbuhan ekonomi (Weiss, 1988). Ada kecenderungan (dapat dilihat sebagai suatu hipotesis) pendapatan masyarakat per kapita, semakin cepat perubahan struktur ekonomi, dengan asumsi faktro-faktor penentu lain mendukung proses tersebut, seperti L, BB, dan T, tersedia.
Tambunan, Tulus T.H. (2003), perekonomian indonesia beberapa masalah penting, penerbit Ghalia Indonesia
Langganan:
Postingan (Atom)